Derita Buruh Migran di Sistem Kapitalisme

Oleh: Tawati 
(Aktivis Muslimah Majalengka)

Bupati Majalengka H. Karna Sobahi memberikan keterangan soal Eti Ruhaeti Binti Toyib Anwar yang telah bebas dari hukuman mati di Arab Saudi. Bupati mengungkapkan, pemerintah daerah akan terus melakukan monitoring terhadap perkembangan Eti Ruhaeti Binti Toyib Anwar yang saat ini telah tiba di tanah air dan sedang menjalani proses pemeriksaan tes Covid-19 di wisma atlet.

Meski belum mengetahui kepastian waktu, kapan Eti dipulangkan ke Kabupaten Majalengka, namun Bupati berencana saat Eti diantarkan ke Kabupaten Majalengka, Bupati akan menerima dan menyambut Eti di Pendopo. Bahkan bupati juga menjelaskan, ketika Eti sudah dipulangkan ke Kabupaten Majalengka, pemerintah daerah akan melarangnya untuk kembali ke luar negeri dan memberikan fasilitas pembinaan kepada Eti. (Dikutip Fajar Cirebon, 10/7/2020)

Hanya karena alasan materi, Pemerintah yang gagal menciptakan lapangan kerja di dalam negeri ini mengirim mereka ke luar negeri. Pada tahun 2019, aliran remitansi ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (low-middle income countries/ LMICs) berjumlah sekitar USD 554 miliar, namun angka ini diperkirakan menurun menjadi sekitar USD 445 miliar pada tahun 2020, penurunannya 20 persen. Di Indonesia, penurunan diperkirakan mencapai 13 persen. (Migrant Care)

Penghasilan menggiurkan yang rupanya menjadi alasan kenapa penguasa begitu bersemangat mendorong dan memfasilitasi pegiriman para pekerja migran ke luar negeri. Cukup dengan mengekspor para pekerja ke luar negeri terutama kaum perempuan, maka devisa datang sendiri.

Pemerintah memang tak punya misi dalam memperlakukan pekerja migran selain hanya membebek pada aturan internasional. Dunia kapitalis membutuhkan putaran uang, tak peduli jika harus mengirim para istri dan para ibu jauh ke negeri seberang karena ada demand atas jasa mereka.

Lebih runyam lagi dengan ambisi SDGs menuju 2030, PBB meluncurkan Global Compact for Migration untuk memastikan bahwa migrasi dapat berjalan aman dan meminimalisir kasus-kasus kekerasan pada pekerja migran. Tapi semua perlindungan itu, termasuk jaminan sosial bagi buruh migran tidak bakal mampu memberikan perlindungan secara utuh atau bahkan menyelesaikan kemiskinan di negeri asal buruh migran.

Betul bahwa pemerintah telah berusaha membuat berbagai langkah untuk melindungi para PMI. Termasuk membuat moratorium penghentian pengiriman pekerja non formal ke Arab Saudi pada tahun 2011. Namun alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru dipandang menuai masalah baru, karena memicu maraknya perdagangan orang mengingat Arab Saudi masih menjadi magnet bagi para pekerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di dalam negeri.

Begitupun dengan disahkannya UU Perlindungan PMI nomor 18 tahun 2017 yang digadang-gadang sebagai alat pemerintah melindungi para pahlawan devisa. Hingga hari ini, UU ini masih dipandang tak lebih sebagai macan kertas karena tidak bisa diimplementasikan dalam realitas. Selain karena belum ada peraturan turunan yang implementatif, juga karena keberadaan UU ini nyatanya tak akan pernah mampu menuntaskan akar problem dari maraknya migrasi pekerja ke luar negeri, yakni problem ekonomi di dalam negeri, berupa gurita kemiskinan dan pengangguran yang sangat tinggi.

Sistem kapitalis yang diadopsi hampir semua negara di dunia ini, amat eksploitatif terhadap perempuan. Mereka tidak pernah menyadari posisi dan fungsi paling berharga bagi perempuan ini adalah di tengah keluarganya, bukan pergi berjuta-juta kilometer dari kampungnya demi mengais dolar.

Problem pekerja migran, khususnya para pekerja perempuan, tak hanya sekadar soal jaminan perlindungan. Tapi soal penjajahan sistem kapitalisme melalui rezim yang menjadi agen. Yang membuat negara kehilangan visi mengurus dan melindungi umat dengan visi yang benar, serta menjadikan umat termasuk kaum perempuan dipaksa melanggar fitrah dengan meninggalkan kebahagiaan hidup hakiki yang seharusnya diraih bersama anak dan keluarga mereka.

Islam merupakan satu-satunya kunci penyelesaian persoalan perempuan buruh migran. Karena itu Khilafah punya seperangkat jaminan untuk melindungi jiwa, ekonomi dan kehormatan perempuan melalui kepastian penerapan hukum-hukum syariat. Sistem ekonomi bekerja secara sinergi dengan sistem sosial, pendidikan serta sistem sanksi dan lain-lain dalam memenuhi semua kebutuhan perempuan, baik fisik ataupun non fisik.

Maka, satu-satunya jalan menuntaskan problem pekerja migran adalah dengan kembali kepada tuntunan Islam. Karena sebagai sistem hidup, Islam memiliki solusi komprehensif untuk mewujudkan kesejahteraan umat tanpa melanggar fitrah kemanusiaan dan tanpa membuka celah sedikitpun pada penjajahan kapitalisme global.

Wallahu a'lam bishshawab.
Previous Post Next Post