Oleh : Ummu Sumayyah
(Aktivis Muslimah Bangka Belitung)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendorong upaya membangun ‘perjodohan’ atau kerjasama antara perguruan tinggi atau Kampus dengan industri. Strategi ini menurutnya dinilai penting agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Menurut Nadiem, Kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha (lensaindonesia.com, 04/07/2020).
Pemerintah, kata Nadiem, memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak Kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian. Dia menjelaskan, bahwa Kemendikbud telah menjalankan program Kampus Merdeka. Salah satunya untuk menghasilkan mahasiswa yang unggul dan bisa menjadi pendisrupsi revolusi industri 4.0.
Tampaknya kebijakan yang diambil pemerintah ini tidak hanya akan menguntungkan dunia pendidikan, tapi juga industri. Namun ada berbagai persoalan dalam dunia pendidikan yang justru semakin menguatkan ketidakjelasan arah pendidikan negeri ini. Kita lihat saja, sejak orde lama, kurikulum pendidikan sudah 11 kali mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini bukan hanya membuat para pendidik kelabakan. Para siswa pun seolah selalu dikorbankan, karena posisi mereka tak lebih dari kelinci percobaan.
Di sisi lain, kesenjangan pun masih menjadi persoalan. Buruknya politik anggaran untuk pendidikan membuat gap antara pusat dan daerah selalu dalam kondisi memprihatinkan. Baik soal aksesibilitas, ketersediaan sarana prasarana pendidikan, maupun ketersediaan tenaga pendidik yang berkualitas.
Negara cenderung menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar. Bukan mempersiapkan pendidikan yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi negara. Wajar jika apa yang disebut dengan “merdeka belajar” dan “pendidikan untuk semua” nyatanya hanya ada dalam wacana.
Jika dicermati lebih dalam, negara yang berparadigma kapitalis liberal mengarahkan pendidikan justru harus menjadi salah satu instrumen pengokoh hegemoni kapitalisme global, yang bersembunyi dibalik kata investasi korporasi dan revolusi industri. Faktanya, kebijakan pendidikan hari ini nampak sangat kental dengan hitung-hitungan ekonomi. Seperti, demi peningkatan kemampuan produksi, demi mendorong investasi dan industrialisasi, dan semacamnya. Padahal, berbicara proses produksi, investasi dan industrialisasi pada hari ini, sejatinya berbicara tentang hegemoni kaum kapitalis yang tampil dalam bentuk korporasi.
Inilah yang sekarang kita lihat. Negara begitu konkern mendorong tumbuhnya institusi-institusi pendidikan vokasi. Juga gencar menggagas pendidikan berbasis link and match dengan industri. Begitu pula, negara nampak begitu bersemangat memfasilitasi berbagai kerjasama penelitian antara institusi pendidikan dan korporasi.
Bahkan upaya-upaya negara mendorong perguruan tinggi untuk mengejar target world class university, serta wacana Revolusi Industri 4.0 di tengah wacana kampus merdeka, nyatanya sejalan dengan proses kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dimana rezim penguasa berparadigma sekuler kapitalis liberal, lazim berkolaborasi dengan kekuatan korporasi.
Walhasil, arah pendidikan yang diterapkan hari ini, memang tak lebih dari mesin pensuplai kebutuhan pasar tenaga kerja bagi industri raksasa milik negara-negara adidaya. Bukan sebagai pilar membangun peradaban cemerlang. Dan dampaknya akan terus membuat negeri ini terposisi sebagai objek penjajahan. Tak berdaulat dan jauh dari kemandirian.
Kebijakan ini kian memperjelas mandulnya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyatnya, seluruh proses pendidikan, pengajaran juga pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan seharusnya dibiayai penuh oleh negara, dan dimanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan para pemodal dan dikomersilkan pada masyarakat.
Hal ini tidak akan ditemui dalam sistem pendidikan islam. Dalam islam penyelengaraan pendidikan dilaksanakan untuk membantu negara dalam menyelesaikan problem masyarakat. Visi pendidikan adalah untuk mencetak output yang dapat mengabdikan ilmunya untuk rakyat. Kebermafaatan ilmu kaum intelektual semata untuk rakyat, difasilitasi oleh negara, para intelektual akan berinovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuannya dalam rangka merespon seluruh kebutuhan rakyat, kehadiran mereka senantiasa ditunggu masyarakat karena sejatinya ahli ilmu adalah penerang atas gelapnya kebodohan.
Sesungguhnya tujuan pendidikan negara seharusnya adalah mencetak para pemimpin masa depan yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang menghadang. Tidak hanya itu, pendidikan tinggi juga bertanggung jawab mencetak para pemikir, ilmuwan handal yang menguasai sains dan teknologi, dan yang lebih penting dari semua itu output pendidikan tinggi adalah SDM yang memiliki kepribadian yang cemerlang. Menghasilkan generasi yang memiliki pola pikir yang benar dan juga memiliki pola sikap yang benar. Ibarat pepatah mengatakan, orang yang berilmu itu seperti padi, semakin berisi semakin merunduk.
Inilah fakta sejarah yang tak terbantahkan saat kekhilafahan islammembentengi 2/3 belahan dunia, sepanjang itu pula ilmu hadir menyinari kehidupan umat manusia. Umat merasakan kehadiran para ilmu semata untuk menyempurnakan fungsinya, sebagai pelayan rakyat. Negara tak akan membiarkan dunia pendidikan dikuasai pemodal dan tak akan membiarkan para ilmu menghambakan ilmunya bagi kalangan elit tertentu saja. Sudah saatnya pendidikan negeri ini diubah secara total dan mendasar, melalui perjuangan pemikiran yang mengembalikan visi pendidikan pada tujuan sebenarnya yakni mencetak output berkepribadian islam. Saatnya bergegas mencampakkan kapitalisme sebagai biang kerok permasalahan kehidupan saat ini.
Wallahu 'alam bi ash-showab.