Oleh : Ummu Hanun
Sepiring nasi goreng dengan telur orak-arik dan tambahan sawi (meskipun agak aneh) pernah jadi menu yang tergolong mewah di kantin sekolah kala saya masih duduk di bangku SMA.
Bagaimana tidak? Sepiring nasi goreng pengganjal perut itu seharga separuh uang saku saya setiap hari. Cukup mahal- bagi ukuran remaja kinyis berseragam abu- yang masih harus menyisihkan sebagian uang untuk ongkos angkot.
Maka menyantap sepiring nasi goreng ala anak SMA adalah dengan cara patungan, membayar sepiring nasi goreng untuk dimakan keroyokan. Berdua atau bertiga.
Ketika uang jajan sedang lebih, biasanya saya beli seporsi dari uang saya semua, namun menikmatinya mesti keroyokan, karena teman-teman banyak yang minta. Alhasil, paling saya hanya memakan sepertiga atau setengah dari porsi sepiring, sisanya ludes dimakan bersama.
Waktu itu terbersit pikiran, "Enak kali ya, kalau bisa menikmati nasi goreng seporsi tanpa diminta."
Waktu pun berlalu. Kalo tidak salah, pada saat jadi mahasiswi, impian saya jadi kenyataan! Uang saku jelas naik. Bahkan jumlahnya dua kali lipat dari uang jajan masa SMA. Bisalah saya beli seporsi nasi goreng untuk diri sendiri. Suapan demi suapan pun lolos dari tenggorokan. Nasi goreng di hadapan pun berbeda dengan nasi goreng sederhana di kantin sekolah. Kadang bertabur suwiran ayam. Jelas, rasanya lebih enak dari nasi goreng sederhana di kantin sekolah. Apalagi sampai suapan terakhir, nasi goreng itu saya makan sendiri. Namun, ketika itu rasanya ada rasa nasi goreng yang berbeda. Bukan, bukan soal rasa yang dikecap di lidah. Bukan soal manis asinnya. Karena sepiring nasi goreng dihadapan saya jelas lebih enak dari nasi goreng yang dicampur sawi supaya porsinya terlihat banyak ala kantin sekolah.
Rasa yang sirna itu adalah *kenikmatan berbagi*. Perasaan bahagia ketika suapan demi suapan juga ikut mengganjal perut teman yang sama-sama lapar, tapi tak punya banyak uang. Menyenangkan, menikmati sepiring nasi beramai-ramai yang jelas saja tak membuat kenyang.
Lalu saya termenung. Itukah yang namanya *barokah*? Sepiring nasi goreng yang tidak membuat kenyang, tapi membuat kita bahagia? Menyantapnya sambil bercerita tentang apa saja. Terkadang tentang sulitnya PR Fisika. Sedangkan sepiring nasi goreng yang saya habiskan sendiri hanya menghadirkan rasa enak dan sekedar kenyang saja, ada sensasi yang hilang. Rasa yang tak sama.
Dalam sebuah hadis disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk makan bersama enam orang sahabatnya, kemudian masuk seorang Arab badui dan menghabiskan makanan yang ada hanya dalam dua kali suapan. _“Kalau saja ia menyebut nama Allah (membaca bismillah),”_ ujar Nabi, _“tentu makanan ini akan cukup buat kalian semua.”_ (HR Tirmidzi, sebagaimana disebutkan dalam Riyadh al-Shalihin).
Dan dalam riwayat lain tentang berkah/barokah disebutkan,
_"Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya."_ (HR. Abu Daud)
Diam-diam saya merindukan hari itu. Hari ketika saya berangan-angan menyantap seporsi nasi goreng sendiri, setelah sepiring nasi goreng saya tandas disantap bersama sahabat.