Oleh : Anita Irmawati
(Pengiat Literasi dan Member WCWH Bogor)
Warga Kabupaten Solok, Sumatera Barat digegerkan dengan sekelompok orang yang menganut kepercayaan baru bernama Agama Muslim. Berdasarkan informasi, aliran keagamaan tersebut sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1996 di Nagari Sumani Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok yang mengakui tuhannya adalah Rabbi. Rabbi bagi mereka berarti Yang Menciptakan, bukan Allah SWT. Kemudian nabinya adalah Nabi Ibrahim AS, bukan Nabi Muhammad SAW. Serta sejumlah aturan di Agama Muslim ini jauh berbeda dari ajaran yang dibawa Rasullah Muhammad SAW. seperti tidak mewajibkan salat tetapi cukup mengingat Rabbi, tidak berpuasa namun harus mengendalikan hawa nafsu, serta tidak pergi haji hanya diwajibkan untuk para guru saja (suara.com, 25/07/20).
Majelis Ulama Indonesia pun tak tinggal diam, pernyataan MUI Kabupaten Solok yang menyatakan kepercayaan itu bukan agama Islam, karena para pengikutnya tidak mengimani Allah dan Nabi Muhammad. Sekretaris Umum MUI Kabupaten Solok, Elyunus Asmara, mengatakan bahwa pengikut Agama Muslim berada di Nagari Koto Sani dan Nagari Sumani, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Jumlahnya sekitar 20 orang dan menganut kepercayaan tersebut sejak empat tahun lalu (CNN Indonesia, 25/07/20)
Munculnya kepercayaan baru di Indonesia cukup mengejutkan ummat Islam, mengingat sebesar 87,2% mayoritas penduduk Indonesia yang memeluk Islam. Keanehan dengan berbagai hal dalam istilah dan beribadah menjadi keheranan tersendiri. Pasalnya istilah muslim sudah melekat erat dengan agama Islam serta berbagai ibadah menjadi hilang (tidak wajib) bahkan dialihkan dengan kegiatan lain. Eksistensi kepercayaan baru pun turut dipertanyakan apalagi dengan landasan yang kurang jelas dalam pijakan kepercayaan, bisa jadi bernasib sama seperti agama sebelumnya yang lenyap termakan waktu.
Kemunculan berbagai macam keyakinan baru tentu merupakan PR bagi negara. Hal ini mampu berakibat fatal pada pemurtadan satu agama bahkan pada eksistensi negara. Munculnya agama baru bukan tanpa sebab, apalagi dengan dalil yang tak kuat dijadikan pijakan. Padahal sudah jelas dengan keyakinan yang telah diturunkan. Hal ini tentu dikarenakan kebebasan yang kebablasan. Seperti kebablasan dalam berpikir yang melahirkan arahan baru menjadi runyam dengan 'karya baru' nya seperti kepercayaan baru.
Memang benar berpikir merupakan hak individu yang dilindungi, namun jika dilepas dengan kebebasan tentu hal ini akan berdampak pada permasalah. Apalagi pemikiran tersebut tidak dilandasi dengan dalil yang pasti. Bukan tanpa sebab hancurnya suatu kelompok karena pemikiran, karena dari pemikiran inilah yang akan menjadikan dasar pijakan berprilaku. Maka dari sini perlunya pemikiran yang matang dilandasi dengan pijakan yang kuat serta menggunakan akal dengan benar.
Lahirnya kepercayaan baru pun bukan hanya dari kebebasan berpikir, namun adanya kebebasan pemahaman yang berseliweran di lingkungan. Seperti pluralisme dan liberalisme yang membuat manusia berpikir bebas tanda batas. Justru pemahaman inilah yang membuat kebebasan berpikir untuk menyampaikan gagasan menjadikan tolak ukur diri sendiri sebagai pembenaran.
Padahal jelas, manusia merupakan makhluk sempurna yang Allah ciptakan dengan akal. Fungsi akal adalah sebagai penginderaan dalam proses berpikir, namun proses berpikir pun mesti memiliki informasi sebelumnya yang benar supaya hasilnya benar. Disinilah peran negara sangat dibutuhkan, yakni meluruskan kekeliruan saat buah pikiran menjadi rancu. Serta memberikan pelayanan dalam mengakses informasi sebelumnya dengan benar.
Namun dibalik hal ini juga jelas ada satu potensi manusia yang tak bisa dilupakan, yakin adanya potensi dalam menyucikan sesuatu sebagai pencipta (Tuhan-nya). Inilah potensi manusia yang tidak bisa ditampikkan. Jelas negara mesti melindungi seluruh keyakinan agama serta tidak memaksakan masyarakat untuk yakin dengan agama tersebut. Walaupun begitu namun Islam telah menunjukkan bagaimana kewajiban negara dalam melindungi keyakinannya, yakni dengan tidak mengusik agama mereka dalam beribadah, tak lupa dalam Islam pun telah ada toleransi dalam masalah Aqidah. Khususnya tidak memaksakan untuk memeluk keyakinan.
Jadi jika negara berperan penuh dalam menjaga keyakinan masyarakat, maka akan sulit pemikiran aneh dan nyeleneh ini lahir. Apalagi dengan menjauhkan aturan bernegara dari pluralisme dan liberalisme yang semakin mengancam kehidupan. Jangan sampai kebebasan yang diberikan justru berujung pada kehancuran. []