Oleh: Anggun Mustanir
Laju kontaminasi covid-19 masih terus bergulir. Lima bulan sudah corona meraja di Indonesia. Dampaknya sukses membuat kesehatan masyarakat dan ekonomi negeri ini porak-poranda. Sayangnya, penguasa selaku pemangku kebijakan seolah tutup mata.
Rekomendasi yang diberikan para ahli virologi dan penyakit menular tidak dihiraukan. Saat kurva pandemi masih menanjak, kebijakan pelonggaran PSBB diterapkan. Lesunya ekonomi lagi-lagi menjadi dalih paling jitu yang memaksa publik setuju.
Menurut sejumlah pakar dan praktisi kesehatan, pembukaan sembilan sektor ekonomi diduga menyebabkan kenaikan kasus covid-19 di atas seribu per hari pada sepekan terakhir. Wacana adaptasi kebiasaan baru atau AKB di tengah masyarakat juga memiliki andil besar terhadap kurva yang belum kunjung landai. (Bisnis.com., 21 Juni 2020)
Hermawan Saputra selaku Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menuturkan bahwa pemerintah bersikap gegabah dalam membuka kembali sembilan sektor ekonomi dan penerapan AKB. Hal ini tentu menimbulkan persepsi yang keliru di tengah masyarakat ihwal pencegahan penyebaran transmisi lokal virus corona. Menurutnya, sejumlah masyarakat pada akhirnya menganggap langkah itu menunjukkan kondisi yang sudah kembali normal seperti sebelum adanya pandemi covid-19. (Bisnis.com., 21 Juni 2020)
Para ahli berpandangan bahwa tingginya angka kasus baru corona di berbagai daerah karena pelonggaran PSBB di tengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Karantina wilayah tidak dilakukan serentak sejak awal diketahui ada masyarakat yang terkonfirmasi positif covid-19. Antara pemerintah pusat dan daerah tidak bersinergi dalam menetapkan aturan, sehingga penanganan pandemi tidak tepat sasaran dan lamban. Minimnya edukasi dari pemerintah dan berita yang simpang siur menambah kebingungan khalayak. Oleh karena itu, semestinya program new normal dievaluasi atau malah dicabut.
Sementara itu, pihak pemerintah beralasan bahwa kenaikan kasus positif covid-19 disebabkan oleh tes yang dilakukan secara serentak. Pelacakan agresif yang dilakukan pemerintah juga dianggap faktor belum landainya kurva kasus covid-19.
Dikutip dari laman Bisnis.com., 21/6/2020, dikabarkan bahwa peningkatan jumlah kasus positif covid-19 di sejumlah daerah maupun tingkat nasional tidak bisa dilepaskan dari kapasitas pemeriksaan sampel di tengah masyarakat yang kian "massif". Raditya Jati yang menjabat sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan bahwa hal itu terjadi karena memang pengadaan jejaring laboratorium yang semakin banyak di Indonesia.
Pernyataan tersebut mencerminkan para pemangku kebijakan saling lempar tanggung jawab terhadap pandemi yang tidak kunjung berakhir. Adalah tanggung jawab negara untuk memberikan fasilitas tes untuk masyarakat. Program ini sejatinya dilakukan sejak awal, bukan ketika ada yang terjangkit baru bertindak. Pelacakan untuk memastikan individu positif covid-19 tidak menularkan ke orang yang sehat juga merupakan kewajiban negara.
Hal tersebut guna mencari jalan keluar bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak selama masa karantina. Semestinya kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa dan para kapital tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan new normal. Karena itu akan membawa risiko yang mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas.
Ketidakpedulian penguasa terhadap warga adalah watak asli pemimpin yang dilahirkan dari sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang batil. Dalam sistem ini tidak ada kewajiban bagi pemimpin menjamin kesejahteraan rakyatnya. Kalaupun tercatat di dalam undang-undang, itu formalitas semata. Mereka mengedepankan untung-rugi ketika membuat kebijakan. Penguasa di sistem ini mendahulukan kepentingan para kapital penyokong dana bagi kelangsungan kekuasaan mereka. Sehingga, kebijakan yang dilahirkan sarat dengan keinginan tuannya.
Hubungan penguasa dan rakyat seperti hubungan penjual dan pembeli. Sistem ekonomi sekuler kapitalis melahirkan kebijakan negara yang berpotensi menjauhkan kewajiban negara dari pemenuhan kebutuhan rakyat.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Aturan Islam berasal dari Allah Swt. Sang Pencipta dan Maha Mengetahui. Sistem shahih ini mewajibkan siapapun yang berkuasa memenuhi kebutuhan umat tanpa pandang bulu. Sistem Islam sangat menjaga harta umat. Sumber daya alam adalah kepemilikan umum yang wajib dikelola negara, tidak boleh diprivatisasi. Pemimpin negara yang mengadopsi sistem Islam tidak tunduk pada siapapun kecuali aturan Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Sehingga negaranya berdaulat dan penuh wibawa.
Tentunya negeri yang memiliki integrasi akan memiliki ekonomi yang kuat dan mapan. Sehingga tidak mudah diatur oleh negara manapun apalagi negara yang memerangi kaum muslimin. Walhasil, semua kebijakannya akan mengedepankan kepentingan rakyat daripada golongan.
Ketaatan kepada Allah Swt. membuat penguasa benar-benar amanah meriayah umat. Penguasa tidak hidup enak bergelimang fasilitas sementara rakyatnya sengsara. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Dikisahkan, pada masa krisis ekonomi melanda Madinah, Khalifah Umar ikut menderita hingga warna kulitnya berubah. Diriwayatkan dari Iyadh bin Khalifah, ia berkata, “Saya melihat Umar pada tahun kelabu berkulit kelam. Ia tadinya adalah orang Arab yang selalu makan mentega dan susu. Saat rakyatnya tertimpa paceklik, Khalifah Umar mengharamkan keduanya. Ia pun makan dengan minyak hingga warna kulitnya berubah, lapar dan haus.” (Ath-Thabaqat, 3/314).
Tentu saja sifat amanah dan empati yang tinggi membuat penguasa bertanggung jawab penuh dan tidak lepas tangan ketika rakyatnya susah. Namun, pemimpin yang ideal tersebut hanya ada apabila negeri ini menerapkan Islam kaffah. Wallahualam