POLEMIK RUU HIP

Oleh : Fitria A, S.Si

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tengah membahas sebanyak tujuh rancangan undang-undang di tengah pandemi virus corona (Covid-19) saat ini. Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya mengatakan ada tujuh RUU yang terbilang krusial masuk pembahasan yakni Omnibus Law Cipta Kerja, Pendidikan Kedokteran, Masyarakat Adat, Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, Mahkamah Konstitusi (MK), Aparatur Sipil Negara (ASN), dan Perlindungan Asisten Rumah Tangga. (www.cnnindonesia.com, 07/04/2020)

Ketika semua elemen masyarakat sibuk dengan penanganan covid-19, ternyata sekian RUU ini tetap berjalan, termasuk RUU Haluan Ideologi Pancasia (HIP). Andaikan tidak muncul polemik dan aksi protes di berbagai wilayah dan berbagai kalangan, kemungkinan RUU ini berjalan mulus menjadi UU. Namun ternyata fakta berbicara lain. 

Ribuan Massa Gelar Aksi Tolak RUU HIP di Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Dalam aksinya, ribuan massa ini menyampaikan sejumlah rasionalisasi dari penolakan yang dilakukannya. Diantaranya adalah munculnya sejumlah pasal di RUU HIP yang dinilai membawa celah bagi masuknya komunisme di Indonesia. (www.merdeka.com, 20/06/2020). Selain itu sejumlah massa menangguhkan protes terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Tak tanggung-tanggung, mereka juga membakar bendera Partai Komunis Indonesia (PKI). Massa dari berbagai organisasi masyarakat itu melakukan aksi pembakaran bendera PKI di depan Masjid Al Hasni Cengkareng, Jakarta Barat, Sabtu (13/06/2020). Pada kesempatan itu, juga dilakukan pelantikan pengurus GNPF Ulama Jakarta Barat. (www.idtoday) dan masih banyak lagi aksi penolakan yang sama. Meskipun Presiden sudah mengumumkan bahwa pembahasan RUU HIP ditangguhkan. Namun diantara aksi emak-emak warga Ciamis menuntut untuk tidak hanya ditangguhkan tetapi minta untuk DIBATALKAN. Aksi-aksi lain serupa juga banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

RUU HIP yang diharapkan menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun  kebijakan Pembangunan Nasional di pelbagai bidang, ternyata justru memuat banyak polemik mulai dari makna Pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, juga bagaimana mewujudkan integrasi hingga polemik soal implementasi di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi. Di satu sisi menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat namun juga mendorong kebijakan utang Luar Negeri dengan alasan memperkuat ekonomi. 

Dari sekian polemik yang ada, salah satu yang mengemuka karena  celah keterbukaan terhadap berkembangnya komunisme atau dikatakan RUU HIP merupakan agenda menghidupkan kembali ajaran komunisme, terutama dengan sama sekali tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966. Sementara seluruh Ketetapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan RI dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila. Ini merupakan pendapat pengamat Politik, Siti Zahro (www.republika.co.id, 14/06/2020)

Dan yang jarang terjadi, dua ormas terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah beserta MUI juga senada menolak atau meminta agar RUU HIP ini direvisi. MUI berpandangan bahwa RUU HIP memeras pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni gotong royong adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Dia mengatakan, hal itu secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahaya lain adalah Draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memuat ketentuan mengenai demokrasi ekonomi Pancasila yang di antaranya mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau kelompok tertentu. Tapi di sisi lain, draf yang telah disetujui DPR sebagai inisiatif lembaga tersebut juga mencantumkan poin yang membolehkan negara berutang demi memperkuat perekonomian nasional.

Namun harus disadari oleh semua komponen bangsa bahwa ancaman tidak kalah besar bahayanya bersumber dari berkembangnya kapitalisme dan liberalisme yang makin mengakar di sektor-sektor strategis umat. Sedangkan Islam dan khilafah justru harus dihadirkan sebagai solusi. Ini mengindikasikan urgensitas mengenalkan Islam sebagai ideologi yang telah sangat komprehensif dan terintegrasi menjelaskan penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem. Memberi identifikasi yang sangat jelas tentang apa saja yang bertentangan dengannya.  Tidak ada saling kontradiksi antar bagiannya. Dan sistemnya secara integral mewujudkan keutuhan, keadilan dan kesejahteraan.
Previous Post Next Post