By : Dante
Mahasiswi
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh DPR nyata menimbulkan berbagai penolakan, hingga berujung pada penundaannya. Kendati sudah ditunda pembahasannya, buntut polemik RUU ini nyatanya masih tersisa. Pada Rabu (24/6) lalu sejumlah massa melakukan aksi demontrasi didepan gedung DPR/MPR agar mencabut RUU HIP dari Program Legislasi Nasional 2020. (kompas.com).
Tidak hanya itu, massa juga mendesak MPR menggelar sidang istimewa untuk menurunkan Jokowi. Dalam orasinya menjelaskan bahwa jokowi telah membuka peluang lahirnya komunisme di Indonesia. Massa bahkan mengancam tidak akan beranjak sebelum tuntutan-tuntutan tersebut di laksanakan. (suara.com).
“kita akan bertahan disini sampai RUU HIP dibatalkan, RUU HIP harus dihapuskan dan digagalkan” kata orator.
RUU HIP memang sudah banyak ditentang oleh berbagai pihak. Muhammadiyah, NU, bahkan MUI secara serempak menolak adanya RUU HIP ini. Rancangan Undang-Undang ini menimbulkan kontroversi karena dianggap mengaburkan makna pancasila, terlebih kepada 3 pasal yang mendapat protes keras yakni :
Pertama, Tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, hal ini dianggap dapat memicu munculnya partai komunisme baru. Kedua, kontroversi pasal 7 yang memeras pancasila menjadi trisila kemudian ekasila, yakni gotong royong. Hal ini dianggap dapat mengaburkan makna pancasila dan melumpuhkan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal sila pertama inilah yang menjadi klausa prima yaitu sila yang menjiwai sila-sila yang lain. Terakhir, kerancuan makna pasal 43 ayat 1 yang berbunyi “presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam pembinaan haluan ideologi pancasila” ini berarti presiden yang menentukan siapa yang pancasilais dan siapa yang tidak. Pasal ini juga menyatakan secara tidak langsung presiden adalah sosok yang paling pancasilais. Hal ini dapat menjadi alat gebuk bagi kekuasaan kepada siapa yang sekiranya ‘mengancam’ eksistensi kekuasaan. Kondisi ini ditakutkan akan menimbulkan rezim represif dan otoriter.
Meskipun begitu, PDIP sebagai partai pengusung RUU ini berpendapat bahwa RUU ini adalah langkah yang baik untuk melindungi ideology pancasila dari paham marxisme-komunisme, radikalisme dan khilafahisme, sejatinya RUU ini dibuat untuk menjegal opini khilafah yang sekarang ini sudah ramai menjadi perbincangan.
Sejatinya menyamakan khilafah dengan ideology adalah sebuah kesalahan. Khilafah bukan ideology, khilafah adalah bentuk Negara yang lahir dari ideology islam. Narasi monsterisasi khilafah sejatinya sudah digelontorkan sejak lalu, bahkan sebelum dibentuknya Perpu Ormas tahun 2017. Mirisnya lagi, narasi-narasi yang sibuk digodok pemerintah bahkan tidak menyentuh akar permasalahan negeri ini.
Problem mendasar dari negeri ini sesungguhnya adalah asas sekuler yang melahirkan sistem kapitalis. System ini diadopsi sebagai landasan berkehidupan, lihat saja bagaimana undang-undang minerba yang telah disahkan tanggah 10 juni kemarin ditengah hiruk pikuk wabah yang melanda. Undang-undang yang diramal akan menjadi jalan tol bagi perampokan kekayaan negeri. Atau perpu tentang kebijakan keuangan dan stabilitas system keuangan ditengah pandemic yang telah lolos sebagai undang-undang bahkan ditengah kecaman para ahli, dimana undang-undang ini berpotensi terjadi kasus megakorupsi seperti BLBI dan Century. Begitu juga tariff listrik dan BPJS yang melonjak tajam kala ini. Jangan lupakan kasus percerian yang meningkat, dan carut marutnya teknis belajar online ditengah pandemic.
Maka sejati nya untuk menyelesaikan problematika yang dari hari ke hari makin rumit, tidak cukup hanya dengan pelengseran presiden, tapi butuh pelengseran system sekuler-kapitalis yang menjadi pijakan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat.