Oleh : Rina Devina
Seperti yang kita ketahui, setiap tanggal 26 Juni selalu diperingati sebagai Hari Anti Narkotika Internasional (HANI). Peringatan HANI ini dilakukan setiap tahunnya untuk memperkuat aksi dan kerajasma secara global terkait pengendalian dan pemberantasan peredaran narkotika secara global. Selain itu, HANI dilakukan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya laten narkoba. Penetapan tanggal 26 Juni sebagai HANI digagas oleh United Nation Office on Drugs and Crime (UNIDOC) pada tahun 1988.
Melansir situs Badan Narkotika Nasional (BNN), terdapat lebih dari 3.6 juta pengguna narkoba di Indoneseia dan terdapat peningkatan jumlah pecandu sebesar 0.03 persen dari tahun lalu. Pengguna narkoba paling banyak berada pada rentang umur kisaran 15 sampai 65 tahun dan Ganja adalah jenis narkoba yang paling banyak digunakan yang mencapai angka 63 persen. Data terakhir mengatakan lebih dari 40 orang meninggal dunia setiap hari dikarenakan narkoba.
Pemaparan data pengguna diatas sungguh sangat menyedihkan mengingat yang terbanyak mengkonsumsi narkoba adalah para Milenial yang adalah generasi harapan bangsa. Padahal Indonesia digadang-gaang akan mengalami bonus demografi pada tahun 2045, apabila keadaan generasi milenial kita masih seperti ini, bonus demografi yang diharapkan akan menjadi kekuatan bangsa akan jauh panggang dari api.
Dalam rangka mendukung Indonesia Emas tahun 2045, diharapakan kerjasama semua pihak dalam memberantas peredaran narkoba. Karena narkoba adalah musuh bersama, terbukti narkoba merugikan perekonomian Negara mencapai 63 triliun rupiah pertahunnya. Dalam hal ini, tugas penyelesaian permasalahan narkoba mulai dari pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkoba bukan hanya tugas BNN semata, akan tetapi menjai tugas seluruh komponen bangsa.
Hal ini dikukuhkan melalui instruksi presiden No. 6 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional P4GN. Terbitnya inpres ini menjadi payung hukum yang jelas bagi masyarakat Indonesia untuk bersama-sama melaksanakan kegiatan P4GN tersebut. P4GN adalah akronim istilah dari kegiatan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Obat Terlarang atau Bahan Berbahaya lainnya. Tugas P4GN dapat dilakukan oleh setiap orang dan lembaga maupun komunitas yang peduli dengan permasalahan narkoba di Indonesia.
Sebagai salah satu elemen bangsa, perpustakaan dan pustakawan adalah salah satu actor dalam pembinaan karakter bangsa. Pembinaan karakter bangsa bukan hanya monopoli tugas dari guru di sekolah, tetapi juga merupakan tugas lembaga pendidikan non formal seperti perpustakaan dan pustakawan. Perpustakaan dapat dijadikan media yang mengedukasi tentang bahaya narkoba sampai menjadi wadah dalam pembinaan pencandu narkoba.
Literasi bahaya Narkoba dan Bibliotherapy di Perpustakaan
Literasi bahaya narkoba banyak kita jumpai di perpustakaan, sekolah, rumah sakit, puskesmas atau pusat-pusat rehabilitasi narkoba lainnya. Bentuk literasi narkoba dapat berbentuk brosur, leaflet, spanduk sampai dengan yang berbentuk buku, buku secara fisik ataupun berbentuk elektronik. Buku memang memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah sebagai media dalam membantu proses terapi yang sering kita sebut sebagai Biblotherapy.
Bibliotherapy adalah terapi baca buku yang unik dengan memanfaatkan bahan-bahan bacaan yang dipandang bisa menambah dan meningkatkan kualitas hidup, tentunya dengan membaca buku yang menyedakan informasi, dukungan, serta panduan dalam menghadapi kejadian atau peristiwa dan permasalahan hidup sehari-hari. Dengan membaca buku terbukti dapat membantu si pembaca dalam hal ini adalah orang dengan masalah depresi atau pecandu narkoba dalam memahami masalah yang dihadapinya.
Perpustakaan dapat mulai menciptakan ruang “Bibliotherapy” di perpustakaan dengan menciptakan satu raung khusus yang mencakup buku dan metoe terapi seperti :
1. Ruang Bibliotherapy Preskriptif, pada bagian terapi ini perpustakaan dan pustakawan menyediakan bahan bacaan yang mencakup berbagai masalah psikologis yang ada, kegiatan dalam ruang ini dapat berupa kegiatan membaca dan menulis untuk menuangkan ide dan perasaan pembaca/pengunjung yang datang ke perpustakaan. Koleksi buku yang tersedia bisa dimulai dari buku-buku psikologi popular dan motivasi juga buku-buku agama.
2. Penyediaan buku-buku yang lebih spesifik, seperti halnya obat, buku juga bisa diberikan layaknya ‘resep’. Maksudnya adalah perpustakaan atau pustakawan menyediakan bahan bacaan atau media yang dapat sesuai dengan permasalahan psikologi yang umum terjadi. Pustakawan harus jeli memilih buku yang akan disediakan pada ruang ini dan dapat merangkap menjadi pustakawan terapis yang membantu para pengunjung atau pembaca dalam menemukan makna dari buku yang dibacanya.
3. Manfaatkan ruang Bibliotherapy dengan kreatif, ruang ini dapat juga Slebih didominasi bahan bacaan yang berasal dari imanjinasi seperti novel, cerpen, buku-buku filsafat ataupun biografi orang-orang sukses. Harapannya adalah agar dapat membantu meningkatkan kesehatan jiwa pengunjung atau pengguna. Pemilihan buku yang cermat akan membantu pembaca dalam memahami dan mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan serta solusinya.
Setelah membaca cerita dalam buku, apakah cerita fiksi, nonfiksi, puisi ataupun buku jenis lainnya, para pengguna dapat mengambil pelajaran sehingga mampu membuat strategi guna menghadapi dan mengatasi berbagai masalah di kemudian hari. Siapapun bisa memperoleh manfaat dari biblotherapy, diantara yang paling disarankan adalah : orang dengan depresi, gangguan makan, gangguan kecemasan, penyalahgunaan narkoba, masalah dengan hubungan asmara, dan masalah kesepian, isolasi, kematian dan lain sebagainya.
Selain ruang yang disediakan untuk menyediakan koleksi yang berhubungan dengan terapi, pemilihan pustakawan juga adalah hal yang penting. Perpustakaan harus menempatkan petugas pustakawan yang memiliki potensi kemampuan yang kuat untuk menghadapai pengguna perpustakaan jenis ini. Pustakawan juga dapat dibekali dengan pendidikan dan latihan khusus agar dapat melayani kebutuhan pengguna yang memiliki kecenderungan dan dianggap membutuhkan layanan bibliotherapy.
Selama ini pustakawan yang melakukan story telling hanya menggarap anak atau orang tua yang tidak bermasalah, dalam arti pustakawan hanya menjalankan perannya sebagai perantara dan pemberi contoh dalam penyampai budaya literasi agar ada kedekatan dan ikatan dalam keluarga dengan cara mendongeng. Namun kali ini pustakawan dapat tampil juga sebagai terapis bagi pengguna dengan menghadirkan layanan biblotherapy di perpustakaan.
Pustakawan harus memiliki keterampilan baru seperti menentukan apakah sebuah buku atau literature layak digunakan dalam terapi atau tidak, mengembangkan kemampuan story telling atau berkisah, menjadi mitra yang baik dari Dokter, Perawat, Bidan bagi perpustakaan yang ada di rumah sakit atau pojok baca puskesmas. Selain keteramilan pribadi, pustakawan juga harus mengembangkan skill dalam pemilihan buku cerita atau koleksi bahan pustaka lainnya yang akan menjadi bahan rujukan dalam melakukan layanan bibliotherapy di perpustakaannya.
Akhirnya, dalam rangka memperingati HANI, mari sama-sama kita bergandengan tangan dalam memberantas narkoba, mulai dari meningkatkan kompetensi diri masing-masing dalam profesi kita agar dapat mengawal perkembangan generasi milenial bangsa ini menuju Indonesia Emas tahun 2045 dan terus menerus membantu mensosialisasikan P4GN dalam kehidupan kita sehari-hari agar kita dan masyarakat kita dapat bebas dari jerat narkoba, salah satunya dengan mengembangkan budaya literasi di masyarakat. Salam literasi.