Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.
Bagaimana kondisi perkuliahan ditengah pandemi? Tentu berubah. Tatap muka di kelas menjadi tatap muka di depan screen. Webinar dan kuliah daring menjadi keseharian mahasiswa, tentu butuh banyak penyesuaian. Salah satunya adalah ketersediaan kuota Internet agar tidak ketinggalan kelas dan info lainnya. Tidak hanya itu, mahasiswapun tetap melakukan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) meskipun tidak menggunakan fasilitas kampus selama kuliah daring. UKT merupakan model pembayaran kuliah yang berbasis penghasilan orang tua, jika banyak orang tua yang mengalami penurunan pendapatan selama pandemi Covid19, maka hal ini menjadi masalah baru dalam pembiayaan selama perkuliahan.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka meminta adanya audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi. Salah satu tuntutan yang mereka soroti adalah soal pembiayaan kuliah di masa pandemi. Mereka meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50 persen. Usai membakar ban, massa mahasiswa tersebut mulai membuat barisan yang memenuhi satu jalur di Jalan Jenderal Sudirman ke arah Monas. Lalu lintas di lokasi pun padat merayap (detik.com). Selain itu, aksi protes mahasiswa juga memenuhi jagad media sosial.
Merespon hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban orangtua yang anaknya tengah berada di tingkat perguruan tinggi. Selama masa pandemi ini, uang kuliah yang dikenal sebagai Uang Kuliah Tunggal (UKT) dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Hal ini disampaikan oleh Plt. Direkrur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud, Prof. Ir. Nizam, dalam unggahan IGTV akun Instagram Kemdikbud, Kamis (4/6/2020). "Saya ingin tekankan sekali lagi, tidak ada kenaikan UKT selama masa pandemi ini. Di seluruh PTN akan diberlakukan UKT sesuai dengan kemampuan orangtua membayar bagi anaknya" tegas Nizam. "Jadi tidak ada kenaikan UKT, dan orangtua hanya membayar UKT sesuai dengan kemampuannya," lanjut dia. Nizam juga menjelaskan, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri juga telah menyepakati untuk menerapkan skema pembayaran UKT, untuk meringankan beban orangtua dalam melunasi kewajiban uang kuliah sang anak. Seperti penundaan pembayaran dan pembayaran dengan cara cicil, namun kebijakan ini dikembalikan ke pimpinan PT masing-masing. Kemendikbud juga menganggarkan dana sebesar 1 triliun untuk bantuan dana UKT, sebanyak 410.000 mahasiswa yang diutamakan PTS yang akan memperoleh dana bantuan. Diluar 467.000 mahasiswa yang menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi dan KIP Kuliah. Seperti biasa ada kriteria syarat yaitu orangtua mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar UKT.
Sedangkan berdasarkan data Menristekdikti pada tahun 2018 terdapat 7,5 juta mahasiswa baik di PTN maupun PTS. Sudah barang tentu jutaan mahasiswa PTN dan PTS harus siap-siap gigit jari dari dana bantuan UKT yang hanya 1 triliun diperuntukan untuk 410.000 mahasiswa.
Learning manajemen system yang tersedia selama kuliah daring, tentu memakan kuota Internet yang besar. Selain persoalan kuota, tidak semua mahasiswa juga memiliki tools untuk mengakses Internet, apalagi yang tinggal di perkampungan, bahkan mencari signal harus berjalan puluhan kilometer dari rumah.
Permasalahan biaya mahal, memang bukan masalah baru di dunia pendidikan. Namun problem ini semakin terasa, saat pandemi Corona tiba. Aspirasi mahasiswa tak dianggap berarti. Suara mereka dianggap angin lalu saja. Seolah negeri ini sedang menegaskan bahwa pendidikan adalah komoditi yang diliberalisasi dan dikomersiliasi. Dan memang tak bisa dipungkiri, sejak Indonesia meratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Service) yang mencakup liberalisasi 12 sektor jasa pada desember 2005, Indonesia kehilangan kedaulatannya akan 12 sektor jasa, salah satunya jasa pendidikan.
Dan penerapan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi salah satu kebijakan yang melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semakin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia. (Kompasiana.com).
Sangat jelas upaya pemerintah untuk me-neoliberalkan dunia pendidikan. Pendidikan bukan lagi menjadi upaya untuk memajukan nasib bangsa menjadikan bangsa yang besar namun pendidikan dijadikan barang dagangan layaknya bisnis yang menguntungkan. Kuliah berkualitas harus merogoh kocek sangat dalam.
Dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan di tanggung oleh negara, baik menyangkut gaji semua pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain, maupun menyangkut infrastuktur serta sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.
Mengapa demikian? Sebab dalam Islam, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Terdapat dua sumber pendapatan Baitulmal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu:
(1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak);
(2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat.
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin. Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain pajak.
Selain itu, dharibah (pajak) dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN Khilafah. Negara hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitulmal tidak mencukupi. Sebaliknya, dalam negara kapitalis, pajak dijadikan sebagai sumber penerimaan utama negara.
Sungguh luar biasa, sudah tak diragukan ketika Islam sebagai ideologi diterapkan tentu akan melahirkan kemaslahatan. Karena Islam turun sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, mahasiswa jangan terjebak dengan solusi-solusi pragmatis yang ada, misal penurunan UKT. Karena permasalahan negeri ini tidak terletak hanya pada hal teknis, tapi paradigmatis dan sistematis. Sudah saatnya mahasiswa melakukan perjuangan ideologis, yang akan mengganti sistem kapitalis-demokrasi dengan sistem Islam yang akan menerapkan sistem pendidikan tinggi, gratis dan berkualitas.