Oleh: Sekar Pratiwi
(Aktivis Pergerakan Mahasiswa Surabaya)
Indonesia kembali digegerkan dengan keputusan hakim terkait penanganan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Setelah kurang lebih 2 tahun kasus ini diusut, para pelaku kemudian diduga menyerahkan diri kepada pihak berwajib, begitulah pernyataan penyidik kasus ini. Jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Apa alasan jaksa memberikan tuntutan yang dinilai ringan?
Dilansir oleh Detiknews.com, Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel. Detiknews, 22 juni 2020.
Akibatnya, timbul begitu banyak kejanggalan yang terjadi pada penanganan kasus ini. Begitulah yang dikatakan Novel Baswedan saat diwawancarai melalui telephone oleh pihak TvOne. Penyidik tidak dapat membuktikan secara pasti bahwa kedua pelaku yang menyerahkan diri tadi merupakan tersangka yang sebenarnya. Sebab banyak barang bukti penting yang hilang seperti botol yang digunakan untuk menyiram, baju yang digunakan korban saat penyiraman juga digunting bagian yang terkena siraman air keras.
Untuk kasus yang penanganannya tidak sebentar, kasus yang tergolong ke dalam tindak penganiayaan berat karena terencana, merugikan korban, dan menimbulkan luka permanen hanya diberi ganjaran 1 tahun penjara. Hal tersebut merupakan satu dari sekian ketimpangan hukum di negara demokrasi ini.
Kasus Novel Baswedan memberi gambaran jelas betapa sulitnya keadilan didapatkan bahkan di ranah hukum sekalipun.
Bertolak belakang dengan hukum Islam yang menjamin keadilan dan kenyamanan, keamanan untuk rakyat. Hal tersebut dapat terlihat apabila terjadi tindak penganiayaan, maka dalam Islam memiliki hukum yang sepadan. Salah satunya hukum qishash, apabila ia kehilangan tangan maka balasan yang setimpal juga dengan hilangnya tangan, begitu pula dengan mata dibayar dengan mata. Bahkan, apabila yang menjadi korban memaafkan, maka ia hanya cukup membayar denda sesuai dengan kekerasan yang dilakukan.
Islam mengatur segala sesuatu dengan begitu detail. Seperti adanya hukum qishah agar pelaku jera dan memberi pelajaran untuk orang lain, sehingga ia tidak melakukan hal serupa. Selain itu, qishas juga dimaksudkan untuk menghapuskan dosa atas apa yang telah dilakukan pelaku sehingga tindak kriminal yang dilakukan di dunia maka hisabnya di akhirat telah dihapuskan.
Di dalam Islam, sanksi berfungsi sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir (pencegah) berarti dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan. Jika ia mengetahui bahwa membunuh maka ia akan dibunuh, maka ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Juga sebagai jawabir (penebus) disebabkan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia.
Dalilnya ialah,
عن عمران بن حُصَيْن -رضي الله عنه- أن امرأة من جهينة أتت النبي وهي حبلى من الزنا فقالت: يا نبي الله أصبت حدا فأقمه علي، فدعا نبي الله وليها فقال: أحسن إليها، فإذا وضعت فأتني بها، ففعل فأمر بها فشكت عليها ثيابها، ثم أمر بها فرجمت، ثم صلى عليها، فقال عمر -رضي الله عنه-: أتصلي عليها يا نبي الله وقد زنت؟! فقال: لقد تابت توبة لو قسمت بين سبعين من أهل المدينة لوسعتهم، وهل وجدت أفضل من أن جادت بنفسها لله
Dari ‘Imran bin Hushain Rhadiyallahu 'anhu bahwasannya ada seorang wanita dari (kabilah) Juhainah mendatangi Nabi Muhammad saw. Dalam keadaan hamil hasil perzinaan, wanita tersebut berkata: “Wahai Nabiyallah, aku telah melakukan dosa yang patut mendapat hukuman had, maka laksanakanlah (hukuman had tesebut) kepadaku.” Kemudian Nabi Muhammad saw. memanggil walinya (keluarganya) dan berkata “. Perlakukanlah disambung ia dengan baik, jika dia sudah melahirkan, bawalah ia kepadaku.” Kemudian (walinya) melakukannya melakukan perintah Rasul saw. Kemudian Nabi saw. Meminta untuk menghadirkan wanita tersebut dan menyuruh (orang) untuk mengencangkan bajunya (mengikat kencang bajunya), lalu beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam. Rasul pun menyalatinya. Umar ra. Berkata “Apakah engkau menyalatinya wahai Rasulullah padahal ia telah berzina?”, Rasul pun berkata “Dia telah melakukan taubat dengan taubat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya mereka semua akan mendapatkan bagian. Apakah engkau menemukan ada yang lebih baik dari seseorang yang sepenuh hati menyerahkan dirinya kepada Allah Swt?”
(HR. Muslim)
Begitulah fakta yang dapat kita rasakan dalam sistem demokrasi saat ini. Keadilan yang digaungkan, tidak seindah kenyataan. Ironisnya, salah satu fakta di atas menimpa seorang pejabat yang di pundaknya terdapat beban untuk menyelesaikan keadilan. Apabila pejabat yang seharusnya mendapatkan keadilan mendapatkan perlakuan demikian, lantas bagaimana dengan rakyat biasa yang tak memiliki kekuasaan. Bisakah keadilan itu didapatkan?
Hal itu adalah kesemuan yang tidak akan ada ujungnya. Hingga kita kembali kepada sistem yang berasal dari sang Mahaadil dan Maha Mengetahui tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sistem tersebut tidak lain adalah Islam. Wallahu A'lam Bishawab