Ilusikah Menuntut Keadilan di Negeri Pertiwi ?

By : Trialita Indrawati, S.Pi 
(Aktivis Dakwah Muslimah, Muara Enim)

Mengirimkan tulisan yang berjudul 'Menuntut Keadilan di Negeri Pertiwi, Ilusi?' untuk rubrik opini.
Semoga bermanfaat.
Jazakumullah khairan katsiran.

Menurut W.J.S. Poerwadarminto, pengertian keadilan adalah suatu kondisi tidak berat sebelah atau pun seimbang, yang sepatutnya tidak diputuskan dengan cara yang sewenang – wenang. Keadilan yang sejatinya diterapkan dengan benar di dalam suatu negara akan tetapi ternyata itu hanyalah isapan jempol saja. Yang terbaru dan terHot saat ini adalah kasus Novel Baswedan. Kasus yang terjadi sejak 11 April 2017 dan berujung pada putusan bahwa pelaku dituntut hanya 1 tahun penjara, karena dianggap tidak sengaja menyiram kepala (detiknews, 13 Juni 2020). Tidak hanya itu saja, kasus Kakek Samirin yang berusia 68 tahun di vonis hukum penjara 2 bulan 4 hari dikarenakan memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone sebanyak 1,9 kilogram atau jika di rupiahkan sebesar Rp 17.000 (kompas.com, 18 Januari 2020). 

Di kutip dari laman Indonesiaone.org (06/09/2019), Adapun 5 kasus besar yang sampai sekarang belum diselesaikan di negeri ini seperti kasus cendana yang di mulai di tahun 1998 dan dimintakan ganti rugi kenegara sebesar 4,4 Triliaun, hambalang dimulai pada bulan oktober 2009 yang menelan biaya sebesar 2,5 triliun, bank century yang merugikan uang negara 6,7 triliun, BLBI bahkan kerugian negara jika dihitung dari biaya penyehatan perbankan sepanjang tahun 1997-2004 mencapai Rp 640,9 triliun, E-KTP Kasus yang merugikan negara sebesar 2,3 Triliun rupiah ini bermula di akhir Oktober 2009. 

Hal ini sangat kontras sekali dengan kejadian Novel Baswedan, Kakek samirin dan sederetan orang-orang yang tidak menerima keadilan lainnya. Dan banyak lagi kasus-kasus di negeri +62 ini yang seolah-olah peradilan ini tumpul keatas dan tajam kebawah. Inikah yang dinamakan keadilan dalam sistem demokrasi saat ini ? Dimana banyak kasus korupsi yang melibatkan nama orang besar, pejabat, hingga anggota partai yang mereka sampai sekarang masih bisa terjun bebas menghirup udara segar.  Begitu susahnya kita mendapatkn keadilan yang sejatinya itu adalah hak seluruh warga negara Indonesia yang telah dijamin dalam UUD kita

Demokrasi yang dijunjung tinggi ini ternyata bukan tempat yang pas mencari nilai-nilai keadilan apalagi mewujudkan kesejahteraan. Trias politika nyatanya menjadi pilar-pilar pengokoh gurita ketidak adlan. Hingga secara struktural  dan sistematis mencederai peradilan dan memakan banyak korban. Semua hanya ilusi sehingga menunjukkan kegagalan rezim dalam mewujudkan keadilan. Menurut Luthfi Afandi SH (2006:9-13), pakar Hukum dari UNPAD Bandung, menyatakan setidaknya penyebab kerusakan hukum (di Indonesia) ada 4 (empat) faktor: Landasan hukum Indonesia bermasalah secara fundamental, karena merupakan produk dari peradilan barat yang sekular, dan mengesampingkan nilai spiritual. 

Sangat berbanding terbalik dengan gambaran bagaimana islam menjamin keadilan bagi seluruh warga negaranya. Islam yang dibangun atas landasan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan Allah sebagai pihak yang berhak untuk membuat hukum. Sebagaimana tertera di dalam QS. Yusuf ayat 40, “Sesungguhnya yang berhak membuat hukum hanyalah Allah.”
Sehingga sistem peradilan hingga sanksi tidak terlepas dari paradigma ini. Pertama, dari segi sistem peradilan dalam Islam. Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Ia bertugas menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan seseorang yang duduk dalam struktur pemerintahan; baik ia seorang penguasa atau pegawai negeri, Khalifah ataupun selain Khalifah.
Kedua, dari segi sistem sanksi dalam Islam. ‘Uqubat (sanksi) disyari’atkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. ‘Uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Keberadaan ‘uqubat sebagai zawajir karena mampu mencegah manusia dari dari perbuatan dosa dan tindak pelanggan. Sedangkan keberadaan ‘uqubat sebagai jawabir karena ‘uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan oleh negara di dunia.

Dengan demikian, sistem sanksi di dalam Islam mampu untuk menjerakan para pelaku kejahatan, mampu mencegah anggota masyarakat lain agar tidak melakukan hal serupa, serta menjadi penebus dosa akibat perilaku tercela (melakukan kejahatan) tersebut. Jelaslah hanya Islam yang mampu menjadi jawaban atas permasalahan yang menimpa umat. Tanpa Islam, keadilan, kesejahteraan, dan pemberantasan korupsi hanyalah ilusi. Maka, tidakkah kita rindu akan penerapan Islam secara kafah? Wallahu a’lam bish-shawab.
Previous Post Next Post