Oleh : Imayanti Wijaya
Ibu Rumah Tangga dan Member AMK
Pandemi wabah belum juga berakhir. Setiap detik, masyarakat yang terpapar virus pun semakin bertambah jumlahnya. Akibat terdampak wabah, kondisi perekonomian pun semakin terpuruk. Di tengah masa pandemi, pemerintah menganjurkan program PSBB dengan membatasi masyarakat Indonesia yang hendak bepergian ke daerah untuk mudik. Namun ternyata, ada fakta lain yang muncul dan membuat hati semakin miris. Di Sulawesi Tenggara tepatnya di kabupaten Konawe, dikabarkan bahwa sebanyak 500 tenaga kerja asing (TKA) asal China telah diberi izin masuk untuk bekerja di PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI). Anehnya pihak kementerian ketenagakerjaan mengaku bahwa pihaknya tidak bisa menolak kedatangan 500 TKA tersebut.
Hal ini seolah diaminkan oleh PLT Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Aris Wahyudi. Ia menyatakan bahwa kedatangan TKA China tersebut tidak menyalahi aturan, karena dalam peraturan Menteri Hukum dan HAM no 11 tahun 2020 pasal 3 ayat (1) huruf f, yang menyebut bahwa orang asing yang akan bekerja pada proyek strategis nasional tidak dilarang masuk ke Indonesia selama masa pandemi Covid-19. (wartaekonomi.co.id 12/05/2020)
Lebih lanjut Aris menyatakan bahwa Kemenaker tidak serta merta menutup mata akan urusan kesehatan di lingkungan industri Konawe. Selain menyatakan bahwa tindakan memasukan TKA tersebut telah mengantongi izin kerja dari Dinas Tenaga kerja Sultra, para pekerja juga dipastikan akan mengikuti protokol Covid-19, membuktikan kesehatan mereka dengan membuat surat pernyataan sehat, juga menjalani karantina 14 hari begitu tiba di Indonesia.
Hal ini sontak mendapatkan kecaman dan penolakan dari berbagai kalangan. Anggota DPRD Sultra, Wa Ode Rabia Al Adawia Ridwan dengan tegas menolak kedatangan TKA tersebut. "Saat ini pemerintah kita seharusnya fokus pada penanganan pandemi Covid-19, abaikan yang bisa menimbulkan polemik" ujar Rabia. Menurutnya, 49 TKA China yang pernah datang ke Sultra saat pandemi sudah sangat meresahkan, apalagi dengan rencana akan masuknya 500 TKA lainnya, padahal Sultra terkategori daerah rawan terpapar Covid-19. (Liputan6.com, 03/05/2020)
Rencana kedatangan 500 TKA China ini mengundang kecurigaan beberapa kalangan, bahkan ada dugaan keterlibatan menteri yang berpengaruh di lingkup kabinet kerja. Dan benar saja, hal ini terungkap melalui ungkapan rasa kecewa Bupati Konawe yang menyinggung janji yang diucapkan oleh Menko Maritim, Luhut Binsar Panjaitan yang menjanjikan pemberian kompensasi terkait kedatangan TKA China, namun hingga kini janji itu belum juga dipenuhi. Ia pun menyatakan kekecewaannya pada pihak perusahaan yang enggan memberikan bantuan pada warga Kabupaten Konawe.
Diskriminatif dan membingungkan. Itulah kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa kapitalis saat ini. Ditengah pandemi yang melanda, dengan dalih untuk memutus rantai penyebaran wabah, rakyat diminta di rumah saja. Sekolah di rumah, bekerja di rumah, ibadah di rumah, bahkan larangan mudik ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri dengan keluarga pun diberlakukan. Namun nyatanya, TKA asal China justru diijinkan masuk ke negeri ini.
Memang sejak rezim ini berkuasa, hubungannya dengan China semakin mesra. Bahkan untuk sekedar menolak masuknya TKA China saja, penguasa negeri ini seolah tak kuasa melakukannya. Hal ini dikarenakan cengkeraman investasi China begitu nampak pada pembangunan infrastruktur. Terlebih setelah disepakatinya perjanjian Belt Road Initiative yang sangat mengikat Indonesia.
Demikianlah, kapitalisme membuat Indonesia tidak memiliki kedaulatan utuh dalam kepemimpinannya sehingga mudah dikendalikan oleh para pemilik modal. Hal ini jelas berimbas pada rakyat negeri ini yang merasa terzalimi karena semakin sulitnya mencari nafkah di tengah wabah, hingga harus kehilangan pekerjaan akibat perusahaan banyak yang gulung tikar. Tapi penguasa justru memberi ijin TKA China untuk masuk begitu saja.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam yaitu khilafah. Dimana seorang khalifah memimpin rakyatnya bukan demi uang dan jabatan semata, namun karena bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta. Konsekuensi kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai pelaksana syariat yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder, serta hak semua warga baik individu maupun kelompok. Itu semua sepenuhnya kewajiban negara. Adapun mekanismenya adalah dengan mewajibkan bekerja pada pria dewasa yang mampu, sementara wanita, anak-anak dan orang tua menjadi tanggungannya. Jika tidak ada yang mampu menanggung, maka pemenuhan kebutuhan diserahkan pada kerabat dan tetangga dekat, dan jika masih belum ada yang mampu maka penjamin kebutuhan mereka adalah negara.
Khalifah berkewajiban membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan usaha bagi rakyatnya. Untuk yang mampu kerja tapi tidak memiliki modal usaha, maka dibolehkan melakukan kerjasama antar sesama warga negara, baik muslim maupun non muslim. Bisa juga mekanismenya berupa pemberian qardh (utang) atau dengan hibah (pemberian cuma-cuma) dan lain sebagainya. Sementara modal usaha yang terkait negara misalnya dengan memberikan tanah pertanian milik negara untuk dikelola (iqtha'). Negara juga berwenang memberikan tanah yang tidak dikelola oleh pemiliknya selama 3 tahun, untuk dijadikan lahan usaha.
Sedangkan jaminan kebutuhan primer dan sekunder rakyat berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan yang wajib diberikan negara secara gratis. Hal ini berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali, baik kaya ataupun miskin. Semua warga negara memperoleh hak yang sama.
Adanya jaminan terciptanya lapangan pekerjaan dan terpenuhinya kebutuhan rakyat secara gratis akan mudah dilakukan, karena negara akan mengelola kepemilikan umum yaitu sumber daya alam yang dimiliki secara mandiri, tanpa intervensi asing dan aseng.
Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan. Pengurusan terhadap rakyat begitu terasa, karena penguasa mengerti betul tanggungjawab yang dipikulnya sangat berat dan kelak akan dihisab di hadapan Allah Swt.
Sebagaimana sabda Rasulullah:
"Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya."
(HR Bukhari-Muslim)
Wallahu a'lam Bishawwab
Post a Comment