Oleh: Ummu Zhafran
Pegiat Opini, Komunitas AMK
Sudah jatuh tertimpa tangga. Kiranya itu yang tepat untuk melukiskan kondisi saat ini. Di tengah ganasnya Virus Corona yang mewabah dan sulitnya ekonomi akibat pandemi, terbit Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Berdasarkan Perpres baru ini, iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000,00 menjadi Rp 150.000,00. Peserta mandiri kelas II dari Rp 51.000,00 menjadi Rp 100.000,00. Kemudian, iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500,00 menjadi Rp 42.000,00. (kompas.com, 18/5/2020)
Tanggapan mengalir dari berbagai kalangan. Mayoritas mengkritisi meroketnya iuran jaminan kesehatan di saat daya beli masyarakat menurun. Perpres ini dinilai akan semakin membuat daya beli menurun. (detik.com, 14/5/2020)
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Profesor Din Syamsuddin seperti yang dikutip laman suaraislam (15/5) juga melontar kritikan tajam. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah wujud kezaliman pemimpin terhadap rakyatnya. Apalagi bukan hanya iuran, tapi denda keterlambatan pembayaran ikut dikerek naik.
Apa Kabar Putusan MA?
Kenaikan iuran BPJS sejatinya membuat publik tak habis pikir. Masih lekat dalam ingatan saat MA sebagai pengadil judicial review memutuskan mengabulkan sebagian uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Saat itu, dengan payung hukum yang sama pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Namun batal dengan keluarnya vonis MA.
Dalam bingkai hukum di negeri ini, keputusan MA bersifat final dan mengikat. Setidaknya hal itu menurut pakar hukum tata negara yang kini menjabat Menkopolhukkam. Pemerintah harus mengikuti dan tidak boleh melawan keputusan terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung (MA). Sebab uji yudisial itu sekali diputus final dan mengikat. (kompas.com, 9/3/2020)
Sayang, terhitung kurang dari triwulan putusan tersebut bagai sirna tanpa jejak. Keluarnya Perpres terbaru, Perpres 64/2020 justru kembali menegaskan rencana kenaikan iuran lembaga yang konon menjamin kesehatan rakyat negeri ini.
Jelas terpampang bertambahnya iuran BPJS yang ditetapkan bersamaan pandemi Corona membuka kesadaran khalayak bahwa pemerintah abai terhadap jeritan rakyat. Sampai melanggar putusan lembaga tinggi negara sendiri. Langsung maupun tidak, segenap warga dapat mengindra betapa kewibawaan salah satu lembaga tinggi negara terdegradasi. Pada akhirnya, rakyat yang kena tulah. Sudahlah diimpit kesulitan hidup selama pandemi, masih ditambah dengan harus menguras isi kantong lebih dalam demi membayar iuran BPJS.
Tegakkan Wibawa Hukum
Miris betapa kebijakan yang mencla-mencle dan putusan yang ambigu makin lazim dari hari ke hari. Ibarat pepatah dalam bahasa Jawa, isuk dele sore tempe. Artinya apa yang dikatakan di pagi hari berbeda saat sore tiba.
Bukan hal aneh sebab demikianlah tabiat hukum buatan manusia. Sarat dengan berbagai kepentingan dan hawa nafsu. Maklum jika berubah-ubah bagai cuaca. Salah satunya seperti kapitalisme yang lama bercokol di negeri ini. Hadir mewarnai nyaris semua lini kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sangat menonjol dengan slogannya yang mentereng, “no free lunch” alias tiada yang didapat dengan percuma. Hubungan penguasa dengan rakyat, dari yang seharusnya pelayan dengan yang dilayani seakan menjelma jadi penjual dan pembeli.
Komersialisasi kesehatan ditandai iuran BPJS yang melonjak beserta dendanya adalah bukti nyata buruknya penerapan kapitalisme yang melepaskan keterlibatan negara mengurus rakyatnya. Tak peduli meski beban rakyat semakin berat di tengah pandemi. Selain menjaga kesehatan juga kebutuhan pokok diri dan keluarga harus terpenuhi. Amboi, mau sampai kapan membiarkan kapitalisme menggerogoti?
Saatnya pandangan jernih dikerahkan guna merujuk pada alternatif pengganti. Apalagi bila bukan Islam, dien sempurna yang diturunkan Allah SWT. Di dalamnya termuat seperangkat aturan hidup yang berlaku baku, tak lekang oleh zaman. Mengambilnya semata cerminan iman kepada Allah azza wa jalla.
Kesehatan dalam Islam termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi rakyat yang mutlak harus dipenuhi. Berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab penguasa yang wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Islam melarang penguasa membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Sebab pemimpin sejatinya adalah raa'in, sebagaimana sabda Rasul Saw,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Pernah dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika sekelompok orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. yang juga bertindak sebagai kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, sebagaimana penuturan Jabir ra.,
Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (pengecoran dengan besi panas) pada urat itu. (HR Abu Dawud).
Tergambar bagaimana penerapan Islam membawa pada kemuliaan dan kesejahteraan segenap manusia. Kiranya tiada pilihan lain selain mengambil Islam secara kaffah, dari hulu hingga hilir. Niscaya berkah tercurah, selamat di dunia hingga di kelak di hari akhir.
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(QS. Ali Imran :85) Wallahu a'lam.
Post a Comment