Oleh: Sari Putri
Mahasiswi Universitas Gunadarma
Hingga saat ini masyarakat masih merasakan pahitnya dampak krisis akibat pandemi Covid-19. Permasalahan baru dan krisis di segala aspek pun terus bermunculan terutama aspek ekonomi. Banyak pelaku bisnis yang mengalami kerugian akibat pandemi ini, sehingga banyak yang mengambil jalan dengan melakukan PHK karyawan besar-besaran dan memulangkan karyawan untuk mengurangi kerugian.
Sebelum Covid-19 menyebar di Indonesia, kondisi perekonomian di Indonesia pun sudah memprihatinkan. Setelah virus mulai menyebar, tidak hanya masyarakat miskin yang semakin menderita bahkan masyarakat yang tadinya mampu pun turut merasakan sesaknya krisis ekonomi di tengah pandemi akibat PHK, serta para pekerja lapangan yang tidak dapat mencari nafkah karena kondisi yang tidak memungkinkan. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang dirilis 11 April, lebih dari 1,5 juta orang Indonesia telah kehilangan pekerjaan imbas pandemi Covid-19.
Sebanyak 10,6 persen atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK. Sedangkan 89,4 persen lainnya dirumahkan. Jumlah pekerja yang di-PHK sebanyak 160.067 pekerja dari 24.225 perusahaan. Sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan.
Keprihatinan ini pun menumbuhkan rasa simpatik dan solidaritas dari masyarakat golongan atas. Mereka sudah tidak tahan lagi melihat kondisi yang memprihatinkan ini jika hanya berharap pertolongan dari pemerintah. Tidak sedikit yang berinisiatif untuk mengumpulkan donasi di sosial media bahkan tidak sedikit pula yang langsung memberikan bantuan dengan dana pribadi.
Alih-alih memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, pemerintah malah membuka rekening donasi untuk masyarakat yang ingin berdonasi. Pemerintah seperti melepas tanggung jawab dan memberikan beban kepada rakyat untuk mengatasi masalahnya sendiri.
April 2020, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan bahwa pemerintah pusat akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada warga miskin sebesar Rp 600.000 per-bulan. Kebijakan bantuan tunai ini dilakukan untuk tetap menjaga daya beli masyarakat miskin saat pandemi Covid-19. Penyaluran BLT ini diberikan selama tiga bulan dari April hingga Juni. Bantuan ini dikhususkan bagi warga miskin yang tinggal di luar Jabodetabek. Sementara untuk masyarakat kurang mampu di Jabodetabek akan kebagian paket sembako dengan nilai yang sama.
Meski begitu, banyak masyarakat miskin yang belum tersentuh. Bahkan, tak jarang bantuan sosial atau bansos dari pemerintah daerah malah tak tepat sasaran. Misalnya saja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak, terdata sebagai salah satu penerima bansos. Karena hal ini, Pemprov DKI Jakarta dianggap asal dalam menyalurkan bansama.
Tak hanya di Jakarta, di Jawa Timur, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Achmad Amir, menceritakan bantuan antara pemerintah provinsi dan tingkat desa yang tumpang tindih. Lalu, masyarakat yang berada di rumah hanya mendapat masker dan sembako. Tapi, mereka yang keluyuran malah dapat bantuan lebih. (Vivanews.com, 24/04/2020)
Bantuan tersebut pun menuai kritik dari pejabat daerah. Sejumlah kepala daerah menilai aturan yang pemerintah buat berbelit-belit dan menimbulkan masalah baru. Program yang diberikan pemerintah pusat kepada terdampak Covid-19 pun terkendala pencairan. "Orang yang dapat BLT, kan, yang paling miskin.Persoalannya semua kepala daerah punya uang buat rakyat yang bisa menalangi untuk memberikan langsung bantuan sembako. Tapi terhambat aturan menteri," kata Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar saat dihubungi Tempo, Ahad, 26 April 2020.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat juga dinilai lamban akibat dari kebijakan yang berbelit seperti yang dilansir dari laman tirto.id 28/04/2020, Sehan kesal lantaran mekanisme BLT menyulitkan rakyat yang membutuhkan makanan. Sehan mengakui adanya miskomunikasi soal penggunaan dana desa. Menurut dia, dirinya mendapat surat dari Kementerian Desa pada Februari 2020 bahwa dana desa tidak bisa dipakai untuk penanggulangan Covid-19 atau sembako, tetapi untuk padat karya.
Namun seminggu berselang Kemendagri minta dana desa untuk penanggulangan pandemi. Sehan mengaku kaget dan marah ketika mengetahui ada warganya yang datang meminta beras. Bahkan warga tersebut memilih tidak mau mengambil BLT demi mendapat makan hari itu juga. Ia semakin berang setelah mendapat penjelasan warganya tidak menerima bantuan BLT karena terdaftar sebagai PKH maupun sebaliknya. Ia kemudian memerintahkan semua bantuan daerah diserahkan ke publik dengan metode pengawasan foto kepada para penerima.
Pemerintah seolah-olah memberikan solusi, padahal malah dibebankan kepada rakyat lagi. Rakyat pun secara tidak langsung disuruh untuk mandiri dan mengatasi masalahnya sendiri padahal peran pemerintah juga dibutuhkan dalam memenuhi hak-hak dan kebutuhan dalam kesejahteraan rakyat. Kepedulian kita dengan sesama pun tidak akan cukup untuk mengatasi kesulitan masyarakat mengakses kebutuhan pokok mereka terutama pangan.
Tidak seperti sistem Islam yang telah mewajibkan terlaksananya jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat. Islam memberikan serangkaian hukum syariat untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang bagi tiap individu rakyat dengan mekanisme langsung dan tak langsung oleh laki-laki, keluarga, masyarakat, dan negara.
Negara bertanggung jawab penuh untuk mengurusi rakyatnya, tidak malah melemparkan tanggung jawab itu kepada individu rakyat atau lembaga filantropi swasta. Seperti sabda Rasulullah SAW “Imam/khalifah/kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). []
Biodata Penulis:
Nama: Sari Putri
Kuliah: Universitas Gunadarma
No HP: 085775797933
Email: sariputrikesumaarifin@gmail.com
Post a Comment