RENCANA PENERIMAAN TKA CHINA: DI MANA NURANI PENGUASA?

Oleh: Umi Salamah 
(Penulis)

Salah satu dampak dari kebijakan social distancing demi memutus mata rantai penyebaran virus covid-19 adalah banyaknya pekerja yang dirumahkan akibat perusahaan tidak menjalankan aktifitas produksi sebagaimana biasanya. Tentu saja, angka pengangguran bertambah. Solusi dari pemerintah berupa pemberian kartu Pra-Kerja masih menuai polemik. Pasalnya, ternyata isi programnya adalah pelatihan online berbayar. Banyak rakyat kecewa dengan program ini.

Di tengah kelesuan ekonomi yang terjadi dan kesedihan banyak rakyat yang terpaksa kehilangan mata pencahariannya di tengah wabah ini, agaknya pemerintah seperti sedang bercanda ketika hendak menerima 500 TKA (Tenaga Kerja Asing) dari China masuk ke Indonesia.

  Rencananya, TKA tersebut akan dipekerjakan di PT Virtue Dragon Nickel Industrial Park di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Alasan yang dikemukakan Kementrian Tenaga Kerja adalah karena masyarakat lokal tidak ada yang bisa menempati posisi yang telah ditawarkan.

Menjadi pertanyaan, benarkah dari jutaan masyarakat Indonesia yang berstatus pengangguran itu tidak ada yang bisa menempati posisi yang dibutuhkan sehingga Indonesia harus menerima TKA dari China? Sudahkah pemerintah menyebarkan lowongan kerjanya secara terbuka kepada masyarakat luas? Bukankah penerimaan pekerja dari warga dalam negeri bisa membantu mengurangi angka pengangguran?

Rencana penerimaan TKA ini bukan hanya akan mempertahankan angka pengangguran di Indonesia, tapi juga menjadi persoalan baru karena ada kemungkinan para imigran itu membawa virus ataukah tidak. Mengingat bahwa covid 19 pun berasal dari China. Anehnya, di tengah masyarakat yang dihimbau mati-matian untuk social distancing, penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa daerah hingga larangan mudik, justru pemerintah akan memberi karpet merah bagi orang China untuk masuk ke negeri ini.

Memang, pada akhirnya rencana ini masih mau dikaji ulang oleh kementerian tenaga kerja. Pengkajian ulang ini pun muncul setelah banyak rakyat bereaksi keras menentang kebijakan tersebut. Seandainya rakyat diam, bukan tidak mungkin TKA China itu lolos dengan mudah.
Meski sedang dikaji ulang, kita patut mencermati alur berpikir penguasa, mengapa bisa keluar rencana demikian? Karena bukan tidak mungkin, ke depan pemerintah akan melakukan hal yang serupa. 

Menurut pengakuan Bupati Konawe, Kerry Saiful, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, menjanjikan bantuan terkait kedatangan TKA China. Namun, menurut Kerry, sampai sekarang bantuan tersebut tak jua datang. Beliau juga mengaku kecolongan, pasalnya beliau taunya justru dari wartawan. Informasi ini menunjukkan bahwa ada kongkalikong pemerintah pusat di balik rencana kedatangan TKA China ini. Mengapa Pak Luhut sampai menjanjikan bantuan demi meloloskan TKA China tersebut. Padahal, Pemda dan masyarakat setempat menolak kedatangan warga China tersebut. Apakah ada udang di balik batu? Apakah ini bagian dari konsekuensi Indonesia yang mendapat banyak investasi dari China selama ini?

Fakta ‘menyogok’ seperti yang diungkap oleh Bupati Konawe tersebut bukanlah hal yang mengangetkan di alam kapitalisme. Sudah jadi rahasia umum bahwa pejabat bermental kapitalis sering menghalalkan banyak cara untuk mencapai targetnya. Jika kedatangan TKA China diyakini membawa kebaikan bagi rakyat, kenapa harus meng-iming-imingi Pemda dengan bantuan? Faktanya rakyat setempat menolak dengan alasan kemanusiaan apalagi di tengah wabah covid-19. Lantas, keuntungan yang diharapkan benar diharapkan untuk rakyat atau ada kepentingan lain dari pemerintah pusat sendiri. Jadi, menteri sebenarnya berpihak pada siapa? Mental kapitalistik seperti ini juga wajar tumbuh subur di dalam demokrasi. Pasalnya, demokrasi memberi celah bagi siapapun untuk meloloskan kepentingan pribadinya karena di dalam demokrasi, aturan dibuat oleh manusia. Tidak ada standard halal-haram di dalam demokrasi. Kebenaran adalah subjektif di masing-masing benak manusia.

Hal ini jelas berbeda dengan Islam. Islam memberi standar haq dan bathil dengan jelas. Di dalam sistem pemerintahan Islam, kebijakan terpusat di tangan pemimpin negara (Khalifah). Tidak ada menteri-menteri yang diberikan wewenang mengeluarkan kebijakan sendiri. Sistem kerja antar struktur negara juga terintegrasi dengan khalifah karena ada mu’awin (pembantu khalifah) yang membantu khalifah untuk mengetahui fakta-fakta di lapangan. Selain itu juga ada sistem peradilan dengan sanksi yang tegas dan membuat jera. Jika terkuak fakta ada pejabat negara yang melakukan “penyogokan” tentu akan langsung diusut dan diberi sanksi yang tegas. 

Dengan demikian, agar kasus-kasus “kecolongan” seperti yang terjadi di Konawe terkait TKA China tidak terjadi lagi ke depannya, maka kita perlu menutup kran yang meloloskannya, yakni demokrasi. Berikutnya, kita perlu menerapkan aturan Islam di dalam sistem pemerintahan Islam karena Islam adalah ajaran shahih yang datangnya dari Allah SWT, yang jiwa kita ada dalam genggamannya.

Post a Comment

Previous Post Next Post