Oleh : Luluk Kiftiyah
Member Akademi Menulis Kreatif
Adanya bencana pandemi Covid-19 yang menyebar hampir ke seluruh dunia, membuat pemerintah memilih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai langkah untuk membendung penyebaran virus corona (Covid-19). Pilihan itu diperkuat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020.
Dampak pandemi Covid-19 yang tak kunjung berlalu ini, menuai daftar panjang masalah baru seperti, meningkatnya tindak kriminal, merebaknya penggangguran akibat PHK masal, dan bertambahnya angka kemiskinan sehingga berdampak pada banyaknya masyarakat yang kelaparan.
Tak hanya itu, sektor perekonomian hampir lumpuh total, sehingga pemerintah akan melakukan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menstabilkan kegiatan perekonomian. Kelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini dilakukan pemerintah dengan dalih, banyak masyarakat stres dan agar ekonomi berjalan normal.
Namun, rencana ini mendapat kritik dari sejumlah kalangan. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR Sukamta menilai, rencana pemerintah melakukan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menunjukkan ketidakjelasan konsep penanganan Covid-19.
"Dalihnya hasil evaluasi, masyarakat dikatakan stres karena dibatasi, kalau stres imunitas menurun bisa jadi sakit. Ini kayaknya yang stres malah pemerintah karena enggak jelas konsepnya, enggak jelas ukuran evaluasinya. Sampai sekarang pemerintah juga belum pernah ungkapkan grand design penangangan Covid-19, termasuk target waktu untuk mengatasinya," kata Sukamta kepada wartawan, Senin (kompas.com, 4/5/2020).
Tanggapan serupa juga dilontarkan oleh Wakil Walikota Bogor Dedie A Rachim, beliau mempertanyakan alasan Mahfud yang bilang PSBB membuat warga kesulitan berbelanja. Dedie menjelaskan, pasar dan toko yang bergerak di bidang kebutuhan dasar atau bahan pokok, masih beroperasi selama penerapan PSBB. Tempat makan pun masih buka, namun dengan sistem pelayanan delivery. (detik.com, 3/5/2020).
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md menyampaikan siaran langsung melalui Instagramnya @mohmahfudmd, Sabtu (2/5) terkait pemerintah saat ini sedang memikirkan adanya relaksasi PSBB. Karena menanggapi adanya keluhan masyarakat yang tidak dapat melakukan aktivitas dengan bebas, seperti sulitnya keluar untuk belanja, sulit mencari nafkah, dan sebagainya.
Kritik yang disampaikan oleh sejumlah kalangan tersebut memang sangat berdasar. Sebab, jika ditelaah dengan seksama, sejak awal penerapan kebijakan PSBB ini terlihat kebijakan yang setengah hati. Apalagi, aturan PSBB ini tidak begitu berdampak dalam menyelesaikan masalah. Karena PSBB ini hanya sebatas imbauan bukan aturan yang dibarengi dengan sanksi yang tegas.
Kemudian, adanya relaksasi kelonggaran kebijakan PSBB ini seakan lempar tanggung jawab dari pemeritah pusat ke daerah. Kebijakan yang tak searah ini malah membuat gubernur, bupati, dan walikota terpontang-panting akibat PSBB yang tidak jelas.
Jadi, lumrah saja jika fakta di lapangan banyak masyarakat yang tidak mengindahkan arahan tersebut. Akibatnya jumlah pasien yang positif ataupun yang meninggal terus bertambah. Seandainya pemerintah bertindak cepat mengambil opsi karantina wilayah, mungkin pandemi Covid-19 akan cepat selesai dan tidak memakan banyak korban seperti saat ini.
Terkait dengan adanya masyarakat yang stres, seperti yang diungkapkan oleh Mahfuf MD itu, bukan karena PSBB, tetapi karena biaya hidup selama dibatasi tidak dijamin oleh negara. Kalaupun ada bantuan sosial (Bansos) yang diberikan pemerintah kepada rakyatnya, harus memenuhi syarat yang panjang dan berbelit.
Realitanya, penanganan bencana Covid-19 ini sangat amburadul. Kebijakan yang diambil selalu tumpang tindih dengan kebijakan yang lain. Bagaimana tidak tumpang tindih? Penguasa tidak satu komando dalam berupaya memutus rantai penyebaran Covid-19. Setiap hari Juru Bicara Covid-19 mengumumkan data pasien dan tak henti-hentinya mengingatkan untuk selalu jaga jarak dan di rumah saja. Presiden pun mengumumkan agar tidak mudik. Namun, di tengah PSBB yang sedang berlangsung, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, memutuskan untuk membuka lagi akses layanan seluruh moda transportasi umum mulai Kamis, 7 Mei 2020. (detik.com, 8/5/2020).
Rakyat mana yang tidak bingung dengan kebijakan pemerintah ini?
Dari sudut pandang yang mana pemerintah serius menangani pandemi Covid-19 ini? Sehari setelah pengumuman akses layanan transportasi umum dibuka, dikabarkan Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta) mulai membludak penumpang. Ironinya saat Bandara Soetta mendadak membludak, ditemukan 11 orang positif Covid-19. (wartakotalive.com, 8/5/2020).
Bukan kah keadaan ini semakin memperjelas, bahwa setiap kebijakan yang diambil syarat dengan kepentingan segelintir orang? Kebijakan ini menyebabkan penyebaran virus terbuka lebar ke daerah-daerah. Pemerintah seperti tidak serius menangani wabah ini. Kebijakannya selalu berputar pada keselamatan ekonomi, bukan pada selesainya masalah.
Seharusnya, prioritas kebijakan pemerintah mengarah pada bagaimana agar wabah ini segera berakhir dan bagaimana penanganan pada korban yang terjangkit. Karena, jika penanganan virus Covid-19 ini cepat selesai maka perekonomian pun akan kembali pulih. Namun sangat disayangkan, rezim sekuler kapitalis dengan kebijakannya yang kontraproduktif tadi telah menjadikan wabah ini semakin besar dan bisa jadi tak terkendali.
Inilah kapitalisme, harta lebih penting dari pada nyawa. Aturan ala kapitalisme telah terbukti gagal melindungi rakyatnya. Kapitalis hanya menganggap negara sebagai regulator yang mengatur kepentingan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, uang adalah segalanya.
Hal ini sangat jauh dengan Islam. Islam menjadikan negara sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi rakyatnya dan berupaya meminimalisasi korban yang berjatuhan akibat wabah seperti saat ini. Ketika telah diketahui ada wabah yang menyerang, negara akan langsung menyatakan daerah itu untuk diisolasi, lockdown atau karantina total sehingga wabah tersebut tidak akan keluar daerah.
Kemudian segala kebutuhan rakyat akan dipenuhi pada masa karantina, sehingga wabah cepat berakhir. Hal ini pernah dilakukan di zaman Rasulullah Saw juga sahabat Umar bin Khaththab. Islam sangat melindungi rakyatnya. Jangankan ribuan nyawa yang melayang, satu nyawa muslim saja sangatlah berharga. Artinya, seorang pemimpin muslim akan mengerahkan segala cara untuk meminimalisasi bahkan menyelesaikan wabah itu. Bukan hanya beretorika, dan menebar citra kepemimpinan, tetapi di lakukan dengan bukti nyata.
Kebijakan yang dilakukan di masa Rasulullah dan Umar bin Khattab saat itu, tentunya membutuhkan perencanaan, dukungan, bahkan pembiayaan yang besar. Maka, negara dalam sistem Islam memiliki baitul mal yang akan menyelesaikan biayanya. Begitu juga para ahli yang ada siap berjuang karena dorongan pahala, bukan insentif belaka. Kepemimpinan seperti ini hanya didapat pada sistem pemerintahan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rhasiddin.
Kehidupan yang berkah dan sejahtera akan kita rasakan baik muslim maupun non muslim di bawah sistem Islam kaaffah.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment