PEMBERIAN BANSOS CORONA UNTUK CITRA, PENGUASA TAK SAMA DENGAN KHALIFAH

By : Eka Kirti Anindita, S.Pd
Aktivis muslimah dan pemerhati sosial

Woow! 40,4 triliun rupiah lebih digelontorkan pemerintah untuk masyarakat yang terdampak wabah corona. Ya, jumlah tersebut diberikan kepada rakyat seiring dengan pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di berbagai kota yang mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan mereka dan kemiskinan makin meningkat tajam. Sayangnya kebaikan itu mendapat cibiran dari masyarakat, mengapa? 

Warganet pengguna Twitter mengkritik keras dengan ramai-ramai mengunggah tagar #BupatiKlatenMemalukan. Tagar itu sempat memuncaki trending topic pada Senin 24 April 2020 lantaran viralnya foto bupati Klaten Sri Mulyani yang menempel di paket bantuan sosial penanganan virus corona (Covid-19). Dalam paket bantuan hand sanitizer, tertempel wajah bupati Klaten Sri Mulyani. Unggahan itu disusul oleh foto berbagai paket bantuan sosial yang juga ditempeli wajah politikus PDIP tersebut. Mulai dari beras, masker, hingga buku tulis untuk siswa diwarnai wajah Sri. (https://www.cnnindonesia.com/). 

Kejadian politisasi bansos tak hanya terjadi di Klaten, tapi juga di berbagai daerah. Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengatakan upaya politisasi bantuan terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, seperti kabupaten Brebes (Jawa Tengah), Pesawaran, Way-Kanan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Kota Bandar Lampung (Lampung), kabupaten Kaur (Bengkulu), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Jember, Sumenep (Jawa Timur), Pangandaran (Jawa Barat), Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Termasuk juga di DKI Jakarta. Tentu dengan beragam caranya.

Tak hanya di tingkat daerah, aroma politisasi bansos juga terjadi di tingkat nasional. Aksi presiden yang blusukan malam hari di perkampungan di Sempur, Bogor, untuk memberikan bantuan langsung sembako kepada warga pada Minggu (26/4) diklaim mirip dengan gaya kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab oleh politisi PDIP Arteria Dahlan. 

Netizen pun berontak. Mereka menyatakan bahwa khalifah Umar tak bawa kamera saat memberi bantuan. Sosok Umar di mata masyarakat adalah pemimpin yang tulus mencintai rakyat dan anti pencitraan. Kecintaan Umar kepada rakyatnya jelas melekat erat di ingatan kita tentang kisah seorang ibu dan anaknya yang kelaparan. Mengetahui hal itu, Umar sendiri yang memikul sendiri gandum yang  beliau bawa dari gudang negara dan diserahkan kepada ibu tersebut tanpa memperkenalkan diri sebagai pemimpin negara. 

Ada pula yang menyindir sikap presiden sebelumnya yang menentang khilafah namun sekarang menyamakan dirinya dengan khalifah. Karena Umar bin Khattab adalah sosok pembela Islam sejati, bukan pemimpin anti Islam. Sebagaimana dalam sabda Rasul, “Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar dan yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar.” (HR. Tirmidzi).

Selain itu, khalifah Umar bin Khattab adalah pemimpin yang cepat dan tanggap dalam menangani wabah. Suatu ketika Umar mengunjungi Hisyam, kemudian beliau bertemu dengan Abu Ubaidah dan sahabat-sahabatnya. Dilaporkan bahwa Syam diserang wabah Amwas. Setelah terjadi diskusi dengan yang lain, beliau kembali ke Madinah. Lalu beliau menerapkan sabda Rasul, “Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya.”  Selanjutnya beliau menerapkan lockdown.

Dan saat terjadi krisis ekonomi berlangsung selama 9 bulan akibat kemarau dan badai angin, hingga menyebabkan jumlah pengungsi sebanyak 60.000 orang, khalifah Umar mengharamkan dirinya makan makanan lezat, hanya roti kering yang dilumuri minyak sampai tubuhnya mengurus. 

Kalau kita melihat kepemimpinan khalifah Umar yang demikian itu maka wajarlah kalau netizen berontak, karena kepemimpinan penguasa dalam politik demokrasi saat ini jauh beda dengan masa Umar dulu. Pemimpin dalam demokrasi mudah untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Money politik, suap menyuap, pemalsuan data, serangan fajar, hingga pencitraan yang massif pun dilakukan. Tak peduli apakah itu benar atau salah, pantas atau tak pantas, bahkan tak masalah jika harus melakukan hal yang memalukan. Karena demokrasi adalah sistem politik yang lahir dari rahim sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan. Maka dalam praktiknya, demokrasi membuat manusia rela melanggar aturan agamanya.

Sedangkan kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab berasal dari sistem khilafah Islamiyyah yang lahir dari aqidah Islam. Sistem ini mencetak manusia menjadi manusia bertaqwa yang senantiasa takut kepada Rabbnya. Sehingga sikap yang lahir darinya pun semata karena Lillah, bukan pandangan dan sanjungan manusia. 
Tinggal kita mau pilih mana. Mau terus-terusan dipimpin oleh pemimpin bertopeng citra, atau memilih pemimpin anti pencitraan?

Post a Comment

Previous Post Next Post