Oleh : Aubi Atmarini Aiza
Member Akademi Menulis Kreatif dan Novelis
Masyarakat telah lama menantikan bantuan sosial yang tengah ramai diberitakan. Bantuan sosial ini bagaikan oase di padang pasir. Ketika rakyat sedang mengalami kebingungan setelah di PHK, kehilangan tempat tinggal, kehilangan sumber penghasilan, tabungan menipis dan kelaparan, ada setitik harapan dari bantuan sosial tersebut. Berharap bahwa penderitaan mereka akan terobati dengan adanya bantuan di tengah wabah.
Namun, bagaimana jika pada akhirnya bantuan sosial tersebut berbalik menciutkan pandangan rakyat pada penguasa? Seperti yang dilansir oleh katadata.com, pada 26 April 2020. Perspektif publik terkait program pemberian bantuan sosial (bansos) untuk menanggulangi dampak negatif pandemi virus corona (Covid-19), berubah dari positif menjadi negatif. Implementasi penyaluran bansos yang tidak terarah dan tumpang tindih dianggap menjadi penyebab masyarakat tidak lagi memandang program bansos secara positif.
Dikhawatirkan, jika tidak ada perbaikan maka akan berujung pada konflik sosial di lingkup masyarakat. Kekhawatiran ini dilontarkan Eko dengan berkaca pada pembagian bansos sebelum ini yang punya masalah yang sama.
Data menyatakan fakta melalui angka, begitu juga dengan fakta di lingkungan kita saat ini. Begitu banyak gejolak yang terjadi setelah si kecil corona masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang paling terasa gejolaknya ada di daerah-daerah. Kekacauan dalam penyaluran bansos nyatanya tidak hanya terjadi di kala wabah, tetapi hampir setiap ada bansos, sistem pengaturannya kacau balau. Mengingat bahwa banyak sekali bansos yang tidak disalurkan dengan semestinya atau disalahgunakan oleh oknum pengurus daerah. Parahnya, bansos ini sering kali tidak tepat sasaran. Orang-orang yang terbilang mampu malah mendapat bagian, sementara orang yang harusnya berhak tidak mendapat bagian.
Belum lagi pengaturan dari para pengurus desa atau daerah-daerah, mereka tidak menyalurkan bantuan pada yang berhak. Fakta di lapangan, para penerima bansos justru mereka yang mampu, kemudian para pengurus desa mendapat bagian dari orang mampu yang mendapat bansos tersebut. Semacam membuat konspirasi di belakang rakyat lainnya, sebuah gambaran yang jika ditelaah bisa membawa kita pada pemahaman terhadap mental para petinggi negeri saat ini. Petinggi negeri yang digambarkan oleh para pejabat desa, bermain mata dengan para penguasa di belakang rakyat yang katanya mereka cintai. Kampanye tempat dimana para pejabat menebar kata cinta pada rakyatnya untuk menarik suara, tapi cinta hanya sebuah bualan ketika mereka sudah duduk di kursi jabatan. Inilah fakta dari mental penguasa di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme.
Adapun di tengah karut-marutnya wabah corona, penguasa agaknya tidak memiliki solusi solutif dalam menghadapi wabah. Terlihat dari solusi yang diberikan, justru mengundang banyak problem baru yang seharusnya tidak lebih genting dari pandemi ini. Seperti halnya solusi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang terkesan tidak maksimal, local lockdown yang menggambarkan silang pendapat antara daerah dan pusat, dan herd immunity yang tidak manusiawi. Ketiga solusi tersebut memperlihatkan betapa tidak harmonisnya negeri ini dipimpin dengan sistem kapitalisme.
Berkaitan dengan bansos pun sama, berita sudah jauh-jauh hari disiarkan, sementara aturan dalam mendapatkan bantuan pun sangat berbelit, mengulur waktu hingga membuat rakyat bingung. Alhasil penyaluran bansos tersebut tidak tepat sasaran, malah disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab. Harapannya bansos ini bisa mengurangi penderitaan masyarakat di tengah wabah. Namun, kita melupakan fakta bahwa tanpa adanya wabah pun keadaan negeri sudah kacau. Bantuan sosial bukanlah solusi solutif, justru akan menimbulkan masalah baru seperti ketidakadilan di masyarakat, menimbulkan kekacauan lainnya. Melukai hati masyarakat yang tidak berhak, termasuk menimbulkan sentimen publik. Hal ini membuat fokus pemerintah pecah dalam menangani wabah, sebab harus menangani problem baru.
Belum lagi para petinggi negeri malah sibuk dengan investasi-investasi yang entah untuk siapa. Pada akhirnya rakyat harus menderita dan mempertahankan diri secara mandiri, menjamin kesehatannya sendiri, seperti anak ayam kehilangan induknya. Rakyat dilanda kelaparan, di PHK, tidak memiliki penghasilan, tempat mencari nafkah ditutup, akhirnya mental masyarakat menurun drastis. Menimbulkan gejolak yang menambah kisruh keadaan. Lalu apa peran penguasa dalam kasus ini? Bansos nyatanya bukan solusi solutif dalam menangani situasi di masa pandemi ini. Alih-alih memberikan solusi tuntas, penguasa malah memberi solusi nyeleneh yang menimbulkan kasus-kasus baru di tengah wabah.
Hancur sudah negeri ini jika terus melanjutkan sistem yang sudah bobrok. Menggantungkan harapan pada para penguasa yang tak acuh hanya memperpanjang penderitaan. Melanjutkan sistem kapitalisme ini merupakan kebodohan yang dipupuk hingga tidak terbentuk lagi. Mempertahankan kapitalisme juga merupakan kegilaan yang menambah penderitaan dan kita kehilangan keadilan di dunia ini. Faktanya sistem kapitalisme gagal mengatur kehidupan umat manusia.
Mustahil jika dalam sistem kapitalisme, segala problematika bisa diatasi. Buktinya, sejak tahun 1924 kapitalisme memimpin dunia, kehidupan dunia hancur ditelan kemewahan materi. Sementara itu kapitalisme juga merenggut jiwa kemanusiaan, akal sehat dan nurani manusia. Menjadikan manusia hidup tanpa tujuan. Pantas saja jika dalam situasi pandemi ini banyak sekali manusia yang mengalami depresi. Padahal, wabah dalam sejarah Islam tidak sampai berlarut seperti saat ini.
Sejarah mencatat ketika ada wabah tha'un pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, berhasil dihilangkan tanpa menimbulkan masalah baru. Begitu pun Amru bin Ash menyampaikan solusi yang sudah disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai lockdown. Begitu pula ketika hari ini kita melihat gejolak di masyarakat justru semakin ruwet, sebab meninggalkan aturan Islam dan menerapkan sistem kufur kapitalisme. Walaupun Wuhan sudah melakukan lockdown itu hanya bekerja sementara, mereka harus kembali menghadapi virus corona setelah menyatakan 'Wuhan is back'. Walaupun lockdown seperti yang disampaikan Rasulullah saw. diterapkan, jika kita masih berada dalam satu sistem yang bertentangan dengan Islam, hal itu tidak akan membawa keberhasilan.
Jika Wuhan melakukan lockdown semenatara daerah lain masih terpapar, tentu saja virus corona akan datang lagi dengan akses dari luar Wuhan. Ditambah dengan masing-masing individu yang tidak jujur dan ngeyel, hal ini menyulitkan bagi penguasa untuk bisa mengatasi sebuah problem. Begitu pula dalam Islam, masing-masing individu rakyat telah diatur secara fundamental dengan Islam. Sehingga rakyat dan penguasa saling bersinergi. Sementara dalam situasi wabah seperti ini, negara Islam dengan serius mengurusi daerah yang terkena wabah. Dari mulai kebutuhan pangan, obat-obatan, tenaga medis dan alat-alat lainnya, bisa diatasi dengan mudah. Sebab negara Islam memiliki baitul mal sebagai pengelola keuangan negara.
Implemetasi pada rakyat pun tidak lepas dari aturan Islam. Penguasa juga memiliki cinta kepada rakyatnya, sebagaimana Islam menjadikan kasih sayang sebagai penyatu. Maka, tidak akan ada kejadian dalam negara Islam dalam situasi pandemi, dimana bantuan sosial salah sasaran atau tidak adil. Karena Islam mencukupi kebutuhan rakyatnya, bukan menakar kecukupan rakyat dengan angka. Menerapkan sistem Islam secara menyeluruh adalah solusi dimana problematika kehidupan akan terselesaikan dari akarnya.
Wallahu a'lam bishshawaab
Post a Comment