By : Ummu Maryam
(Ibu Rumah Tangga)
Ramadan tiba semua bahagia,
tua dan muda bersuka cita.
Bulan ampunan bulan yang berkah,
bulan terbebas api neraka.
Andaikan saja Ramadan semua,
bulan yang tiba bulan yang ada.
Karena besarnya setiap pahala,
yang dijanjikan kepada kita.
Setiap awal bulan Ramadan lagu berjudul "Ramadan Tiba" yang dibawakan oleh Opick ini sering sekali diputar dimana-mana, entah itu di radio, televisi, di ruang publik sampai di setiap rumah. Alunan musiknya yang ceria selaras dengan perasaan kaum muslimin yang merasakan kebahagiaan karena menyambut datangnya bulan penuh berkah ini, bulan dimana amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup rapat dan pintu surga dibuka dengan lebar. Dalam bulan ini pula terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar.
Namun, suasana Ramadan di tahun ini amat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada pawai obor, tidak ada tarawih berjamaah di mesjid, tidak boleh melakukan acara buka bersama, tidak bisa ikut kajian di mesjid, bahkan tahun ini kita dilarang untuk mudik ke kampung halaman. Semua ini disebabkan oleh masih merebaknya penyebaran virus Covid-19 yang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Selain itu, akibat pandemi Covid-19 ini banyak ujian yang harus kaum muslimin alami, mulai dari harus dirawat karena terinfeksi Covid-19, kehilangan mata pencaharian, tidak bisa berkumpul dengan keluarga, kelaparan, hingga kehilangan anggota keluarga. Itu hanya segelintir masalah yang kita hadapi sejak dua bulan lalu Indonesia mengumumkan kasus Covid-19 pertamanya, entah masalah apalagi yang akan kita hadapi kedepannya jika pandemi ini tidak segera tertangani.
Dikutip dari (inews.id, Kamis/21/4/2020) seorang ibu bernama Yuli, warga Kelurahan Lontarbaru, Kecamatan Serang, meninggal dunia setelah menahan lapar selama dua hari dengan cara meminum air dari galon. Fakta pilu menyayat kalbu.
Kasus tersebut bisa jadi seperti fenomena gunung es. Masih banyak kasus serupa tapi tak terekspos media. Banyak rakyat menderita menjadi korban keadaan dan kebijakan. Sudahlah miskin, tak berpendidikan, sulitnya akses, terpencil, penguasa abai sementara aturan yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Kemiskinan sistemik di tengah umat diperparah kondisi pandemik menambah daftar panjang zalimnya kebijakan.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan bahwa stok pangan cukup untuk beberapa bulan ke depan dan bantuan sudah dibagikan pada rakyat yang terdampak Covid-19. Pertanyaanya, stok apa dan untuk siapa?
Stok pangan yang dimaksud entah untuk siapa dan rakyat yang mana, bahkan belum lama ini pemerintah mengatakan telah terjadi krisis pangan, stok menipis. Pernyataan plin plan membingungkan masyarakat keluar dari lisan pemangku pemerintahan. Miris.
Jika yakin negara bisa memenuhi kebutuhan publik, mengapa masih ada rakyat yang bisa kelaparan? Mungkin itulah pertanyaan yang terbersit dalam benak saat kejadian yang menimpa Yuli di atas. Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus menganalisis masalah yang terjadi dan solusi yang diberikan.
Sejak awal merebaknya virus Covid-19 ini pemerintah memang terkesan lamban dan menganggap enteng masalah wabah. Setelah banyak rakyat yang terinfeksi barulah pemerintah mulai membuat aturan-aturan yang dianggap bisa mencegah dan mengatasi penyebaran virus Covid-19 ini.
Adapun langkah yang dilakukan pemerintah diantaranya adalah membuat kebijakan sekolah dan bekerja dari rumah, pemberlakuan social distancing dan physical distancing, himbauan untuk memakai masker saat keluar rumah, memberlakukan larangan berkumpul, mencegah rakyat untuk mudik sampai pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Semua upaya yang dilakukan pemerintah tersebut memang bisa memperlambat penyebaran virus Covid-19 ini, meski parsial. Masih banyak rakyat yang terinfeksi karena terlambatnya aturan lockdown diterapkan. Namun, di balik semua aturan itu ada beberapa hal yang luput dari perhatian pemerintah. Kebijakan satu tak diiringi fasilitas ataupun aturan pendukung, seperti belajar dan bekerja dari rumah, tidak semua siswa dan guru punya akses untuk melakukan aktivitas belajar daring selain itu banyak pula jenis pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dari rumah melainkan harus dikerjakan di luar rumah.
Sementara pemberlakuan PSBB membuat masyarakat tidak bisa keluar rumah mencari nafkah, akibatnya kebutuhan dasar rakyatpun tidak bisa terpenuhi. Adapun bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan para relawan tidak bisa diharapkan oleh seluruh rakyat dan seringkali menimbulkan masalah baru, seperti tidak sesuainya data yang menyebabkan penerima bantuan itu tidak masuk kategori layak menerima bantuan atau justru tidak tepat sasaran, pembagian bantuan di jalan malah menyebabkan orang berkerumun dan bantuan yang diberikan pun tidak mencukupi kebutuhan penerimanya.
Inilah yang terjadi jika negara menganut ideologi kapitalis. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri menghadapi penyakit dan mereka lebih fokus untuk mengurusi ekonomi. Padahal jika wabah ini menyerang rakyat, banyak yang meninggal, otomatis perekonomian pun tidak akan berjalan dengan baik.
Hal itu berbeda dengan solusi yang ditawarkan Islam. Islam punya solusi komplit dalam menangani wabah. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar r.a.
Saat menghadapi wabah, khalifah Umar bertindak cepat dengan memberlakukan lockdown agar wabah tidak meluas, membuat posko bantuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang terkena wabah, melakukan gaya hidup sederhana, terjun langsung mengontrol situasi wabah serta mencurahkan seluruh struktur, perangkat negara dan seluruh potensi negara untuk membantu rakyat yang terdampak wabah. Sungguh apa yang beliau lakukan itu amat penting untuk kita tiru saat ini.
Selain solusi yang bersifat teknis tersebut sebagai seorang muslim kita patut menduga bahwa semua musibah yang terjadi saat ini merupakan bentuk teguran dari Allah Swt karena banyaknya kemaksiatan yang telah kita perbuat dan masih banyak syariat Islam yang masih kita abaikan. Allah swt. berfirman :
" Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (TQS Asy-Syuraa:30)
Oleh karena itu, kita harus berhenti melakukan maksiat dan mulai melaksanakan syariatnya secara kaffah. Setelah itu pemimpin negeri harus mengajak seluruh rakyatnya untuk melakukan taubat secara berjamaah. Sehingga terciptalah pemimpin dan rakyat yang beriman dan bertakwa. Setelah itu maka In syaa Allah jalan keluar dari segala permasalahan kita saat ini akan ada solusinya. Pandemi Covid-19 ini pun bisa sirna apabila penerapan syariat diterapkan dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah swt. yang artinya :
"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS. al-A'raf : 96)
Dengan demikian, penerapan syariah secara kafah, pemimpin yang beriman dan bertakwa serta kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan itu hanya ada dalam institusi Islam. Tidak bisa di dapatkan di alam kapitalis demokrasi. Islam dan kedua ideologi tersebut ibarat bumi dan langit. Ibarat minyak dan air, tak bisa seiring sehaluan.
Satu-satunya mewujudkan kemaslahatan umat dan terhindar dari azab Allah swt. adalah dengan bersegera menegakkan dawlah al-Khilafah.
Tatanan hidup yang ada saat ini akan lebih kondusif hanya dengan Islam yang berlandaskan akidah Islam dan dijaga penerapannya oleh pemimpin penerap syariat dalam institusi Dawlah Khilafah 'ala Minhajj an Nubuwwah. Maka marilah kita perjuangkan agar Islam bisa kembali tegak di muka bumi ini.
WaLlaahu A'lam.
Post a Comment