Pak Menteri Tak Perlu Kaget, Islam Punya Solusinya

Oleh: Nur Izzati Fajriyah, S.S., M.Pd (Pemerhati Sosial)
Baru-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyampaikan keheranannya ke tengah publik. Beliau mengaku kaget lantaran masih ada wilayah di Indonesia ini yang tidak mendapatkan akses listrik sehingga tidak memungkinkan bagi siswa untuk ikut belajar daring. Beliau mengatakan bahwa kondisi yang seperti itu tidak terbayangkan sebelumnya, apalagi baginya yang hidup di ibu kota, Jakarta. “Jarak antara the haves (si kaya) dan the have-not (si miskin) itu besar sekali,” begitu salah satu petikan pidato beliau di Hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Menurutnya, ini adalah masalah besar yang harus diatasi guna mewujudkan pendidikan yang merata. Beliau mengajukan solusinya adalah dengan menggencarkan bantuan ke daerah-daerah yang mengalami kondisi demikian.

Sebenarnya agak diherankan Bapak Menteri baru tahu kondisi seperti ini. Bukankah fakta kesenjangan itu sudah ada dari dulu. Tentu kita perlu prihatin dan segera menyelesaikan problem ini. Namun, sebelum berbicara solusi kita perlu mengetahui akar persoalan kesenjangan ini. Khususnya di negeri ini, sudah tujuh sosok yang memimpin negeri ini, tapi masalah kesenjangan tak kunjung usai, justru semakin melebar seperti yang diakui oleh Bapak Nadiem. Kesenjangan si kaya dan si miskin tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di negara lainnya juga, apalagi negara besar dan adidaya di Barat. 

Semua ini sejatinya tak bisa dilepaskan dari ideologi kapitalisme yang merajai dunia. Tak hanya diemban di negara-negara besar, kapitalisme juga diterapkan di negara-negara pengikut seperti Indonesia. Kapitalisme mengajarkan manusia serakah, mendapatkan profit materi sebanyak-banyaknya meski harus dengan jalan mendzolimi orang lain. Di dalam padangan kapitalisme, siapapun boleh memiliki apapun asalkan punya modal. Pandangan seperti ini ketika diemban oleh penguasa negara menjadikan mereka menjalankan negara dengan mindset untung rugi. Negara bertindak sebagai produsen, rakyat sebagai konsumen. Siapapun rakyat yang ingin mendapat pelayanan publik dari negara dengan kualitas yang baik harus membayarnya dengan sejumlah uang. Tak jarang, harga yang harus ditebus sangatlah mahal. Hal ini yang menjadikan hanya orang yang bermodal banyaklah yang bisa merasakan fasilitas hidup yang layak. Yang miskin semakin terpuruk. 

Pandangan kapitalisme ini tumbuh subur di alam demokrasi. Pasalnya, demokrasi menjamin kebebasan, salah satunya adalah kebebasan berkepemilikan harta. Maka, tidak heran, di dalam demokrasi, kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat secara bersama-sama bisa dikuasai segelintir individu saja. Bahkan yang demikian dijamin oleh undang-undang. Meskipun di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia sendiri menyebutkan bahwa kekayaan alam harusnya diperuntukkan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat, landasan ini bisa dilanggar juga. Demokrasi bahkan memberi ruang bagi kaum pemilik modal mengutak-atik undang-undang untuk disesuaikan dengan kepentingan pribadi mereka, karena tidak ada standr benar dan salah secara mutlak dalam demokrasi.

Pandangan kapitalisme dan demokrasi ini tentu sangat berbeda dengan Islam. Di dalam Islam, kepemilikan harta dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Untuk kepemilikan umum, Rasulullah Saw pernah bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Untuk harta yang jumlahnya berlimpah ruah juga termasuk harta milik bersama. Untuk itu, haram bagi individu yang mengeksploitasinya.

Penguasa dalam Islam fungsinya sebagai ar-ra’in (penggembala yang mengurusi gembalaannya), bukan seperti produsen kepada konsumen. Penguasa harus benar-benar mengurusi urusan rakyat, salah satunya menjamin kesejahteraan rakyat. Salah satu peran penguasa dalam riayah umat ini adalah negara hadir sebagai pihak yang mengelolakan harta umum. Hasil dari pengelolaan itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk hasil pengolahan, infrastruktur, atau keuntungan dari hasil penjualan ke luar negeri. Rakyat bisa menikmatinya dengan gratis. Kalaupun harus berbayar, maka rakyat hanya dikenakan biaya produksi. Negara tak boleh mengambil keuntungan sepeser pun.

Jika ada pihak individu yang berusaha memprivatisasi kekayaan alam milik umat, maka negara harus menegur pihak tersebut, memaksanya untuk mengembalikan harta yang sudah dieksploitasi kepada umat dan diberi sanksi yang tegas. Jauh berbeda dengan hari ini di mana para konglomerat pengeruk harta umat justru dijamin dengan Undang-undang atas nama investasi.

Di dalam kas negara Islam, ada banyak pos pemasukan yang peruntukannya adalah demi kepentingan rakyat, misalnya pos fa’i, ghanimah, kharaj, dan jizyah. Ada harta zakat yang dipungut dari harta umat Islam yang sudah mencapai haul dan nisabnya, kemudian didistribusikan kepada delapan asnaf (golongan orang yang berhak menerima zakat).  

Dalam membelanjakan harta, negara Islam punya skala prioritas. Prioritas pertama adalah pengeluaran wajib yaitu untuk fakir, miskin, ibnu sabil, dan pelaksanaan kewajiban jihad. Berikutnya adalah untuk gaji pegawai negeri, tentara, dan semisalnya. Selanjutnya yang menjadi fokus juga adalah pembangunan infrastruktur sesuai kebutuhan, yang keberdaannya dianggap urgen dan umat akan menderita juga infrastruktur tersebut tidak ada. Misalnya, pada fakta yang ditemukan Pak Nadiem tadi, yaitu ketersediaan listrik hingga ke pelosok desa. Pengeluaran berikutnya adalah untuk kondisi terpaksa seperti bencana serta cabang dari keempat prioritas tadi.

Demikianlah, sesungguhnya Islam telah menunjukkan bagaimana seharusnya negara mengurusi urusan rakyatnya dengan aturan yang komprehensif. Maka, jika Bapak Menteri Nadiem dan siapapun ingin perkara kesenjangan lebar si kaya dan si miskin segera selesai, kita harus segera meninggalkan kapitalisme dan demokrasi dan beralih pada penerapan aturan Islam secara menyeluruh dalam konteks kenegaraan, yaitu negara Islam (khilafah Islamiyah).

Post a Comment

Previous Post Next Post