Oleh: Ismayanti (Aktivis UNRAM)
Di
saat duka pandemi corona masih menjadi
fokus penanganan di tengah masyarakat, DPR RI dikabarkan hendak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral
dan Batu Bara (RUU Minerba)
Nomor 4 tahun 2009 tanggal 8 April mendatang. Padahal, pengesahan RUU Minerba
tersebut telah banyak ditolak dan mendapat protes aksi besar-besaran pada akhir
september 2019 lalu yang bahkan menyebabkan banyak korban. Revisi undang-undang
ini masuk dalam aturan strategis yang semula ingin dikebut dan diketuk DPR di
masa akhir periodenya pada 30 September 2019 lalu. Namun aksi massa
besar-besaran di penghujung September 2019 lalu, membuat Presiden Joko Widodo
(Jokowi) meminta DPR untuk menunda pengesahan undang-undang tersebut. Adapun
undang-undang lain yang juga ditunda pengesahannya adalah RUU Pertanahan, RUU
Permasyarakatan, dan RKUHP.
Perihal
wacana pengesahan kembali RUU Minerba ini, para kalangan peneliti dan aktivis
pertambangan menyampaikan kecaman mereka. Pasalnya, pengesahan RUU tambang saat
kondisi seperti ini dinilai melanggar secara proses dan substansi. Tak hanya
prosesnya dilakukan secara diam-diam dan mengambil kesempatan saat pandemi
corona, RUU Minerba yang akan disahkan DPR itu, dipandang juga bisa mengancam
hilangnya mata pencaharian masyarakat utamanya di sekitar tambang. "Soal
proses, hak partisipasi dan informasi masyarakat yang dilanggar. Substansi, apa
yang diatur, potensi pelanggaran HAM-nya banyak, informasi, pembangunan,
budaya, lingkungan, air dan hak atas mata pencaharian masyarakat," ujar
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary dalam Konferensi Pers
Online 'Batalkan Pembahasan dan Pengesahan RUU Pertambangan Minerba', Minggu
(5/4).
Manajer
Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Ariyanto Nugroho mengungkapkan, DPR belum
pernah mengundang masyarakat sipil dalam pembahasan RUU Minerba ini. Bahkan,
kata dia, pihaknya mengaku telah beberapa kali mengirim surat ke komisi VII
untuk meminta audiensi terkait RUU Minerba. Namun, hingga kini tak ada
tanggapan. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah
melanjutkan, ada beberapa pasal yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat
jika RUU Minerba ini disahkan. Misalnya, pasal 165 di RUU Minerba yang memiliki
kecenderungan melindungi pejabat korupsi yaitu dengan menghilangkan pasal
pidana terdapat pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah. Padahal sebelumnya,
mestinya di sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak
Rp 200 juta.
Memahami
kabar tersebut, bagaimana pun kita harus semakin peduli terhadap negeri ini.
Kita pasti menginginkan yang terbaik bagi negeri kita. Terlebih di tengah carut-marut
penanganan wabah corona, sudah semestinya radar kepekaan politik yang tengah
kita pasang tinggi juga mampu menangkap sinyal jahat orkestrasi oligarki. Pasalnya,
pemulusan revisi UU Minerba ini ibarat operasi senyap yang memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan. Bahwa ketika rakyat tengah dibuat sibuk oleh
corona, penguasa dan wakil rakyat justru nampak sekali secara diam-diam memberi
karpet merah oligarki kapitalisme.Yakni dalam rangka penguasaan sektor tambang
batubara. Yang jahatnya, penguasaan ini dilegitimasi melalui undang-undang yang
bahkan sedang dalam proses revisi.
Ini
artinya, sama saja dengan memperkuat legalisasi perampokan harta milik publik
itu sendiri. Padahal saat dikonfirmasi soal anggaran untuk mengatasi wabah
corona saja, pemerintah malah menjual surat utang negara (SUN). Namun ketika
mendengar masa kontrak konglomerat batu bara hampir hambis, tanpa pandang
situasi secepat kilat untuk melakukan perpanjangan lewat revisi undang-undang. Yang
jelas-jelas ini berdampak secara jangka panjang pada ekonomi rakyat hingga
tingkat yang paling melarat.
Berbagai
fenomena yang amburadul belakangan ini semakin membuktikan dengan tegas akan
watak rezim kapitalistik yang hanya berpihak pada kepentingan segelintir elite
dan abai terhadap kepentingan rakyat. Mereka benar-benar oportunis di tengah
wabah bahkan hilang empati terhadap derita rakyat. Karena itu, rakyat harus
tetap sadar dan waspada, bukan hanya pada virus corona, terlebih pada virus lain
yang sama-sama membuat rakyat resah.
Liberalisasi
ekonomi sudah lebih dari cukup menjadi bukti lenyapnya peran pemerintah untuk
hadir bagi rakyatnya. Fungsi kepemimpinan dan kepengaturannya sudah mati.
Keberadaan rakyat hanya diperhitungkan kala masa coblosan saja. Jika fungsi ini
memang sudah tidak ada, untuk apa lagi kita pertahankan sistem demokrasi yang
rusak dan merusak ini? Mau ganti pemimpin sampai berapa kali lagi agar kita
siuman bahwa perkara sistemlah yang menjadi akar masalah di negeri kita?.
Ayolah
sadar, Janganlah kita sibuk dengan label radikalisme hingga mengkriminalisasi
para ulama dan aktivis Islam. Yang tuduhannya masih belum dapat dibuktikan.
Namun, segeralah berbalik arah. Sibukkan diri dengan muhasabah bersama, umat
Islam dan dunia Islam. Kembalilah pada arus ketakwaan kepada Allah. Yang dengan
akidah Islam itulah modal utama untuk bersatu, kembali pada aturan Sang
Pencipta. Bahwa sudah saatnya kita melihat dan meniru tata kehidupan yang telah
diamalkan oleh suri teladan kita hingga akhir zaman, Rasulullah saw. Sehingga rahmat
dari langit & bumi dirasakan oleh seluruh makhluk, sebab beliau menjalankan
peraturan hidup yang direkomendasikan oleh Allah SWT.
Post a Comment