New Normal yang Abnormal

By : Afiyah Rasyad

Pesat dimensi waktu bergulir, detik demi detik terasa begitu cepat. Sementara pandemi masih menyelemuti penjuru negeri, bahkan di enggan pergi dari muka bumi. Kini di tengah pandemi yang melanda, seruan new normal life sudah disosialisasikan. WHO sendiri memiliki sejumlah syarat menuju normal life.

Negeri ini sudah latah hendak memberlakukan new normal life. Sedangkan satu dari beberapa syarat belum terealisasi. Sebutlah syarat transmisi covid-19 bisa dikendalikan,  faktanya di negeri ini kasus positif masih terus menuju puncak tertinggi dengan kecepatan mengalahkan pesawat tempur. Belum melandai kurva yang ada, wacana new normal life kian digaungkan saja.

PSBB yang diberlakukan sesuai protokol kesehatan sebelum akhirnya direlaksasi. Setelah direlaksasi, maka masyarakat semakin meremehkan covid-19. Masker sudah tidak dipakai, jaga jarak sudah tidak diperhatikan, cuci tangan mulai ditinggalkan.

Apalagi jika new normal life benar-benar diberlakukan. Niscaya, keadaan masyarakat akan kembali pada kehidupan seperti sedia kala seperti tak ada wabah yang pernah menimpa. Maka, damai dengan corona yang dilafalkan akan dijalani tanpa susah hati.

Masyarakat memang digiring untuk hidup berselimut corona. Siapa yang imunitasnya kuat, dia menang. Sebaliknya, siapa yang imunnya lemah, maka siap-siap jadi donatur pasien covid-19.

Cacatnya kebijakan new normal life memang cacat bawaan dari sistem yang digunakan di negeri ini, bahkan di dunia. Rakyat menjadi tumbal sudah menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme yang sejati. Karena bagi sistem ini, rakyat jangan sampai menjadi beban negara.

Sistem kapitalisme dengan asas manfaat memberlakukan rakyat seperti konsumen saja. Tempat untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan. Kedudukan negara dan rakyat terjalin seperti produsen dan konsumen, beraktivitas layaknya jual beli.

Maka tidak heran, saat pandemi terjadi, bukannya segera diselesaikan. Justru negara membiarkan pandemi berkembang pesat dan berlarut-larut. Kebutuhan pokok rakyat dibiarkan menjadi beban rakyat, penanganan wabah dianggap enteng, APD dan alat kesehatan tidak dipenuhi dengan memadai. Walhasil, saat timbul kelesuan dalam sektor ekonomi, negara tak mau merugi. New normal life dijadikan pilihan meski secara abnormal.

Berbeda sekali dengan sistem yang memanusiakan manusia. Di mana negara diharamkan berlepas tangan dalam melayani rakyatnya. Itulah sistem yang baik, yang berasal dari Dzat Yang Mahabaik, yakni sistem Islam.

Islam tak akan membiarkan negara memilih new normal life jika nyawa rakyatnya terancam. Perlindungan 100% akan diupayakan. Di tengah wabah yang melanda, negara akan ekstra melayani kebutuhan pokok personal dan komunal rakyatnya. Negara juga akan melakukan isolasi wilayah dengan serius, segala perlengkapan dan tenaga medis akan dijamin.

Kebutuhan pokok akan dipastikan setiap individu terdampak wabah akan dipenuhi. Kebutuhan komunal juga akan dipenuhi. Terutama di wilayah yang diisolasi. Negara tidak akan menghitung untung rugi dalam melayani dan memelihara urusan rakyat. Dengan cuma-cuma, negara akan mengeluarkan harta dari baitul mal guna memenuhi kebutuhan pokok rakyat dan penanganan wabah yang melanda.

Namun, saat baitul mal kosong, khalifah sebagai pemimpin negara akan segera meminta para wali (gubernur) di wilayah lain yang tidak diisolasi untuk membantu negara. Jika belum terpenuhi, maka khalifah akan meminta bantuan kaum muslim yang kaya. Jika masih belum cukup maka pajak akan ditarik dari kaum muslim yang kaya.

Begitulah negara menyelesaikan wabah, agar rakyat bisa hidup kembali normal, normal yang sesungguhnya. Bukan new normal life yang abnormal dengan mempertatuhkan nyawa rakyatnya.

Wallahu a'lam bish showab

Post a Comment

Previous Post Next Post