Goresan Pena Abu Mush'ab Al Fatih Bala
(Penulis Nasional & Pemerhati Politik Asal NTT)
Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi yang indah terbentang di selatan khatulistiwa. Bertetangga dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan Australia. Daerah ini adalah salahsatu indikator maju mundurnya Indonesia.
Jika NTT baik maka Indonesia pun baik. Jika NTT mundur Indonesia pun mundur. Daerah yang strategis ini kini dicoba dengan ujian Corona yang sama yang menimpa daerah lainnya. Masyarakat sedang berjuang memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Namun, akhir-akhir ini adanya wacana New Normal yang akan diberlakukan di Indonesia, khususnya juga NTT menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Bagi yang pro, New Normal akan menggerakkan perekonomian daerah. Tetapi bagi yang kontra tentu mempunyai beberapa pertimbangan.
Yang pertama, jumlah kasus di NTT terus meningkat. Belum ada tanda penurunan sehingga tidak dimungkinkan untuk dilaksanakannya new normal.
Semula hanya ada satu kasus OTG (Orang Tanpa Gejala) yang kemudian positif Corona. Kemudian pada tanggal 28 Mei 2020, ada lima pasien positif baru Covid-19 di NTT, sehingga total menjadi sembilan puluh (90) kasus yang tersebar di 9 kabupaten dan 1 kota. (RanakaNews.com,29/5).
Kasus ini meningkat walau pun banyak anggota masyarakat telah mematuhi protokol kesehatan. Dengan cara tetap tinggal di rumah (stay at home), penyemprotan disinfektan, pemakaian masker ketika bepergian, menjaga jarak (social distancing) dan rajin mencuci tangan.
Diduga penyebab terbesar peningkatan kasus Corona ini karena ada pergerakan orang dari daerah wabah masuk ke wilayah NTT. Dan ketahuan positif Corona ketika sudah berada di dalam wilayah NTT.
Jika "stay at home" dan "social distancing" telah dilakukan tetapi jumlah Corona terus meningkat terus bagaimana jika nanti ada pelonggaran dalam bentuk "New Normal". Ada kemungkinan banyak orang akan terpapar virus menular ini.
Jika alasannya lebih baik mati karena Corona daripada mati karena kelaparan, sesungguhnya bisa diatasi dengan koordinasi antara pusat dan daerah. Sehingga logistik bisa dikirim ke daerah. Tidak perlu ada penutupan akses masuk keluar logistik karena ini bencana nasional dan masyarakat memerlukannya.
Yang dibatasi adalah pergerakan orang. Karena ada kemungkinan orang yang datang dari daerah wabah akan positif corona dengan temuan awal OTG (Orang Tanpa Gejala) sehingga sulit diseleksi. Tak perlu juga ada yang pergi ke luar NTT untuk menjaga tidak terpapar di daerah wabah lainnya.
Selain itu membandingkan kasus Corona dengan DBD juga tidak tepat. Sebab DBD tidak menular, ada obatnya dan cara pencegahannya. Sedangkan Corona penyakit menular, belum ada obatnya dan cara pendeteksiannya. Orang tanpa gejala pun bisa positif Corona. Virus ini walaupun masih dianggap sedikit bisa saja suatu hari meledak jumlahnya jika tidak ditangani secara tepat.
Kemudian ada pendapat bahwa new normal akan sukses jika protokol kesehatan selama masa pelonggaran ditaati. Ini juga kurang tepat sebab Indonesia belum mampu mengendalikan angka kasus Corona. Berharap pada imunitas tubuh manusia pun tak tepat karena tak mampu menurunkan jumlah pengidap positif Corona.
Ada fakta terbaru bagaimana negara yang berhasil mengendalikan jumlah Corona terpaksa menghilangkan "new normal" (baca: pelonggaran) sekelas Korea Selatan memperketat kembali social distancingnya. Seperti dikutip dari detikNews (29/5) lebih dari 200 sekolah di Korea Selatan ditutup hanya beberapa jari setelah mereka dibuka kembali, karena ada lonjakan kasus virus corona.
Sekitar 56 kasus baru Covid-19 dilaporkan dalam 24 jam terakhir, yang terjadi di dekat daerah dengan penduduk padat. Lebih dari 100 kasus baru Covid-19 muncul terkait kelab malam Seoul.
Para pejabat kesehatan bahkan menemukan jejak Covid-19 pada sepatu dan pakaian pekerja. Ketakutan akan terinfeksi telah memaksa 251 sekolah ditutup setelah dibuka kembali.
Padahal Korea Selatan termasuk yang terbaik dalam kesehatan. Sekolah di sana sempat memperketat protokol kesehatan seperti mencuci tangan, pemerikasaan suhu tubuh, jaga jarak, pemasangan pembatas kaca di setiap meja murid, dll. Namun tak bisa membendung kasus corona baru yang terjadi dalam sehari.
Lalu bagaimana dengan negara lain yang daerahnya minim fasilitas kesehatan, tenaga medisnya kurang dan rentan terpapar serta kas daerahnya minim.
Jika ada lonjakan kasus Corona baru tentu akan semakin menambah beban kas daerah. Sebaiknya kebijakan New Normal ditunda dulu hingga ada tanda menurunnya kasus Corona hingga titik nol. Meski harus menunggu berbulan-bulan.
Jika ada problem keuangan daerah bisa berkoordinasi dengan pusat. Undang-undang bisa dirombak sehingga ada perhatian dari pusat untuk daerah. Sehingga masyarakat ada jaminan kesehatan. Dan tak perlu khawatir untuk bekerja dalam kondisi pandemi.
Masyarakat bisa tetap stay at home dan pemerintah daerah bisa lock down sehingga mata penyebaran covid-19 bisa diputus. []
Bumi Allah SWT, 29 Mei 2020
#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan
(Penulis Nasional & Pemerhati Politik Asal NTT)
Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi yang indah terbentang di selatan khatulistiwa. Bertetangga dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan Australia. Daerah ini adalah salahsatu indikator maju mundurnya Indonesia.
Jika NTT baik maka Indonesia pun baik. Jika NTT mundur Indonesia pun mundur. Daerah yang strategis ini kini dicoba dengan ujian Corona yang sama yang menimpa daerah lainnya. Masyarakat sedang berjuang memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Namun, akhir-akhir ini adanya wacana New Normal yang akan diberlakukan di Indonesia, khususnya juga NTT menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Bagi yang pro, New Normal akan menggerakkan perekonomian daerah. Tetapi bagi yang kontra tentu mempunyai beberapa pertimbangan.
Yang pertama, jumlah kasus di NTT terus meningkat. Belum ada tanda penurunan sehingga tidak dimungkinkan untuk dilaksanakannya new normal.
Semula hanya ada satu kasus OTG (Orang Tanpa Gejala) yang kemudian positif Corona. Kemudian pada tanggal 28 Mei 2020, ada lima pasien positif baru Covid-19 di NTT, sehingga total menjadi sembilan puluh (90) kasus yang tersebar di 9 kabupaten dan 1 kota. (RanakaNews.com,29/5).
Kasus ini meningkat walau pun banyak anggota masyarakat telah mematuhi protokol kesehatan. Dengan cara tetap tinggal di rumah (stay at home), penyemprotan disinfektan, pemakaian masker ketika bepergian, menjaga jarak (social distancing) dan rajin mencuci tangan.
Diduga penyebab terbesar peningkatan kasus Corona ini karena ada pergerakan orang dari daerah wabah masuk ke wilayah NTT. Dan ketahuan positif Corona ketika sudah berada di dalam wilayah NTT.
Jika "stay at home" dan "social distancing" telah dilakukan tetapi jumlah Corona terus meningkat terus bagaimana jika nanti ada pelonggaran dalam bentuk "New Normal". Ada kemungkinan banyak orang akan terpapar virus menular ini.
Jika alasannya lebih baik mati karena Corona daripada mati karena kelaparan, sesungguhnya bisa diatasi dengan koordinasi antara pusat dan daerah. Sehingga logistik bisa dikirim ke daerah. Tidak perlu ada penutupan akses masuk keluar logistik karena ini bencana nasional dan masyarakat memerlukannya.
Yang dibatasi adalah pergerakan orang. Karena ada kemungkinan orang yang datang dari daerah wabah akan positif corona dengan temuan awal OTG (Orang Tanpa Gejala) sehingga sulit diseleksi. Tak perlu juga ada yang pergi ke luar NTT untuk menjaga tidak terpapar di daerah wabah lainnya.
Selain itu membandingkan kasus Corona dengan DBD juga tidak tepat. Sebab DBD tidak menular, ada obatnya dan cara pencegahannya. Sedangkan Corona penyakit menular, belum ada obatnya dan cara pendeteksiannya. Orang tanpa gejala pun bisa positif Corona. Virus ini walaupun masih dianggap sedikit bisa saja suatu hari meledak jumlahnya jika tidak ditangani secara tepat.
Kemudian ada pendapat bahwa new normal akan sukses jika protokol kesehatan selama masa pelonggaran ditaati. Ini juga kurang tepat sebab Indonesia belum mampu mengendalikan angka kasus Corona. Berharap pada imunitas tubuh manusia pun tak tepat karena tak mampu menurunkan jumlah pengidap positif Corona.
Ada fakta terbaru bagaimana negara yang berhasil mengendalikan jumlah Corona terpaksa menghilangkan "new normal" (baca: pelonggaran) sekelas Korea Selatan memperketat kembali social distancingnya. Seperti dikutip dari detikNews (29/5) lebih dari 200 sekolah di Korea Selatan ditutup hanya beberapa jari setelah mereka dibuka kembali, karena ada lonjakan kasus virus corona.
Sekitar 56 kasus baru Covid-19 dilaporkan dalam 24 jam terakhir, yang terjadi di dekat daerah dengan penduduk padat. Lebih dari 100 kasus baru Covid-19 muncul terkait kelab malam Seoul.
Para pejabat kesehatan bahkan menemukan jejak Covid-19 pada sepatu dan pakaian pekerja. Ketakutan akan terinfeksi telah memaksa 251 sekolah ditutup setelah dibuka kembali.
Padahal Korea Selatan termasuk yang terbaik dalam kesehatan. Sekolah di sana sempat memperketat protokol kesehatan seperti mencuci tangan, pemerikasaan suhu tubuh, jaga jarak, pemasangan pembatas kaca di setiap meja murid, dll. Namun tak bisa membendung kasus corona baru yang terjadi dalam sehari.
Lalu bagaimana dengan negara lain yang daerahnya minim fasilitas kesehatan, tenaga medisnya kurang dan rentan terpapar serta kas daerahnya minim.
Jika ada lonjakan kasus Corona baru tentu akan semakin menambah beban kas daerah. Sebaiknya kebijakan New Normal ditunda dulu hingga ada tanda menurunnya kasus Corona hingga titik nol. Meski harus menunggu berbulan-bulan.
Jika ada problem keuangan daerah bisa berkoordinasi dengan pusat. Undang-undang bisa dirombak sehingga ada perhatian dari pusat untuk daerah. Sehingga masyarakat ada jaminan kesehatan. Dan tak perlu khawatir untuk bekerja dalam kondisi pandemi.
Masyarakat bisa tetap stay at home dan pemerintah daerah bisa lock down sehingga mata penyebaran covid-19 bisa diputus. []
Bumi Allah SWT, 29 Mei 2020
#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan
Post a Comment