Memaknai Kata Rezim dan Ambyar

By : Diwi

Kata "Rezim" dan kata "Ambyar" pasti menjadi "masalah" bagi kalangan Pendukung Jokowi fanatic dan kalangan pendukung/ simpatisan dari  Penguasa yang ada saat ini. Kata Rezim sangat tidak disukai mereka. Padahal makna dari kata Rezim  sangat sederhana yaitu Pemerintahan.  Tidak ada bedanya untuk menyebut Rezim SBY, Rezim Soeharto, Rezim Soekarno atau Rezim Jokowi dimana hal itu berarti  Pemerintahan atau Pemerintah yang sedang berkuasa. Begitu juga Sri Mulyani juga sempat menggunakan kata Rezim. Kalau tidak salah ucapan kekuatirannya bahwa dalam suatu pemerintahan yang baru selalu masih ada DNA dari Rezim Lama, dan seterusnya dimana istilah Rezim itu umum digunakan sehingga tidak selalu berkonotasi negative.

Memang harus diakui apabila kita menyebut Rezim Soeharto,  secara pandangan umum orang bayangan yang ada memang buruk.  Terbayang ada Pemerintahan yang otoriter, terbayang ada Rezim militer dan seterusnya dan seterusnya. Berbeda kesannya bila kita menyebut Rezim Soekarno atau Rezim SBY atau Rezim lainnya. Masing-masing orang punya kesan yang berbeda satu sama lain. Orang hanya mencatat pernah ada Rezim Soekarno, Rezim Mega,  dan Rezim SBY. (Untuk pemerintahan Habibie dan Gus Dur memang sulit menyebutnya sebagai Rezim karena periodenya dibawah 2 tahun).

JOKOWI DAN REZIM JOKOWI
SBY yang dulu dianggap parah dan sering dikritik karena tersandera kepentingan politik partai pendukungnya ternyata sedikit lebih baik dari Jokowi  dimana selain tersandera kepentingan politik partai pendukung, Jokowi malah sangat terkesan dikendalikan Partainya.  Mungkin Jokowi dianggap oleh Partainya sendiri sebagai Petugas Partai. Faktanya kemudian ternyata Jokowi berhasil memenangkan Pilpres 2019. Apakah Jokowi bisa memperbaiki kinerjanya di Periode Kedua  atau tidak, apakah kepemimpinan Jokowi  bisa  kembali seperti sebelumnya (sewaktu menjadi  Walikota Solo dan sewaktu menjadi Gubernur DKI) yang selalu mendengar aspirasi rakyat ataukah tidak.

Dalam 3 tahun terakhir   menjelang berakhirnya Periode Pertama Pemerintahan Jokowi bahwa Rezim Jokowi ini adalah Rezim Anti Kritik. Banyak pakar hukum terkenal  berkali-kali mengkritisi  kebijakan-kebijakan Jokowi. Sayangnya semua kritikan itu tidak mempan. Repotnya lagi dalam beberapa tahun terkahir ini:  siapapun yang mengkritik Jokowi  pasti beresiko dibully habis-habisan oleh para pendukung Jokowi.  Setiap ada kritikan kepada pemerintahan Jokowi  langsung saja yang mengkritik dianggap sebagai pendukung Prabowo, dianggap sebagai pendukung PKS, dianggap sebagai pendukung FPI dan lain-lainnya.

Bahkan merekapun kemudian memasang orang sekelas Ali Ngabalin sebagai Jubir Istana untuk "menangkis" siapa saja yang berani mengkritik Pemerintah. Akhirnya setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden RI 2019-2024 adalah susunan kabinetnya. Susunan Kabinet akan berisi lebih banyak para politisi pendukung dibanding professional. Inilah titik yang bisa membuktikan Jokowi akan  kembali memiliki kepemimpinannya seperti saat  menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI atau tetap menjadi Presiden yang terbelenggu oleh kepentingan pihak-pihak di belakangnya. Faktanya yang terjadi kemudian Susunan Kabinet memang tidak berubah seperti Periode Pertama. Pihak-pihak yang berjasa pada Pilpres 2019 lah yang diakomodir Jokowi untuk mengisi posisi-posisi penting  di kabinetnya. Bahkan Jokowi tidak perduli betapa gemuknya kabinetnya saat ini.

Kembali ke kata Ambyar sebagai  istilah popular saat ini. Ambyar itu artinya Berantakan. Flashback sebentar, tentu kita masih ingat Proses Penggolan UU KPK yang baru ini yang sudah menimbulkan gelombang demo mahasiswa dan korban berjatuhan.  Jokowi yang sempat berjanji akan mempertimbangkan Perppu UU KPK ternyata hanya PHP saja.  Tidak jelas sama sekali apa yang sudah dipertimbangkan oleh Presiden kita ini terhadap UU KPK yang sudah tidak terhitung banyaknya diprotes dan dikritik berbagai pihak.

UU KPK yang baru yang sudah berlaku memang membuktikan bahwa sekali lagi terbukti bahwa Pemerintahan Jokowi memang tidak bisa dikritik rakyat.  Tidak ada artinya kritik dari tokoh dan rakyat, begitu juga dengan demo mahasiswa.  Rakyat harus menerima apapun yang sudah ditetapkan Pemerintah yang sah.  (Jadi mulai mirip-mirip Orde Baru).

Awal tahun 2020, 2 bulan setelah Jokowi dilantik, menyeruaklah  kasus Jiwasraya dan Kasus Asabri. Kerugian negara melebihi kerugian negara atas kasus BLBI.  Ternyata selama beberapa tahun terakhir  mulai dari Ambyarnya BPJS  hingga  banyaknya BUMN-BUMN  terancam bangkrut itu belum cukup sehingga munculah Kasus Jiwasraya dan Asabri.

Omnibus Law beberapa bulan lalu sempat digadang-gadangkan Jokowi sebagai Solusi untuk mengefektifkan Periode Kedua Kepemimpinannya.  Berkali-kali Jokowi menyebut Omnibus Law sebagai solusi terbaik untuk memangkas jalur birokrasi yang tidak efektif, menciptakan lapangan kerja seluasnya, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan lainnya.

Dalam beberapa tahun terakhir Rezim Jokowi sudah banyak mengecewakan kalangan rakyat kecil dengan mencabut subsidi BBM dan Listrik. Kinerja Jokowi di periode pertama itu buruk. Pertumbuhan Ekonomi sangat minim, Lapangan Kerja sangat sulit, Ekonomi Lesu, Retail-retail raksasa gulung tikar, BUMN-BUMN merugi, Hutang Luar Negeri  semakin membengkak, cadangan devisa terburuk  dan lain-lainnya.

Selain itu, Jokowi yang kerap mengundang relawan atau pendukungnya untuk bicara keputusan politik penting menunjukkan sikapnya yang bias. Menurut dia, Jokowi terkesan tidak menghormati pimpinan-pimpinan formal, seperti staf ahli atau menteri terkait. Beberapa kali kerap mengundang relawan, influencer, atau buzzer ke Istana Kepresidenan. Terbaru, Jokowi mengundang mereka ke Istana Bogor, Jawa Barat pada Selasa,18 Februari 2020. Bahkan pertemuan itu menyinggung soal keputusan politik tinggi, yakni reshuffle kabinet.

ASPIRASI DALAM ISLAM
Orang-orang Islam sering mensejajarkan antara parlemen dan majelis umat. Mereka bahkan menggunakan istilah ‘ahlul halli wal ‘aqdi’ .Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, ahlul halli wal ‘aqdi adalah orang-orang yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan kesepakatan dalam lingkungan pemerintahan, mereka semacam representasi rakyat: “kalau dalam konteks Indonesia sekarang ya, DPR”. Pada bagian lain, mengutip pendapat Jimli Ash-Shidiqie, disebutkan bahwa para sahabat yang duduk dalam keanggotaan lembaga ini (ahlul halli wal ‘aqdi). Mereka menyebutkan bahwa dunia parlemen bukan hanya milik era pemerintahan modern, tetapi pada masa-masa awal sejarah Islam yang telah diperkenalkan oleh para khalifah.

Benarkah parlemen dalam demokrasi adalah wujud representasi aspirasi rakyat sebagaimana konsep majelis umat dalam sistem Islam? Lalu bagaimana mekanisme penyaluran aspirasi dan muhasabah dalm Islam?

Aspirasi rakyat dalam demokrasi adalah fiktif
Keanggotaan wakil rakyat di parlemen adalah untuk mewakili partai-partai politik yang dianggap merepresentasikan rakyat. Mereka dipilih dalam pemilu untuk menjadi wakil rakyat dan mengimplementasikan aspirasi rakyat dalam perundangan, serta fungsi-fungsi lainnya sesuai dengan tugas mereka. Namun, realitas menunjukkan bahwa yang dibawa oleh wakil rakyat adalah kepentingan partainya dan pihak-pihak yang mensponsori kampanyenya. Adanya draft UU migas dan sumber daya air ternyata ‘diimpor’ dari lembaga internasional untuk menjamin kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Ternyata untuk negara-negara ‘berkembang’ (bahasa halus untuk menyebut objek penjajahan) adanya parlemen menjadi jalan masuk dan menguatnya cengkeraman negara asing melalui undang-undang.

Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim otoritarian baru, yakni pemilik modal. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga lembaga negara demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Fungsi ketiganya pun lumpuh di bawah pemilik modal. Lahirlah negara korporasi; penguasa pun ‘berselingkuh’ dengan pengusaha. Penguasa lebih tunduk dan berpihak kepada pengusaha yang mendanai penguasa terpilih. Maklum,  untuk bisa terpilih, seorang penguasa butuh dana yang besar. Adapun yudikatif tutup mata terhadap pelanggaran eksekutif, pasalnya yudikatif juga mudah disuap.

Fakta ini menunjukkan bahwa penyampaian aspirasi rakyat yang digembor-gemborkan pun nyaris fiktif. Bagaimana tidak? Lebih mudah bagi wakil rakyat untuk mengakomodasi kepentingannya sendiri dan pihak-pihak yang mensponsori kampanyenya daripada mendengarkan keinginan rakyat secara sungguh-sungguh. Sepanjang perjalanannya, rakyat hanya bisa berteriak karena lapar dan kedzaliman penguasa di jalanan tanpa penyelesaian masalah yang berpihak pada mereka, kecuali hanya janji-janji yang diberikan.

Konsep Islam dalam Penyaluran Aspirasi Rakyat
Dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (khalifah) yang menyimpang karena khalifah adalah manusia biasa. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya (HR Abu Dawud).

Abdul Kareem Newell dalam buku Akuntabilitas Negara Khilafah mengatakan bahwa ada pengimbang kekuatan eksekutif Khalifah di dalam negara Khilafah, yaitu majelis umat dan mahkamah mazhalim. Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat. Di sisi lain, individu warga negara maupun keberadaan partai politik yang melakukan koreksi terhadap penguasa bukan hanya boleh, tetapi wajib (QS Ali Imran [3]: 103). Inilah jaminan penyaluran aspirasi rakyat dalam Negara Khilafah.

Majelis Umat Penyalur Aspirasi Rakyat dan Muhasabah
Majelis umat merupakan sebuah majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana halnya lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi. Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Majelis umat melakukan fungsi utamanya dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan kontrol/muhasabah. Terdapat perbedaan antara syura dan muhâsabah. Syura adalah meminta pendapat atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan, sedangkan muhâsabah adalah melakukan penentangan setelah keputusan diambil atau setelah kebijakan diterapkan. Perlu ditekankan juga bahwa majelis umat bukan bagian dari struktur pemerintahan, karena itulah anggotanya pun bisa saja dipilih dari kaum wanita. Wa allahu alam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post