By : Novianti
Tidak bisa dinafikan, pola pengasuhan berkontribusi pada tumbuh kembang anak.
Rasulullah mengingatkan :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir)
Namun apakah maknanya jika seseorang memiliki masalah dalam hidup, penyebab semuanya adalah orang tua?
Ada istilah inner child yang menunjuk pada sosok anak kecil yang masih melekat pada orang dewasa. Ini diakibatkan luka-luka pengasuhan yang tersimpan di alam bawah sadar kemudian memunculkan perasaan dan perilaku-perilaku negatif. Merasa tidak dicintai, tidak memiliki percaya diri, sulit berteman, dan sebagainya. Sehingga terkadang anak menyalahkan orang tuanya atas seluruh kondisinya di masa dewasa.
Jangan-jangan teori inner child jadi legitimasi atas ketidakmampuan menumbuhkan dirinya sebagai pribadi dewasa yang harus siap mengemban berbagai tanggung jawab, membuat banyak keputusan penting dalam hidupnya.
Mengapa demikian?
Pertama, seorang muslim harus meyakini bahwa setiap takdir Allah adalah baik.
Dalam kehidupan, ada wilayah yang manusia kuasai dan ada yang tidak.
Pada wilayah yang manusia kuasai, ia bisa memilih. Seperti mau makan sekarang atau nanti, pilih bekerja atau tidur. Akal dengan kemampuan berfikirnya menjadi penimbang dalam membuat suatu keputusan.
Dan Allah sudah memberikan 2 jalan, jalan kebenaran atau kebatilan sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Balad: 8-10: “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir? Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”
Pada wilayah ini, Allah akan menghisab perbuatan manusia.
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al Isra ; 36)
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yan telah diperbuatnya.” (QS. Al Mudatstsir ; 38)
Ada juga wilayah yang manusia tidak bisa kuasai dimana Allah tidak akan menghisabnya. Warna kulit, jenis kelamin, bentuk fisik. Manusia tidak bisa memilihnya. Sehingga Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban mengapa rambut ini hitam dan lurus, mengapa jadi perempuan, mengapa lahir di Indonesa, mengapa warna kulit coklat, mengapa bibirnya tebal.
Dalam wilayah ini, manusia hanya bisa menerima dengan ikhlas takdirNya karena Allah Maha Mengetahui yang terbaik.
"Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS Al An’am ; 101).
Termasuk disini adalah lahir dari orangtua siapa, diasuh dengan cara bagaimana adalah bagian dari takdir yang harus diterima. Seseorang tidak akan mengetahui percis apa yang terjadi pada orangtuanya di masa lalu. Banyak hal yang tidak orang tua sampaikan bahkan disembunyikan dari anak.
Sehingga jika seseorang mencoba mengingat apa yang orangtuanya lakukan pada masa kecilnya, mencari hubungan sebab akibatnya, potongan puzzle yang coba dirangkai itu tak akan pernah sempurna karena tak pernah tahu percis faktanya.
Karenanya adilkah seorang anak berkata keterpurukan hidupnya semua disebabkan karena salah asuh dari orang tua?
Padahal orangtua telah merawat dan membesarkan anak hingga dewasa. Lelahnya seorang ibu mengandung, melahirkan, merawat berbulan-bulan tidak akan pernah bisa dibalas. Minimal setahun, anak selalu lekat dengan ibunya. Lalu sanggupkah seorang anak melakukan hal yang sama pada orangtua di masa tuanya, memandikan, menyuapi, menemani, mengurus hajatnya setidaknya selama setahun?
Dari Abu Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Ia bersenandung: "Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari."
Orang itu lalu berkata ,”Wahai Ibnu Umar apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab ,”Belum, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”
Jadi seperti apapun model pengasuhan orang tua, seorang anak tak mampu membalas satu tarikan nafas ibunya ketika melahirkan dan perjuangan ayahnya mencari nafkah.
Tak pantas seorang anak mengulik-ulik masa lalu dan menyalahkan apa yang sudah orang tua lakukan.
Takutlah pada hadist: “Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia. “
Kedua, standar perbuatan seorang muslim adalah hukum syara. Hukum syara didefinisikan sebagai seruan as-Syari’ (Allah) terkait perbuatan seorang hamba, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau larangan. Artinya, manusia tidak boleh menyandarkan perbuatan pada orang lain, perasaan atau akal.
Demikian juga dalam pola pengasuhan. Acuannya bukanlah didasarkan pada warisan orangtua atau pasangannya atau mengikuti seleranya. Karena prinsip mendidik anak sudah ada dalam Al Quran dan Hadist, tinggal menggalinya dan berpikir kreatif dalam implementasinya selama tidak melanggar kaidah syara'.
Jadi bagi yang sudah dewasa lalu jadi orang tua, tidak ada alasan berkata, ”Saya mengajari begini karena dulu orangtua mengajarkan begini. Saya begini warisan orangtua".
Berdamailah dengan yang sudah terjadi dan ikhlas menerima. Jangan hidup dengan bayang-bayang masa lalu tapi fokus memperbaiki kehidupan untuk masa depan.
Manusia tidak bisa merubah masa lalu namun bisa merubah cara pandang untuk kesuksesan di masa depan yaitu hidup dalam ridlo Allah Subhana waTa'ala
Post a Comment