Kriminalitas Setelah Pembebasan Napi, Kegagalan Jamin Rasa Aman


Oleh : Nurhalidah Muhtar

Bertubi-tubi masalah menghantam Indonesia. Kebijakan yang dibuatpun tidak mampu menyelesaikan masalah, yang ada malah menimbulkan masalah baru. Seperti yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah penyebaran virus corona di penjara.

Sejak Kepmen tersebut diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi.

Meski pembebasan tersebut dengan dalih untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona. Namun disisi lain membuat masyarakat khawatir dan takut para napi yang dikeluarkan itu kembali berulah.
Alhasil kebijakan yang dibuat justru menciptakan ketakutan dan ketegangan ditengah masyarakat.

Tidak salah lagi kekhawatiran masyarakat menjadi kenyataan, terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah.

Seperti di Bali, pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 2 kilogram.

Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga.

Selanjutnya di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap tiga hari kemudian. (Kumparan, 09 April 2020).

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Dari pembinaan tersebut menciptakan efek jera terhadap para napi. Sehingga ketika mereka keluar mereka kembali hidup dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Tapi itu hanyalah fungsi lapas dalam teori. Sebab dilihat dari Napi yang dibebaskan kemudian kembali berulah, menandakan kegagalan LP dalam membina para narapidana. Dan tidak ada persiapan pemerintah untuk menangani napi ketika berada ditengah-tengah masyarakat. Pemerintah hanya sebatas membebaskan saja.

Penjara di Indonesia menunjukan perlakuan yang berbeda antara napi orang kaya dan orang miskin. Munculnya ketidakadilan hukum yang diterapkan di negeri ini adalah hal yang wajar. Hukum sangat bergantung pada siapa yang berkuasa dan kepentingan-kepentingan yang dibawanya. Prinsip sekular menjadi biang kerok bercokolnya hukum yang tidak adil. Prinsip-prinsip hukum sangat mudah berubah tergantung kekuatan, kekuasaan, dan kepentingan sehingga tidak akan ditemukan kebenaran yang hakiki, karena hukumnya bersumber dari akal manusia. Inilah cacat hukum sekular sejati.

Dalam islam sanksi penjara merupakan salah satu dari ta'zir. Ta'zir ialah sanksi yang kadarnya ditetapkan oleh khalifah.Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam menjelaskan, bahwa pemenjaraan memiliki arti mencegah atau menghalangi seseorang untuk mengatur diri sendiri. Artinya, kebebasan atau kemerdekaan individu benar-benar dibatasi sebatas apa yang dibutuhkannya sebagai seorang manusia.

Sanksi dengan model pemenjaraan, telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin. Penjara dalam islam merupakan tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Dimana seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Karena itu, penjara harus memberi rasa takut dan cemas bagi orang yang dipenjara. Tidak boleh ada lampu yang terang (harus remang-remang) dan segala jenis hiburan. Tidak boleh ada alat komunikasi dalam bentuk apapun. Tidak peduli, apakah dia miskin atau kaya; tokoh masyarakat atau rakyat biasa, semua diperlakukan sama. Namun bukan berarti penjara dalam islam tidak manusiawi. Para tahanan mendapat makan dan minum yang layak, mendapat waktu istirahat yang cukup , boleh dikunjungi oleh keluarga.

Maka dengan segala keterbatasan yang ada dalam penjara inilah yang dapat menimbulkan efek jera.  Efek jera inilah yang memiliki fungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, sanksi yang dijatuhkan akan mencegah pelaku yang bersangkutan atau orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.

Bahkan, setiap sanksi yang dijatuhkan oleh seorang qadhi atau hakim, juga berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa bagi para pelaku kejahatan. Sebab, setiap kejahatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja merupakan dosa, dan dosa akan berbalas siksa atau adzab. Karena itulah, sanksi dari hukum Islam akan mampu menebusnya. Wallahu a’lam bish-showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post