Oleh: Tawati
(Muslimah Pelita Revowriter Majalengka)
Kebijakan pemerintah yang membatasi aktivitas perdagangan sebagai konsekuensi pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mendapat keluhan dari pelaku usaha makanan. Mereka menilai, pembatasan waktu jam operasi dari 03.00 hingga 18.00 WIB bukan kebijakan yang tepat bagi para pelaku usaha kuliner.
Dikutip Tribun Jabar, seorang pelaku usaha kuliner, Ivan Taufik Iskandar, mengatakan, pemberlakuan jam operasi yang diperbolehkan pemerintah tersebut secara durasi memang cukup panjang. Namun, jika dilihat dari efektivitas, kebijakan tersebut jauh dari keadilan.
"Seperti memberi kesempatan berjualan yang cukup lama, 15 jam buka. Tapi kan ini bulan puasa, mulai ramai dari jam 16.00 hingga 21.00 WIB. Melihat kebijakan ini, transaksi hanya terjadi dari jam 16.00 hingga 18.00 WIB. Ini akan jadi dua jam yang padat. Dan malah akan menimbulkan penumpukan pembeli. Akan ada kerumunan. Jadi tak sesuai dengan tujuan PSBB," ujar Ivan, Sabtu (9/5/2020).
Pemerintah memutuskan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB merupakan respons dari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Seharusnya kondisi kedaruratan kesehatan ditetapkan sejak awal, lengkap dengan opsi PSBB dan karantina wilayah. Namun, anehnya pemerintah tetap menegaskan menolak karantina wilayah.
Sikap ini tak sesuai dengan UU. Opsi ini pula yang diminta oleh banyak pihak untuk segera dipilih oleh pemerintah. Namun, pemerintah bergeming. Faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama. Akibatnya, negara abai terhadap nyawa rakyat.
Sejak wabah ini muncul, sikap pemerintah sudah bikin geleng kepala. Tak mau mengambil opsi lockdown, tak ingin gunakan istilah karantina wilayah, tapi memakai pembatasan sosial berskala besar untuk mengurangi dampak ekonomi negara.
Banyak pihak menilai kebijakan PSBB yang ditetapkan hanyalah akal-akalan pemerintah yang tak mau membiayai hidup masyarakat bila diterapkan karantina wilayah. Berlepas diri dari tanggung jawab.
Wabah apa pun itu, jika sudah pandemi, pastinya berdampak pada perekonomian. Hal itu semestinya dipahami betul oleh pemerintah. Dan semestinya pemerintah juga memiliki perangkat aturan cara mengantisipasi. Sayangnya, saat Covid-19 mewabah, Pemerintah justru salah langkah.
Pemberian insentif, seperti penggratisan listrik, atau pengurangan kredit sejatinya tak akan efektif mendongkrak ekonomi rakyat. Antara masalah dan solusi tak sinkron. Masalahnya wabah, solusinya semestinya bagaimana mencegah wabah itu bertambah, bagaimana masyarakat bisa hidup di tengah penerapan social atau physical distancing, dan bagaimana perekonomian di wilayah lain tak mandek.
Imbauan jaga jarak saja tak cukup bila negara tak memberi jaminan kehidupan selama pembatasan sosial berlangsung. Mereka hanya butuh kepastian pemerintah menjamin keberlangsungan hidup mereka.
Islam memiliki seperangkat kebijakan yang mampu mengatasi wabah sekaligus meminimalisasi dampak ekonomi. Dalam Islam, kesehatan dan keamanan sama pentingnya dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Saat wabah terjadi, inilah yang akan dilakukan negara Islam (Khilafah) mengatasi wabah yang terjadi:
1) Pertama, melakukan penerapan karantina wilayah.
2) Kedua, memberikan fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai.
3) Ketiga, edukasi yang menyeluruh.
4) Keempat, upaya menciptakan obat dan vaksin.
PSBB, terbukti tidak efektif sebagai upaya pencegahan. Tampak dari wabah yang semakin meluas dan pelaksanaannya yang berlarut-larut hingga melebihi dua periode masa inkubasi terlama virus.
Belum lagi kelalaian pemerintah dalam menjamin kebutuhan pokok publik, di mana gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantam hampir semua sektor usaha dan bisnis.
Wabah kelaparan pun di depan mata, di tengah buruknya ketahanan pangan dan kelalaian pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan selama ini. Padahal sumber daya alam pertanian begitu berlimpah di negeri ini.
Indonesia dianugerahi lahan yang subur, iklim tropis yang berlimpah, cahaya matahari, juga curah hujan yang memadai. Tidak kurang pula sumber daya alam genetik, berikut lautan dan perairan yang luas dengan potensi hayati berlimpah khususnya protein. Demikian juga para petani dan ahlinya.
Jelas, kezaliman dan penderitaan masyarakat ini harus segera diakhiri. Baik karena pandemi Covid-19 yang berlarut-larut, maupun akibat pandemi akut yang berpangkal dari kerusakan sistem kehidupan kapitalisme.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment