KAPITALISME GAGAL MENGATASI MASALAH PANGAN

Oleh : HJ. PADLIYATI SIREGAR.

Lembaga dunia World Food Program mengatakan masyarakat dunia menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran dalam beberapa bulan lagi akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 atau virus Corona.

Saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan. Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang.

Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Sehingga, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang.

Bencana pangan ini bisa terjadi di sekitar 55 negara jika melihat pada skenario terburuk. Eksekutif Direktur WFP, David Beasley, mengatakan ada sepuluh negara yang telah mengalami kelaparan dan menimpa sekitar satu juta warga.

“Saat menangani pandemi COVID-19, kita juga berada di tepi jurang pandemi kelaparan,” kata Beasley kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB seperti dilansir CNN pada Rabu, 22 April 2020. https://dunia.tempo.co/read/1334636/wfp-satu-miliar-orang-terancam-kelaparan-akibat-virus-corona

Pandemi virus Corona Covid-19 membawa dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Tak hanya menyebabkan permasalahan ekonomi, tapi juga berpotensi mengarah pada krisis pangan global.

Krisis pangan membayangi di belakang pandemi virus corona COVID-19 yang serangannya belum tuntas. Presiden Jokowi sudah mengetahui hal tersebut, yang juga menjadi perhatian lembaga dan organisasi pangan dunia seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Food Programme (WFP)

Peneliti Agraria LP3ES Iqra Anugrah menilai, dampak dari pandemi Corona patut diwaspadai bersama. Sebab, kata dia, korban pertamanya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan," ujar Iqra melalui keterangan tertulis, Senin (27/4/2020).

Di satu sisi, akses masyarakat menengah-bawah terhadap pangan menurun drastis karena masyarakat tiba-tiba tidak dapat bekerja dan/atau kehilangan pekerjaan. Harga pangan secara riil menjadi lebih mahal, karena daya beli yang menurun, walaupun harga nominal tidak banyak berubah.

Gambaran ini semakin memperjelas bahwa kapitalisme menghasilkan ketimpangan antara si kaya dan si miskin pada level individu hingga bangsa.

Dunia masih memiliki hampir 1M penduduk yang kurang pangan. Begitu juga di Indonesia ada lebih 22 juta orang,tentu ini akan bertambah 2 kali lipat di tengah wabah.
Islam punya gambaran yang jelas bagaimana menyelesaikan krisis pangan  dalam kondisi apapun.


*Politik Pertanian Islam*

Politik pertanian yang dijalankan oleh negara Islam ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di bidang pertanian. Kebijakan yang dijalankan dalam bidang pertanian mencakup sektor produksi primer, pengolahan hasil pertanian maupun perdagangan dan jasa pertanian.

1. Sektor produksi pertanian.

Kebijakan di sektor produksi primer ditujukan untuk menjamin ketersedian pangan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan menggunakan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan serta menyebarluaskan teknik-teknik modern yang lebih efisien di kalangan petani. Untuk menjamin hal itu, negara harus menyediakan modal secara gratis bagi yang tidak mampu agar mereka dapat mengolah lahan yang dimilikinya. Dengan cara ini petani-petani yang tidak mampu tidak akan terbebani untuk mengembalikan utang. Dengan demikian, produksi pertanian mereka benar-benar dapat digunakan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pokok mereka.

Adapun ekstensifikasi dilakukan untuk mendukung perluasan lahan pertanian. Negara akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati dengan jalan mengolahnya. Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari).

Negara juga akan memberikan tanah secara cuma-cuma (iqtha’) kepada orang yang mampu dan mau bertani namun tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian yang sempit. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal al-Muzni yang telah diberi tanah secara cuma-cuma oleh Rasulullah saw. Yang seperti ini banyak contohnya. Bahkan negara akan memaksa siapa saja yang memiliki lahan pertanian untuk mengolahnya. Jika mereka tidak mengelolanya selama lebih dari tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada siapa saja yang mau mengolahnya. Sistem pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini. Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengatakan, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”

Bahkan seorang pemilik tanah tidak boleh menyewakan tanah pertanian. Ia tidak boleh menyewakan tanah dengan sewa yang berupa makanan ataupun yang lain, yang dihasilkan dari pertanian tersebut, atau apa saja yang dihasilkan dari sana.

Rasulullah saw. melarang penyewaan tanah (lahan) (HR Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad).
Rafi’ bin Khadij menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditanami tanpa kompensasi dan jangan menyewakannya dengan sepertiga, atau seperempat dan jangan dengan makanan yang disepakati (jenis dan jumlahnya) (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah).

Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya, seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan, sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan tidak dibenarkan untuk menguasai lahan pertanian.

Untuk menjamin ketersediaan pangan, negara menerapkan kebijakan yang tegas untuk mencegah upaya konversi lahan pertanian menjadi lahan-lahan non-pertanian seperti perumahan dan industri. Lahan pertanian dipertahankan untuk lahan pertanian. Adapun daerah kurang subur dapat diperuntukkan untuk lahan perumahan dan perindustrian. Namun demikian, tidak boleh juga mengkonversi hutan-hutan milik umum menjadi lahan pertanian dengan alasan untuk produksi pertanian. Sebab, kepemilikan umum tetap harus dipertahankan sebagai kepemilikan umum yang bersifat tetap dalam pengelolaan negara. Mempertahankan kepemilikan umum—semisal hutan, tambang dan lain-lain—tetap dalam pengelolaan negara juga akan mencegah terjadinya perusakan lingkungan hidup sebagai dampak pengelolaan SDA yang tidak bertanggung jawab.

2. Kebijakan di sektor industri pertanian.

Di sektor industri pertanian, negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor real saja, sedangkan sektor non-real yang diharamkan tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Kebijakan ini akan tercapai jika negara bersikap adil dengan tidak memberikan hak-hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak-pihak tertentu, baik hak monopoli atau pemberian fasilitas khusus. Seluruh pelaku ekonomi akan diperlakukan secara sama. Negara hanya mengatur jenis komoditi dan sektor industri apa saja yang boleh atau tidak boleh dibuat. Selanjutnya, seleksi pasar akan berjalan seiring dengan berjalannya mekanisme pasar. Siapa saja berhak untuk memenangkan persaingan secara wajar dan adil. Tentunya, pelaku ekonomi yang memiliki kualitas dan profesionalitas tinggi yang akan dapat memenangkan persaingan.

Industri pertanian akan tumbuh dengan baik jika sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai. Sarana dan prasarana tersebut seperti tersedianya bahan baku industri pertanian, yakni bahan-bahan pertanian yang memadai dan harga yang layak, jaminan harga yang wajar dan menguntungkan serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan serta tidak ada distorsi yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang memihak. Selain itu, juga adanya prasarana jalan, pasar dan lembaga-lembaga pendukung lainnya seperti lembaga penyuluhan pertanian dan lembaga keuangan yang menyediakan modal bagi usaha sektor industri pertanian. Semua ini diperlukan agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik.

3. Kebijakan di sektor perdagangan hasil pertanian.

Di sektor perdagangan, negara harus melakukan berbagai kebijakan yang dapat menjamin terciptanya distribusi yang adil melalui mekanisme pasar yang transparan, tidak ada manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta tidak ada penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat.

Untuk itu, ada beberapa kebijakan yang harus ditempuh agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik. Pertama: Negara harus menjamin agar mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi. Rasulullah saw. bersabda:

Janganlah kalian menghadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Larangan Rasulullah saw. terhadap aktivitas ini dimaksudkan agar harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan satu pihak, baik penjual maupun pembeli.

Kedua: Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Negara akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridhaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Islam bahkan melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga, baik harga maksimum maupun harga dasar. Anas bertutur: “Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik. Tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah menjawab:

Allahlah Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rezeki. Aku berharap agar bertemu dengan Allah dan tidak ada seorang pun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta. (HR Ashabus Sunan).

Berdasarkan hadis ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan dengan melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar di atas keridhaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak kezaliman.

Ketiga: Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan, baik yang dilakukan oleh penjual maupun pembeli. Rasulullah saw. bersabda:

Tidak halal seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut. (HR Ahmad).

Adapun penipuan yang dilakukan oleh pembeli adalah dengan jalan memanipulasi alat pembayarannya (baik berupa uang maupun barang).

Keempat: Pemerintah harus mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian dan kebutuhan pokok lainnya. Rasulullah saw. bersabda:


Orang yang mendatangkan barang (akan) diberi rezeki sebaliknya orang yang menimbun dilaknat (HR Ibn Majah dan ad-Darimi)

Kelima: Pemerintah harus dapat mencegah perselisihan yang terjadi akibat tindakan-tindakan spekulasi dalam perdagangan. Banyak sekali jenis-jenis spekulasi yang mengandung kesamaran yang dilarang oleh Islam, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadis.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Post a Comment

Previous Post Next Post