Iuran BPJS Naik Lagi, Bukti Negara Tak Punya Hati

Oleh : Miftah Karimah Syahidah
(Koordinator Back to Muslim Identity Community Jember)

Negara adalah sebuah institusi pengatur urusan rakyat, ditangannyalah kesejahteraan rakyat diletakkan. ‘Namun, apa yang terjadi jika negara tak lagi punya hati? Apa yang terjadi jika negara tak lagi jadi penanggung jawab urusan rakyat?’. Kira-kira beginilah pertanyaan yang terus bergentayangan di benak saya ketika diputuskan bahwa BPJS naik lagi. Lewat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, Presiden Jokowi memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya hampir 100 persen mulai Juli 2020 mendatang. Kenaikan khususnya dirasakan peserta mandiri kelas I dan II. Iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu. Angka ini cuma lebih rendah Rp10 ribu dari kenaikan pada perpres terdahulunya. Kemudian, kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu, dan kelas III naik 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu. (cnnindonesia.com).

Tentu keputusan ini membuat banyak mata terbelalak, termasuk saya. Di saat masyarakat harus mengencangkan ikat pinggang untuk tetap bertahan dimasa pandemi, harga layanan kesehatan naik lagi. Tentu kebijakan ini dinilai sangat kontradiksi. Disaat PHK besar-besaran dan para pekerja di rumahkan hingga menyebabkan ekonomi rakyat pailit, justru lahir kebijakan penguasa yang makin menghimpit.  

Kebijakan ini seakan semakin mengokohkan watak asli penguasa negeri ini. Mereka tak hanya miskin empati, karena tak serius membantu rakyat yang kesulitan di masa pandemi, bahkan mereka telah mendzalimi rakyat sendiri. Kebijakan yang lahir bukannya mensolusi keberadaan pandemi, malah semakin menambah beban rakyat yang kini berjuang semdiri.

Ini juga menjadi bukti bahwa kesehatan kini bukan lagi berorientasi kepada sosial kemasyarakatan. Kesehatan kini telah dijadikan komoditas ekonomi yang diperdagangkan. Padahal Kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh negara. Bahkan jaminan itu tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pun juga pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Namun, agaknya pasal di atas hanya sebatas tulisan di atas kertas. Nyatanya negara tak lagi hadir sebagai penjamin kesehatan rakyat.  Kesehatan yang kini diswastanisasi menjadi bukti, bahwa negara tak lagi berfungsi. Negara abai terhadap kebutuhan kesehatan rakyat. Yang terjadi kini, jika ingin mendapatkan pelayanan terbaik, rakyat harus merogoh kantong lebih dalam lagi. Akhirnya slogan ‘orang miskin dilarang sakit’, masih terus menjadi anomali negeri ini.

Kondisi ini sangat kontradiksi dengan Sabda Rasulullah saw. : Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi). Dalam hadis ini kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Dan negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Karena Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari). Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan Dharar (kemadaratan) bagi masyarakat.  Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.

Dan paradigma di atas telah mengantarkan pada berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. Yang menunjukkan taraf yang sungguh menakjubkan. Layanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya. Semunya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan pembiayaan bersumber dari Baitul Mal (keuangan negara) . Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan.

Bahkan sejarah pemenuhan kesehatan ini, direkam oleh Will Durant dalam The Story of Civilization: “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya.  Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.  Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”   

Layanan kesehatan seperti ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam. Paradigma Islam yang memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik, telah mengantarkan Islam meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Sungguh, dunia sangat merindukan kembali kehidupan sejahtera di bawah naungan Pemerintahan Islam, Khilafah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb

Post a Comment

Previous Post Next Post