Oleh : Kiki Zaskia, S.Pd
(Pemerhati Media)
Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup, kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya (Pusara, Januari 1940). Begitulah filosofi link and match dari bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2020 tantangan masa depan dunia pendidikan khususnya di Indonesia semakin kompleks dalam upaya menyesuaikan dengan perkembangan global, revolusi industri 4.0 atau era disrupsi.
Link and Match menjadi istilah yang populer pada tahun 1990- an diperkenalkan oleh Mendikbud dimasanya Wardiman Joyonegoro. Esensinya sebagai sebuah rumusan terobosan agar intelektual dipastikan menerapkan ilmu pengetahuan pada dunia kerja yang dibutuhkan pengusaha. Kerjasama antara korporasi/industri dengan dunia pendidikan dalam hal ini lulusan universitas untuk menjawab tantangan pasar. Link and Match dengan orientasi ini memang sangat menampar dunia pendidikan sebab misi sakral dunia pendidikan terpanggil dengan kekontrasan materialisme. Sangat jauh berbeda dengan orientasi mulia yang dikemukakan bapak pendidikan Indonesia bahwa pendidikan harus sesuai dengan kepentingan hidup, kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya yang seyogyanya juga telah ada dalam rumusan Tridharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian pada masyarakat.
Apabila ditelusuri link and match orientasi khas komersialisasi pendidikan sebagai manifestasi agenda global kapitalisme. Indonesia menjadi bagian PBB pada tahun 1950 akibatnya Indonesia harus menandatangani segala perjanjian dan kesepakatan termasuk dalam masalah pendidikan tinggi. Indonesia juga turut meratifikasi konvensi UNESCO 16 Desember 1983 yakni konsep the fourth pilar of education yang mengharuskan Indonesia mendekatkan pendidikan pada kondisi pasar kerja dan industri sejak tahun 2000. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi perjanjian & komitmen AFTA, WTO, GATS juga secorak menjadikan pendidikan berorientasi pasar. Adapun skala regional ASEAN dalam MRA (Mutual Recognation Agreements) kualifikasi bidang profesi SDM yang dihasilkan oleh perguruan tinggi yang mensyaratkan pendidikan tinggi harus memiliki akreditasi, akhirnya KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) disusun sebagai respon ratifikasi tersebut.
Mantan presiden universitas Harvard, Derek Bok dalam bukunya Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang perlu diwaspadai dari komersialisasi pendidikan tinggi; perguruan tinggi akan tergiring melupakan misi suci yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa; perguruan tinggi juga akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatium bagi penemuan-penemuan baru yang penting dalam membangun peradaban umat manusia; dan yang terakhir perguruan tinggi berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapat dukungan finansial dari perusahaan/industri.
Bahaya ini sudah tak lagi sekadar menggejala tapi sudah menghasilkan reaksi nyata yaitu generasi yang berpikir parsial kebidangan, apolitis, dan bermental pekerja. Jumlah mahasiswa Indonesia di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) pada 2018 merupakan yang tertinggi sejak 1997. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2019 mencatat total jumlah mahasiswa Indonesia yang masuk pada 2018 sebanyak 7 juta jiwa. Angka tersebut terdiri atas 4,5 juta jiwa mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 2,5 juta jiwa mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Jumlah mahasiswa pada 2018 tumbuh 1,4% dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,9 juta jiwa (Dilansir katadata.co.id, 26/09/2019). Artinya telah membentang sebuah kecenderungan output 7 juta jiwa mahasiswa calon sarjana tersebut akan masuk kedalam pusaran agenda global kapitalisme.
Hal ini juga diaminkan oleh kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim dengan formula Merdeka Belajar yang menjadi platfromnya bahwa Perguruan Tinggi dimudahkan akses bekerjasama dengan Industri nasional maupun internasional. Perlu adanya sikap ‘mawas diri’ pada Perguruan Tinggi sebab Independensi Perguruan Tinggi akan berada dikendali korporasi. Dieksploitasi oleh swasta yang nakal untuk kepentingan proyek yang memanfaatkan ristet kaum intelektual. Sampai dititik paling parah yaitu untuk menghapus dosa investasi para kapitalis seperti dengan upaya reklamasi lahan bekas tambang, melakukan invasi tumbuhan yang tahan pencemaran, dan upaya formulasi teknik bionergi terbaik. Orientasi mulia pendidikan memang berada dititik nadir untuk memberi kesempatan membentuk insan-insan yang kritis dalam berpikir dengan tantangan realitas kehidupan yang ada dan senantiasa bermanfaat untuk rakyat jika masih belum menyadari bias link and match ala kapitalisme-liberal.
Kini pandemi corona menguji negeri ini baik kuantitas maupun kualitas SDM, Sarana dan Prasarana yang membuat kelabakan dalam penanganan wabah. Ketua perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan bahwa hanya ada 1.106 spesialis paru di Indonesia. Padahal, seharusnya ada sekitar 2.600 spesialis untuk negara dengan populasi sekitar 260 juta penduduk ini. Jadi, ada satu dokter spesialis paru untuk setiap 100.000 penduduk (Dilansir kompas.com, 06/04/2020). Inilah kondisi konkrit salah kaprah adopsi link and match dengan nafas kapitalisme-sekuler di Indonesia. Antara lulusan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang belum terakurasi dengan baik oleh sistem pendidikan saat ini. Alhasil, kerja rodi tenaga medis harus menjadi drama nyata dan rekrutmen relawan kesehatan yang menjadi alternatif terakhir yang miris. Hal itu menjadi bagian derivat masalah formalitas pendidikan di Indonesia sebab biaya sekolah khususnya bidang kesehatan menjadi hal yang sangat mewah harus dibiayai dengan materi yang tak sedikit.
Skenario penanganan wabah ataupun pemecahan misteri tantangan masa depan Indonesia nanti bukanlah ditangan para pemilik modal tapi pada idealisme kaum intelektual yang ahli dibidangnya yang harus dipersiapkan sedini mungkin secara nyata. Termasuk dibidang keilmuan dibidang lainnya yang vital demi kemasalahatan umat. Tentunya dengan orientasi yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal yakni islam sebab telah terbukti rusak dan gagalnya kapitalisme menghidupi hidup dunia pendidikan.
Dalam islam, ilmu bukanlah komoditas faktor produksi namun ilmu adalah jiwa kehidupan. Pendidikan dalam islam adalah sebuah kebutuhan dasar (hajah asasiyah), setiap orang memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu tanpa gap sosial apapun. Tak ada kelas sosial dalam urusan pendidikan sebab dalam islam pemimpin negara wajib memastikan hal tersebut untuk semua kalangan. Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Hikam, bahwa khalifah berkewajiban menyediakan sarana pendidikan, sistem pendidikan dan menggaji para pendidiknya. Tujuan sistem pendidikan dalam islam yaitu membentuk kepribadian islam (syakhsiyyah islam) serta membekali dengan ilmu yang berhubungan dengan urusan hidup manusia (teknologi). Perguruan tinggi dalam sistem pemerintahan islam harus berupaya mengkristalkan tsaqafah islam agar tak terpisahkan antara keahlian dan ketakwaan sehingga lahir generasi ilmuwan yang juga memiliki ketaatan pada syariat, juga kesalehan sosial sehingga tak terkubur dengan permasalahan diri sendiri, namun terus menerus menjadikan ilmu sebagai jalan untuk membenahi permasalahan umat.
Orang-orang yang berilmu memiliki kemuliaan disisi Alah SWT dan Rasulullah. Allah swt berfirman : “Katakanlah apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran”(TQS. Az-Zumar: 9).
Allah juga berfirman: “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari pada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (TQS. Al-Mujadalah: 11)
Dari Katsir Bin Qais Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atapun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak ” (HR. Ibnu Majah)
Desain riset sejalan dengan kebutuhan masyarakat sehingga mensejahterakan dan memuliakan manusia. Sederet nama yang berpengaruh keilmuanya dalam peradaban dunia misalnya Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga dengan Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan dan juga dokter. Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi, ekonomi. Keberhasilan sistem islam yang berjaya selama 13 abad telah terbukti memajukan saintek yang orisinil dan kuat. Namun hal itu seharusnya bukan hanya menjadikan islam sebagai alternatif resolusi link and match sistem pendidikan di Indonesia saja namun, sejatinya secara komprehensif pada semua aspek kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab
Post a Comment