Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Angka Kemiskinan

Oleh : Iis Nur 
(Pegiat Dakwah)

Dengan merebaknya wabah virus Covid-19 di seluruh dunia tanpa bisa diprediksi sebelumnya sehingga tak satu pun orang atau satu negara pun yang siap untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan  mulai dari aspek kesehatan sampai aspek sosial ekonomi.

Untuk mencegah merebaknya virus Covid-19 lebih luas, pemerintah mengeluarkan kebijakan social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa banyak perusahaan dan pengusaha kecil sampai besar untuk memPHK sebagian besar karyawannya. Kondisi ini tak urung menambah daftar orang miskin baru dan otomatis meningkatkan angka kemiskinan.

Dilansir oleh Pikiranrakyat.com (04/05/2020), hilangnya pekerjaan  yang menjadi sumber penghasilan ini juga di alami Budiawan (34) warga desa Cibiru Hilir,  Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung yang sebelumnya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik garmen kawasan Solokan Jeruk. Dia tak pernah menyangka akan menjadi salah satu korban PHK dampak pandemi ini. Budiawan harus kehilangan pekerjaannya yang menjadi sumber pendapatan untuk menghidupi anak istri serta mertua yang serumah dengan keluarganya. 

Bukan hanya kaum buruh dan karyawan, kehilangan sumber penghasilan pun dirasakan Ujang Soleh sebagai pemulung. Kesulitan hidupnya harus diperparah  dengan adanya pembatasan sosial membuat dia tidak bisa berbuat banyak dalam mencari uang. Hingga dia dan istri serta anaknya tidak bisa lagi membeli beras, terpaksa  untuk bertahan hidup harus memakan nasi aking atau nasi aron.
Dengan adanya PHK massal dan pembatasan sosial menimbulkan fenomena  miskin baru. Diprediksi apabila adanya penurunan pertumbuhan ekonomi akibat terhambatnya aktivitas kerja dan produksi ekonomi hingga apabila pertumbuhan ekonomi turun menjadi nol persen maka angka kemiskinan akan meningkat menjadi 10,54% atau menyeret setidaknya 3,63 juta penduduk ke dalam kemiskinan. (The Convesation.com  15/05/2020).

Melihat fakta di atas, peran pemerintah sangatlah dibutuhkan untuk bisa menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan pandemi Covid-19 ini. Salah satunya dengan memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang terkena dampak dan terkena isolasi.

Smeru Research Institute (Tempo.co., Jakarta 17/04/2020) melakukan riset terbaru mengenai proyeksi angka kemiskinan akibat pandemi Covid-19 dalam skenario kecil, SMERU memprediksi angka kemiskinan pada Maret 2020 naik menjadi 9,7% atau bertambah 1,3 juta orang miskin baru.

Dan dalam skenario besar, angka kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret diprediksi naik hingga 12,4%. Jumlah penduduk miskin di seluruh negeri bertambah menjadi 33,24 juta orang, bertambah 8,5 juta miskin baru. Ini bertambah dari data bulan September 2019 tercatat 24,79 juta orang miskin.

Bertambahnya data miskin baru menunjukkan ketidaksiapan pemerintah atas penanganan prediksi dampak pandemi Covid-19 terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan ketidaksanggupan pemerintah mencukupi kebutuhan sembako selama wabah mencerminkan abainya negara di bawah sistem kapitalisme kepada rakyatnya. 

Bahkan untuk mendapatkan subsidi atau jaminan kebutuhan pokok secara gratis, masyarakat harus melalui serangkaian prosedur untuk sekedar membuktikan bahwa mereka miskin bahkan ada bantuan pun itu hanya terbatas. Inilah cerminan sistem kapitalisme yang menunjukkan tidak pentingnya posisi rakyat karena mereka lebih mementingkan kepentingan asing dan aseng. Bantuan sosial dari pemerintah masih setengah hati tanpa ada tindakan nyata serta hanya terbatas tidak semua bisa mendapatkan bantuan sosial bahkan banyak yang seharusnya dapat bantuan harus gigit jari karena dengan alasan belum ada datanya.

Sistem kapitalisme hanya melahirkan pemimpin yang membuat kebijakannya mencla mencle, dapat diatur dan dibantah oleh bawahannya yang membuat bingung rakyat serta anti kritiknya penguasa.

Berbeda dengan negara yang menerapkan aturan sesuai syariat Islam yang mengacu pada Al-quran dan As sunnah, Islam memiliki aturan detil dan sempurna pada semua aspek kehidupan termasuk politik dan ekonomi. Islam mempunyai konsep persiapan kokoh dalam ketahanan pangan.

Dalam Islam keuangan negara sudah diatur sedemikian rupa dalam Baitul mal (pos harta). Pemimpin Islam mempunyai kewenangan penuh dalam mengambil keputusan, terlebih saat terjadi wabah. Pemimpin Islam tegas dalam mengambil langkah upaya baik persiapan untuk menghadapi atau pun dalam menangani wabah.

Seperti keputusan untuk melakukan lockdown, sesuai dengan syariat Islam memerintahkan untuk memisahkan yang sakit dan orang yang sehat sehingga yang berada di luar wilayah yang terkena wabah akan tetap menjalankan aktivitasnya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda :
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari) 

Kalaupun terjadi kesulitan,  pemimpin Islam dapat meminta bantuan kepada wilayah yang melimpah dan mampu memberi bantuan. Maka dari itu kebutuhan pokok wilayah yang diisolasi dapat terpenuhi dari berbagai pos pendapatan negara.

Hanya dalam kekhalifahan Islamiyah kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi dan terbukti mampu menghasilkan pemimpin yang amanah dan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Seperti sosok khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab yang bertanggungjawab penuh atas keberlangsungan hidup rakyatnya, yang begitu menghargai nyawa rakyatnya termasuk nyawa hewan sekalipun dan takut akan pertanggungjawaban amanah yang dipegangnya serta tidak anti kritik, bahkan Umar tidak ragu meminta rakyat untuk menegur atau mengkritik jika dirinya berbuat kesalahan baik dalam perbuatan ataupun kebijakan yang diambilnya.
Wallahu a'lam bi-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post