DAMAI? NO WAY !

Oleh : Fitria A, S.Si

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan di tengah situasi penanganan penyebaran virus corona (Covid-19) yang belum lama ini baru genap dua bulan di Indonesia. Melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5), Jokowi meminta agar masyarakat untuk bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan. Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia itu harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan. Oleh sebab itu, dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini, masyarakat pun masih bisa beraktivitas meski ada penyekatan pada beberapa hal. (www.cnnindonesia.com, 09/05/2020).

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang, Bekasi, mengaku khawatir dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19 sampai vaksin untuk penyakit ini ditemukan.

“Kami was-was terhadap pernyataan tersebut, takutnya diartikan ya sudah kita terima saja,” ucap Ketua ARSSI cabang kota Bekasi, Dokter Eko S. Nugroho kepada wartawan, Senin, (11/5/2020). (www.kedaipena.com) .

Sementara, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk perang lawan Covid-19 saat Konferensi virtual Negara-negara G20. Belakangan, Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk berdamai dengan Covid-19 selama vaksinnya belum ditemukan.

Hidayat mengatakan pernyataan itu seharusnya dibarengi dengan kebijakan dan perintah kepada Kemenristek dan Kemenkes serta lembaga lainnya untuk lakukan koordinasi dan kerjasama agar segera temukan vaksin Covid-19. Serta mendukung anggaran untuk riset di Kemenristek, bukan malah memotongnya. Politikus PKS itu melihat pemerintah tidak serius memutus penyebaran Covid-19. Pasalnya, anggaran di Kemenristek tidak mengalami penambahan, bahkan dipotong besar-besaran. Padahal, riset sangat dibutuhkan untuk menemukan vaksin Covid-19 sebagai cara efektif untuk menyelesaikan darurat kesehatan bencana nasional Covid-19. (Tribunnews.com, 10/5/2020)
Tidak bisa dipungkiri bahwa Covid-19 ini telah memukul berbagai sendi kehidupan. Tidak hanya di bidang kesehatan yang harus memaksa semua negara yang terdampak untuk mengorbankan biaya untuk perawatan pasien, membuka Rumah Sakit- Rumah Sakit darurat, menambah tenaga medis hingga harus rela kehilangan sekian banyak tenaga medis karena terpapar virus yang mematikan ini.

Di bidang-bidang yang lain pun juga demikian. Berbagai departemen pemerintahan dikurangi anggarannya untuk penanganan Covid-19. Otomatis berbagai kegiatan terhambat. Terlebih lagi di bidang ekonomi. Beberapa pertokoan, restoran, dan cafe sepi pengunjung sehingga untuk operasional tidak bisa tertutupi dan kemudian harus menutup tokonya. Pekerja-pekerja informal, ojek online, angkutan umum dan yang lainnya pun mengeluhkan hal yang sama.

Semua pihak pasti sepakat jika pandemi ini harus segera diupayakan semaksimal mungkin agar berakhir. Perlu penanganan serius dan komprehensif. Upaya penanganan harus berpacu dengan cepatnya penyebaran virus. Bagaimana kemudian sedikit keterlambatan pengambilan keputusan mengakibatkan fatalnya pertambahan jumlah pasien positif. Sebagaimana di awal ditemukannya kasus positif di Jakarta, andaikan segera dilakukan lockdown hanya di Jakarta dan menutup pendatang dari luar Indonesia. Dan penduduk yang dilockdown kemudian dicukupi semua kebutuhan rakyat yang tidak bisa bekerja dan berpenghasilan, maka niscaya virus ini relatif tidak akan menyebar lebih luas hingga ke seluruh penjuru Indonesia. 

Semua pihak juga pasti sepakat baik itu yang terdampak parah atau ringan, bahwa kondisi ini amat sangat tidak nyaman. Lantas bagaimana mungkin kemudian kita harus berdamai dengan kondisi ini. Ajakan untuk berdamai dengan Covid 19 ini adalah diksi yang membingungkan dan menegaskan inkonsistensi kebijakan. Seruan agar ‘hidup damai’ dengan corona sebelum ditemukan vaksin menegaskan lepas tangan pemerintah untuk penanganan wabah. Tenaga medis dibiarkan maju ke medan perang dan rakyat dilepaskan ke rimba belantara tanpa perlindungan. 

Meskipun diksi itu kemudian dikonfirmasi bahwa maksudnya meski sedang masa pandemi, aktivitas ekonomi harus tetap berjalan. Bagaimana mungkin bisa berjalan jika kemudian beberapa tempat bekerja merupakan klaster penyebaran virus Corona ini dan aktivitas ekonomi di tempat tersebut .harus dihentikan. 

Demikianlah bagaimana seorang pemimpin setiap kebijakan dan statemennya akan menjadi perhatian berbagai pihak. Sehingga setiap kebijakan haruslah dipertimbangkan dengan matang dan setiap ucapan pun demikian. Sementara sebenarnya Islam mempunyai solusi yang komprehensif terhadap permasalahan ini.
Islam selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segenap persoalan. Islam sudah terlebih dahulu mengenalkan karantina untuk mengatasi wabah penyakit menular.

Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah saw. adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. 

Dengan demikian, metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasul saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah saw. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda yang artinya:
“Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu” (HR al-Bukhari).

Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan: Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Sedangkan untuk masalah ekonomi, Islam mewajibkan kepada penguasa untuk memberikan jaminan kebutuhan pokok warganya dengan memberikan jaminan orang per orang bias memenuhi kebutuhan pokoknya berupa makanan, pakaian dan rumah. Mekanisme nya adalah dengan mewajibkan kepada laki-laki yang mampu untuk bekerja. Bagi janda menjadi tanggungan walinya. Bagi fakir miskin ada kewajiban tetangga terdekat untuk memberikan bantuan. Namun jika tetangga juga tidak mampu, maka Negara wajib memberikan bantuan. Khalifah Umar bin Khattab pernah memanggul sendiri gandum untuk warganya yang kelaparan. Terlebih lagi di  masa pandemi semua terdampak dan tidak bisa saling membantu, maka Negara menjadi pemeran utama dalam pemenuhan kebutuhan pokok ini. Anggarannya darimana? Islam dengan system ekonomi yang menjamin Negara yang menerapkannya akan menjadi Negara yang kuat akan tidak kesulitan sama sekali untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Berbagai pemasukan Negara baik itu dari fai, ghanimah, sumberdaya alam, serta pemasukan halal lainnya sangatlah banyak.
Penguasa pun punya peran sentral untuk menjaga kesehatan warganya. Apalagi saat terjadi wabah penyakit menular. Tentu rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasanya. Penguasa tidak boleh abai atau bahkan mengeluarkan diksi-diksi yang membingungkan rakyatnya. Para penguasa Muslim pada masa lalu, seperti Rasulullah saw. dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., sebagaimana riwayat di atas, telah mencontohkan bagaimana seharusnya penguasa bertanggung jawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya, di antaranya dalam menghadapi wabah penyakit menular. 

Post a Comment

Previous Post Next Post