Oleh: Reka Nurul
(Pemerhati Kebijakan Pemerintah)
Di bulan Ramadhan yang penuh barokah ini, kita dikejutkan dengan berita beredarnya daging babi di kabupaten Bandung. Daging babi ini diolah dengan diwarnai dan dicampur daging sapi sehingga menjadi layaknya daging sapi.
Menurut keempat pelaku yang sudah tertangkap oleh pihak berwajib, mereka sudah mengedarkan olahan daging babi tersebut dari tahun lalu dan jumlah yang sudah diedarkan mencapai 63 ton daging babi yang diedarkan di tiga kecamatan di kabupaten Bandung. Menurut Kompes Pol. Hendra Kurniawan pelaku membeli daging sapi olahan dari kota Surakarta seharga Rp. 45.000, pelaku menjual kepada pengecer dengan harga Rp. 60.000, pengecer menjual dipasaran sekitar Rp.75.000-90.000. (pikiranrakyat.com, 05/05/2020).
Dari kejadian ini masyarakat menjadi kembali resah, pasalnya karena ini adalah kasus yang berulang. Sebelumnya sempat juga beredar berita adanya baso yang terbuat dari daging tikus, penyedap rasa yang mengandung unsur babi dan lain-lain. Padahal dalam UU No.33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal (JPH) pada pasal 26 bahwa pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Produk yang wajib mencantumkan "tidak halal" itu diantaranya daging babi dan atau hewan yang disembelih tidak sesuai syariat. (Republika.co.id 12/05/2020). Namun pada kenyataannya di lapangan jarang kita temui produk yang berlabel "tidak halal", besar kemungkinan hal ini belum dipraktekkan oleh produsen.
Untuk menenangkan kepanikan masyarakat khususnya di kabupaten Bandung, kepala Disperindag Kabupaten Bandung, Popi Hopipah, menuturkan kiat pertama adalah membedakan melalui harga yang ditawarkan. Daging sapi asli biasanya dijual kisaran harga Rp. 110.000 - 130.000. Daging sapi yang dijual murah mesti disikapi dengan hati-hati oleh pembeli, selanjutnya ada himbauan juga dari aparat kepolisian mengenai cara membedakan warna daging sapi asli dengan daging sapi oplosan. (Kumparan.com 17/05/2020).
Berbagai upaya dari aparat dan juga pemerintah nyatanya belum cukup, karena permasalahannya adalah pertama, secara umum dengan kemampuan membeli masyarakat yang rendah, masyarakat tetap memerlukan untuk membeli daging sapi, sehingga tidak dipungkiri masyarakat akan tetap memilih daging sapi yang lebih murah dengan beranggapan daging itu adalah daging sapi. Kedua, yaitu nyatanya membedakan daging sapi asli dengan "palsu" merupakan hal yang sulit apalagi untuk masyarakat awam, karena dari segi warna hampir mirip. Pedagang daging pun mengaku sulit membedakan daging sapi dan daging babi olahan, apalagi masyarakat biasa.
Masyarakat memerlukan jaminan kehalalan makanan yang beredar dipasaran, tidak cukup dengan hanya sekedar himbauan saja. Peredaran daging sapi harus diputuskan dari akarnya. Apabila kita telusuri, ternyata mengapa di Indonesia umumnya masih banyak beredar daging babi, itu karena adanya peternakan babi yang selalu produktif. Peternakan babi ini juga dalam pengawasan dinas peternakan, yang artinya mendapatkan ijin dari pemerintah. Menurut seorang pejabat BKP di pulau Bulan, Ervi, sejak Malaysia melakukan lockdown karena wabah Covid-19 permintaan babi ke Singapura meningkat sampai dua kali lipat. Jika biasanya perhari 700-900 ekor, sekarang menjadi 1400-1600 ekor. Pada akhir Maret 2020 kemarin perhari bisa mencapai 1.633 ekor dengan nilai sekitar 5,17 milyar. (Republika.co.id 03/04/2020). Dari fakta ini, tidak dipungkiri bahwa babi menjadi komoditi ekspor yang menggiurkan karena menjadi salah satu sumber pendapatan kas negara.
Sebagai negara mayoritas muslim terbesar, seharusnya peternakan babi yang jelas diharamkan oleh syariat Islam tidak diijinkan untuk beroperasi di negeri ini, meskipun hal itu sangat menguntungkan negara. Karena yang harus dilakukan negara adalah menjamin kehalalan produk yang beredar luas di masyarakat bukan mengambil keuntungan dari produk atau ekspor hewan yang haram. Namun sayang, kita hidup di jaman negara kapitalistik, dimana untung rugi menjadi pertimbangan.
Hal ini berbeda dengan sistem islam yang menjamin kehalalan makanan yang beredar dan juga menindak tegas bagi yang melanggar ketentuan negara, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang melakukan pemberantasan ternak babi milik kafir dzimmi dengan memusnahkan seluruh babi yang ada, apabila kafir dzimmi keberatan ternak babinya dimusnahkan, maka Khalifah Umar memberi kebijakan dengan memotong jizyah yang harus dibayarkan kepada negara. Kita melihat perbedaan yang kentara antara sistem saat ini dengan sistem islam dulu. Sungguh tegas pemimpin dalam sistem Islam dalam menjamin kehalalan makanan untuk masyarakat.
WaAllaahualam bishawaab.
Post a Comment