Oleh : Sartinah
Pegiat Literasi, Member AMK
Pandemi Covid-19 belum berakhir. Jumlah orang yang terinfeksi pun masih menunjukkan tren kenaikan di beberapa daerah. Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah guna memutus penyebaran Covid-19 tersebut. Mulai social distancing, cuci tangan, menggunakan masker, serta larangan mudik menjadi protokal kesehatan yang mesti ditaati masyarakat. Namun, di tengah kebijakan PSBB yang dilakukan saat ini, diksi membingungkan justru dilontarkan oleh presiden.
Melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5), Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan. Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan. Oleh sebab itu, dengan status PSBB saat ini, masyarakat pun masih bisa beraktivitas meski ada penyekatan pada beberapa hal. (cnnindonesia.com, 09/05/2020)
Anehnya, pernyataan tersebut justru bertolak belakang dengan ucapan presiden saat menghadiri pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu. Pada kesempatan tersebut, secara terbuka Jokowi mendorong agar pemimpin negara dalam G20 menguatkan kerja sama dalam melawan Covid-19. Terutama aktif dalam memimpin upaya penemuan antivirus dan obat Covid-19. Pada waktu itu presiden menggunakan bahasa "peperangan".
Diksi perang-damai tersebut tak pelak memantik kontroversi di tengah masyarakat. Meski sehari setelah pernyataan tersebut, pihak istana memang telah meluruskan maksud dari ucapan presiden tersebut. "Bahwa Covid itu ada dan kita berusaha agar Covid segera hilang. Tapi kita tidak boleh menjadi tidak produktif karena Covid, menjadikan ada penyesuaian dalam kehidupan," kata Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin kepada wartawan, Jumat.
Pernyataan inkonsisten memang kerap dilontarkan hingga memupus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Lihat saja dari pro-kontra 'mudik dan pulang kampung', hingga diksi 'perang-damai' dengan Corona. Semua itu seolah menunjukkan kegagapan pemerintah dalam menangani wabah.
Sebagaimana diungkapkan oleh Analis Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah yang menilai selama ini penanganan Covid-19 oleh pemerintah cenderung lemah dari sisi perencanaan. Hal itu kemudian membuat kesan yang memperlihatkan dalam penerapannya pemerintah sering membuat 'panic policy' untuk menangani Covid-19. Oleh karena itu, Trubus pun melihat pernyataan Jokowi kemarin bisa jadi menuju arah tersebut. (cnnindonesia.com, 9/5/2020)
Diksi 'berdamai' dengan Corona yang sudah terlanjur tersebar dan tak mungkin ditarik kembali, seharusnya dibarengi dengan langkah yang tepat dan benar. Dalam hal ini, pemerintah bisa mendorong Kemenristek dan Kemenkes serta lembaga lainnya untuk bekerja sama dalam rangka menemukan vaksin Covid-19. Serta tidak berpangku tangan dan menunggu negara lain menemukannya. Mirisnya, bukan langkah tersebut yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi malah memangkas anggaran Kemenristek sebesar 40 triliun.
Belum lagi, paramedis yang merupakan garda terdepan dalam penanganan Covid-19 seolah dibiarkan maju ke medan perang tanpa perlindungan maksimal. Karut-marutnya penyediaan APD untuk petugas medis menyiratkan aroma tak sedap dari kebijakan setengah hati penguasa. Pada akhirnya, diksi berdamai dengan Corona bak melepas rakyat ke rimba belantara tanpa perlindungan.
Sikap pemerintah yang terkesan membiarkan dan hanya pasrah menunggu hingga ditemukannya vaksin, menggambarkan watak asli penguasa dalam sistem kapitalisme. Sebab, karakter bawaan kapitalisme yang tergambar dari kebijakan penguasa, memang tak pernah serius memprioritaskan nyawa rakyatnya. Ekonomi dan segelintir elit kapitalislah yang selalu menjadi prioritas utama.
Padahal, Islam menempatkan seorang penguasa sebagai raa'in dan junnah. Sehingga setiap kebijakan yang diambil benar-benar demi mewujudkan kemaslahatan rakyat. Terlebih pada masa pandemi, nyawa dan keselamatan rakyat menjadi prioritas utama. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis:
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.)
Keyakinan bahwa jabatan merupakan amanah, akan menjadikan para penguasa benar-benar serius mengurusi rakyat, juga menjaga keselamatan rakyat jika terjadi wabah. Jika wabah menyerang, penguasa (khalifah) tak akan segan menjalankan kebijakan yang lahir dari syariat Islam, yakni lockdown. Meski demikian, rakyat tak lantas dibiarkan memikirkan nasibnya sendiri, tetapi dibarengi dengan menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat yang terdampak.
Tak sampai di situ, khalifah juga mengupayakan agar jumlah korban tak semakin banyak. Hal yang dilakukan adalah mencari bagaimana mekanisme penyebaran virus tersebut, hingga ditemukan upaya untuk mengantisipasi dan mencegah merebaknya virus. Tentu saja dengan antisipasi berbasis bukti. Sehingga dengan upaya tersebut, virus akan dapat ditangani. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. ketika terjadi wabah dalam satu wilayah. Maka, opsi yang bisa dilakukan adalah karantina sembari mengurus kebutuhan mereka.
Demikian seharusnya solusi yang diambil oleh penguasa untuk menyelamatkan nyawa dan menghadirkan ketenangan terhadap rakyat di tengah merebaknya pandemi. Bukan justru menyebar diksi yang akhirnya berujung kontroversi. Terlebih, diksi-diksi membingungkan tersebut tak melahirkan solusi hakiki.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment