BBM Gratis BBM Ideal


Goresan Pena Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

Harga BBM selalu mengalami pasang surut sesuai dengan kepentingan tertentu.   Ketika pasang, rakyat tercekik karena kenaikannya sering memicu kenaikan harga barang.

Alasan klasik yang sering dipakai dahulu adalah masalah subsidi. Karena harga BBM yang terlalu mahal menyebabkan BBM lebih dinikmati oleh orang-orang yang berduit banyak. Subsidi sering dianggap menjadi beban bagi negara.

Penghematan BBM bisa mencapai Rp.150 Triliun per tahunnya. Padahal survey pernah membuktikan bahwa jumlah pengguna kendaraan beroda dua atau empat didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.

Bisnis pun terganggu karena para pengusaha kecil harus mengurangi beban produksi dan distribusinya. Penghasilan pun berkurang, harga jualan dinaikan.

Yang bekerja di kantor menggunakan kendaraan pribadi juga harus menambah anggaran untuk beli BBM, belum lagi memikirkan mahalnya biaya pendidikan, kesehatan dan biaya hidup keluarga. Dahulu kalau BBM tak pernah dinaikan tentu ekonomi masyarakat akan lebih maju.

Sedangkan surutnya harga BBM lebih kepada pencitraan dan mendekati masa pemilu. Yang ingin terpilih kembali ingin menunjukan bahwa pada masanya harga BBM sering turun walau sebenarnya sering naik juga.

Maka lebih mengherankan lagi jika ada kenaikan harga BBM di saat pandemi Corona melanda negeri ini. Lebih miris lagi dilakukan ketika harga minyak bumi di bawah nol (negatif, di Amerika Serikat minus 36,73 dollar per barrel).

Amerika Serikat dan Malaysia misalnya melakukan penurunan harga BBM di negerinya. Lalu bagaimana di negeri nusantara, harga BBM tidak diturunkan padahal masyarakat lagi mengalami kesusahan.

Iuran BPJS yang mahal, naiknya TDL, ribuan tenaga kerja yang di PHK ditambah harga BBM yang tak diturunkan menambah beban hidup masyarakat. Keliru bila ada yang mengatakan bahwa masyarakat 'bersedekah' untuk pertamina. Pertamina memang bertugas agar BBM bisa terjangkau dengan harga yang murah.

Apakah masih mahalnya BBM untuk mendulang untung yang besar? Untuk menutup biaya produksi semata? Bagaimana transparansi penggunaan keuntungannya untuk kesejahteraan rakyat di masa pandemi ini?

Apakah tidak akan mengganggu stabilitas harga barang dan mempersulit para pengangguran dan orang miskin? Sudahkah masyarakat mendapatkan kemaslahatan secara luas dari masih mahalnya harga BBM ini?

Masalah BBM bisa diatasi dengan sistem Islam. BBM bisa jadi murah bahkan gratis. Karena BBM termasuk dalam kepemilikan umum yang harusnya bisa dinikmati secara gratis oleh seluruh masyarakat.

Jika pun ada biaya itu untuk menutupi biaya produksi dan bila dikormesialkan, keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat.

Biaya produksi dibebankan kepada SDA Indonesia yang melimpah ruah. Keuntungan dari privatisasi ratusan perusahaan kapitalis di seluruh wilayah Indonesia bisa untuk menopang biaya produksinya sehingga BBM jadi gratis. Kelebihan dari keuntungan untuk membuka pendidikan, kesehatan yang dan lapangan kerja yang luas.

Jangankan SDA, menurut Presiden Jokowi ada potensi Rp 11.000 Triliun uang negara yang di bawa lari keluar negeri. Belum lagi ditambah dengan ditangkapnya koruptor BLBI, Century, Jiwasraya, Asabri, Hambalang dan lain-lain. Diperkirakan bisa mencapai Rp. 4.000 Triliun. Yang jika ditotal adalah Rp.15.000 Triliun (jika dana korupsi tidak dianggap dibawa kabur ke luar negeri).

Maka sudah lebih dari cukup untuk membayar utang negara yang sempat Rp.6.000 Triliun dan menyokong biaya produksi BBM. Masyarakat aman tentram dan bisa lebih fokus kepada pengembangang bisnis dan kariernya. Semua itu bisa dilakukan bila cara pandang sekuler dalam ideologi kapitalisme ditinggalkan dan beralih kepada penerapan sistem Islam secara totalitas. []

Bumi Allah SWT, 9 Mei 2020

#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan

Post a Comment

Previous Post Next Post