Tuntunan Islam Mengatasi Hoaks Terkait Covid-19

Oleh : SUSANTIYAH
Muslimah Bangka Belitung

Bertambahnya korban pandemi Covid-19 dari hari ke hari, semakin menimbulkan ketakutan dan kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu indikatornya adalah mudahnya masyarakat termakan setiap informasi terkait Covid-19 yang beredar di sosial media seperti facebook, instagram, whastapp, dan sebagainya. Informasi tersebut tanpa melalui proses literasi, akurasi dan konfirmasi yang benar.

Suaramerdeka.com melansir pernyataan Direktur Jendral Informasi dan komunikasi Publik Kemen Kominko Widodo Muktiyo. Beliau  menyatakan bahwa mewabahnya Covid-19 hampir di seluruh dunia termasuk indonesia, memunculkan banyak berita simpang siur terutama di media sosial. Kemen Kominfo setidaknya mencatat ada 242 berita hoaks tentang virus itu yang berseliweran di berbagai platform media sosial per tanggal 17 Maret 2020.  

Berita itu meliputi asal muasal Covid-19, proses penularan Covid-19, cara-cara penyembuhan Covid-19 tapi belum uji klinis, mitos dan ramalan terkait Covid-19 dan lain sebagainya. Berita berseliweran terkait asal muasal Covid-19 misalnya Covid-19 senjata biologi yang bocor dari laboratorium dan sengaja diciptakan untuk “menyerang” negara atau etnis tertentu. Terkait proses penularan misalnya Covid-19  menular melalui ponsel buatan China, buah-buahan, pandangan mata. Terkait cara penyembuhan misalnya Covid-19 dapat diobati dengan bawang putih, berendam di air laut, dan  mandi air panas atau meminum alkohol. Terkait mitos dan ramalan misalnya arus angin tanggal 10 hingga 12 April  membawa wabah penyakit, anak-anak tidak dapat terinfeksi virus, Covid-19 berakhir saat musim panas dan lain sebagainya.

Direktur jenderal WHO Tedros Adhanom mengatakan bahwa dunia tidak hanya melawan pandemi tetapi juga infodemik (informasi keliru terkait Covid-19) (Liputan6.com, Maret 2020). Akibat mengkonsumsi berita hoaks, beban psikologis masyarakat bertambah. Timbul kekhawatiran yang berlebihan. Sehingga berdampak buruk pada kesehatan mental.  Nalar kritis dan rasionalitas masyarakatpun tersandera mengikuti narasi berita yang berseliweran. Yang jelas berita-berita hoaks tersebut sangat merugikan bagi pengkonsumsinya.

Berseliwerannya berita-berita hoaks tersebut semakin sulit terbendung.  Padahal pemerintah telah berupaya untuk mengatasi penyebaran berita-berita hoaks tersebut. Misalnya melalui kerjasama dengan berbagai media sosial seperti facebook, whatshapp, youtube, twitter agar dapat menurunkan konten-konten hoaks tersebut. Bahkan bekerjasama dengan aparat kepolisian untuk memberikan sanksi hukum baik pidana maupun materi bagi penyebar berita hoaks. Hukum ini merujuk pada pasal 28 ayat 1 UU ITE yang menyatakan “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik yang dapat diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1miliyar.

Menurut penulis berseliwerannya berita-berita hoaks tersebut, disebabkan beberapa faktor. Pertama rendahnya literasi media dari individu dalam masyarakat, menyebabkan dirinya mudah mempercayai sebuah informasi yang diterima tanpa melakukan verifikasi. Tidak bisa menyaring informasi yang diterimanya. Apalagi mencoba berpikir kritis dengan membandingkan setiap informasi yang diterimanya dengan informasi yang ada di berbagai media mainstream. Maka kecenderungannya mudah membagikan setiap informasi yang didapatkannya kepada orang lain. Tanpa mengetahui kebenaran dari sebuah informasi tersebut. 

Kedua lemahnya jurnalisme media. Terbukti dengan dimuatnya juga berita-berita hoaks di media. Hal ini terjadi karena media lebih mengedepankan kecepatan berita ketimbang akurasinya.
 
Apalagi munculnya media abal-abal. Media ini sama sekali tidak menerapkan standar jurnalisme. Keadaan ini tentu semakin memperburuk kualitas informasi yang tersebar di masyarakat. Di tengah kesimpangsiuran berita, seharusnya jurnalisme media tampil sebagai solusi dengan mengedepankan proses verifikasi, cek dan ricek fakta. Peran media profesional seharusnya memberikan pencerahan terhadap persoalan yang simpang siur di masyarakat.

Ketiga motif ekonomi. Penulis melihat ada “udang” dibalik massifnya peredaran berita hoaks. Ternyata dengan memproduksi berita hoaks bisa mendapatkan penghasilan yang dapat mendongkrak ekonomi. Ini dapat dilakukan oleh individu ataupun jurnalis media. Hal ini selaras dengan penjelasan pengamat budaya dan komunikasi digital Firman Kurniawan dari Universitas Indonesia. Beliau menyatakan bahwa informasi itu ibarat mata uang. Ketika informasi dipertukarkan akan memberikan nilai bagi pemiliknya (cnnindonesia.com, Maret 2020).

Hal yang wajar jika berita hoaks menjadi bisnis yang menggiurkan dalam sistem kapitalis seperti sekarang. Karena dalam sistem kapitalis mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya menjadi tujuan hidup. Letak kebahagiaan distandarkan pada keberadaan materi. Tanpa memperdulikan halal atau haram. Tanpa memperdulikan merugikan orang lain atau tidak, yang penting memberikan keuntungan pada diri pribadi.

Tuntunan Islam
Islam memberikan tuntunan bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah terhadap berbagai hal yang diperbuatnya. Mempercayai dan menyebarkan berita hoaks jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dalam jagad jurnalistik dikenal fakta sebagai bahan berita, tidak demikian halnya dalam pandangan Islam. Allah SWT telah mewanti-wanti umat Islam untuk tidak gegabah dalam membenarkan sebuah berita apalagi yang disampaikan oleh orang fasik. Dalilnya Firman allah SWT dalam QS Al Hujurat ayat 6, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Syeikh Thahair Ibn Asyur, ahli tafsir asal Tunisia dalam kitabnya berjudul tafsir at thohrir wa at-tanwir, memberikan sebuah penjelaskan terkait ayat di atas. Yaitu  menegaskan kepada umat Islam agar berhati-hati dalam menerima laporan atau berita seseorang yang tidak diketahui asal usulnya baik dalam ranah persaksian maupun dalam periwayatan. Beliau meminta untuk belajar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam mensikapi banjirnya berita dari berbagai media sosial. Agar selamat dari propaganda syetan dan setiap berita bernilai positif (menambahkan pengetahuan). Bila mendengar berita jangan langsung diviralkan, digali dulu (istinbath) kebenaran dan keakuratannya.

Tidak hanya dari sisi individu Muslim, tetapi negara dalam Islam berperan di garda terdepan dalam pengaturan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). TIK akan digunakan secara maksimal sebagai sarana untuk mencerdaskan masyarakat. Baik dalam bidang tsaqafah Islam maupun sains dan teknologi. Edukasi terkait TIK pada masyarakat oleh negara dilakukan melalui ranah formal seperti pendidikan ataupun nonformal. Semuanya dilakukan berdasarkan landasan ideologi Islam. 

Tanggung jawab negara dalam Islam melindungi masyarakat termasuk dari informasi hoaks. Setiap unsur bisnis atau keuntungan finansial harus disingkirkan apabila membahayakan dan merugikan masyarakat. Sanksi pidana berupa ta’zir diberlakukan bagi pembuat dan penyebar berita hoaks sesuai syari’at Islam. Melalui tuntunan Islam, masyarakat senantiasa mengkonsumsi informasi dan komunikasi yang bermanfaat baik bagi dunianya maupun akhiratnya.
Wallahu a’lam bish-shawabi.

Post a Comment

Previous Post Next Post