Oleh : Khya T. Yunia
Member Akademi Menulis Kreatif
Indonesia telah menjadi bagian dari negara-negara yang terdampak pandemi /corona. Jalan panjang pertempuran kita melawan corona dimulai saat pertama kali ditemukan kasus positif awal Maret lalu. Dan kini sebulan lebih berselang, jumlah pasien positif telah mengalami kenaikan eksponensial. Tercatat data per 15 April, pukul 16.38, telah ada 5.136 kasus positif corona di seluruh Indonesia. Ada 4.221 di antaranya dirawat di berbagai Rumah Sakit rujukan. Sementara sisanya menjalani isolasi mandiri.
Dengan jumlah pasien yang telah mencapai ribuan, dan masih terus mengalami kenaikan tiap harinya, peran fasilitas kesehatan dan tenaga medis menjadi sangat krusial. Para dokter, perawat, dan mereka yang bertugas di Rumah Sakit menjadi garda terdepan perlawanan terhadap virus penyebar Covid-19 itu.
Terlebih lagi mereka yang bekerja di ruang isolasi. Membutuhkan komitmen yang besar bagi mereka yang menjalani profesi ini. Bagaimana tidak, keharusan mereka berinteraksi dengan pasien positif corona membuat resiko mereka tertular virus pun amat besar. Tidak kurang tercatat 32 dokter dan 12 perawat yang telah meninggal karena terinfeksi virus yang telah menyebar ke 200 lebih negara di dunia tersebut. (katadata.co.id, 12/4/2020)
Ini tentu menjadi kehilangan besar. Dunia medis negeri ini pun berada dalam duka yang mendalam. Namun, kabar duka ini diperparah dengan kabar ditolaknya jenazah salah satu perawat korban Covid-19 ditolak oleh warga di sekitar area pemakaman. Bukan hanya itu, kabar tentang dikucilkannya para perawat dan dokter yang menangani Covid-19 pun ramai diberitakan oleh media.
Seperti yang dialami dokter dan perawat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Paramedis tersebut justru mendapat perlakuan tak menyenangkan karena tiba-tiba diusir dari kosan yang disewa. Mereka mendapat stigma negatif sebagai 'pembawa virus' yang akan dapat menularkan pada yang lain.
Keluarga pasien, juga mereka yang berstatus ODP (Orang Dalam Pengawasan) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) pun mendapat perlakuan serupa dari orang-orang di sekitarnya. Alih-alih mendapatkan dukungan, mereka justru dikucilkan.
Ketakutan masyarakat akan tertularnya Covid-19 telah membuat mereka lupa dengan kemanusiaannya. Jangankan berempati, mereka justru mendiskriminasi tanpa pertimbangan logis. Ketakutan akan tertular dari jenazah yang telah dimakamkan jelas tak masuk akal. Juga dari tenaga kesehatan yang menangani langsung pasien positif Covid-19 juga tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sayangnya kurangnya sosialisasi dan upaya memberikan pemahaman pada masyarakat menjadikan mereka bertindak gegabah. Virus yang berada pada orang meninggal tentu akan ikut mati. Sebab, virus membutuhkan inang untuk terus hidup dan mereplikasi diri. Terlebih pengurusan jenazah pasien Covid-19 pun telah melalui prosedur yang sangat ketat. Jenazah dibungkus plastik dan dimasukkan ke dalam peti yang disegel. Sehingga kemungkinan cairan tubuh jenazah keluar dan menginfeksi nyaris nol.
Begitu pun dengan para perawat dan dokter yang menangani pasien Covid-19. Mereka menerapkan protokol ketat saat menangani pasien. Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) menjadi keharusan. Mereka pun wajib mendekontaminasi tubuh mereka setiap kali akan masuk dan keluar ruang isolasi. Apalagi saat mereka selesai bekerja dan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Jelas mereka yang paling memahami resiko kontaminasi. Sehingga mereka pun akan sangat berhati-hati.
Penolakan dari masyarakat sebenarnya juga bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Minimnya informasi dan edukasi yang diberikan pada masyarakat membuat mereka lebih mudah terprovokasi. Dalam situasi ketakutan menghadapi wabah, hal itu memang sangat mungkin terjadi.
Terlebih faktanya memang ada puluhan dokter dan perawat yang akhirnya terinfeksi dan meninggal meski telah berupaya maksimal melindungi diri. Kita pun tahu bagaimana ramai diberitakan para tenaga kesehatan yang kekurangan APD dan bahkan ada yang harus memakai jas hujan plastik.
Apa yang terjadi sebenarnya adalah akibat dari kegagapan pemerintah dalam penanganan pandemi corona di negeri kita. Pemerintah yang semula pongah mengatakan virus corona tak akan sampai ke Indonesia menjadi gagap luar biasa saat pasien positif pertama terkonfirmasi. Kemudian disusul dengan rentetan kasus-kasus baru yang kini bahkan telah menembus jumlah 5 ribu lebih. Dengan jumlah korban meninggal yang bahkan langsung melejit ke peringkat pertama se-Asia Tenggara, wajar jika di masyarakat muncul ketakutan-ketakutan.
Pemerintah telah gagal menyiapkan negeri ini menghadapi wabah. Pemerintah pun telah abai dengan menolak tuntutan pelaksanaan lockdown demi menghentikan penyebaran virus. Belum lagi gagalnya pemerintah dalam menjamin keselamatan tenaga kesehatan dengan penyediaan APD yang memadai. Kegagalan berikutnya adalah gagalnya pemerintah mengedukasi masyarakat sehingga timbul sikap saling menzalimi di antara mereka.
Maka, yang zalim sesungguhnya adalah rezim yang tidak mampu menjaga nyawa warganya dengan penanganan wabah yang benar. Ini semakin menjadi bukti nyata kegagalan Pemerintah dalam mengurus urusan rakyatnya.
Hal ini menjadi niscaya saat rezim mengatur urusan dengan aturan manusia. Andai saja aturan Islam yang bersumber dari Allah Sang Pencipta yang diterapkan untuk mengurus urusan rakyat, niscaya akan lain cerita.
Pemerintah yang menerapkan aturan Islam akan menjadikan nyawa rakyat sebagai prioritas. Sehingga segala daya upaya akan dikerahkan demi menghentikan laju penyebaran wabah. Lockdown akan menjadi pilihan utama. Begitu pun pengerahan media dan tokoh umat untuk memberikan pemahaman yang shahih tentang wabah dan segala upaya penanganannya. Sehingga tidak akan terjadi salah kaprah, salah pemahaman hingga memimbulkan sikap saling menzalimi di antara masyarakat.
Ketakutan akan wabah pun akan dapat dihindarkan dengan memahami wabah sebagai qadha Allah dan besarnya imbalan bagi mereka yang dapat bersabar kala wabah. Bahkan dijanjikan pahala seperti pahala orang yang mati syahid.
Rasulullah saw dalam sabdanya telah menyampaikan, "...wabah thaun itu adzab yang Allah kirim kepada orang yang Dia kehendaki. Allah jadikan wabah sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidaklah seseorang yang di negerinya mewabah thaun lalu ia tetap berada di rumahnya dengan sabar dan berharap pahala, ia yakin bahwa tidak ada musibah yang menimpanya kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagi dirinya melainkan baginya pahala seperti pahala seorang syahid." (HR. al-Bukhari, al-Nasai, Ahmad. Lafadz ini milik Imam Ahmad)
Dengan demikian, kematian tidak akan disikapi dengan ketakutan yang berlebihan yang dapat menghilangkan pertimbangan rasional. Peran negara menjadi sangat penting sebagai decision and policy maker yang akan membuat situasi tetap terkendali meski di tengah situasi pandemi.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment