Oleh : Radhiatur Rasyidah, S.Pd.I Pemerhati Keluarga dan Generasi, Anggota AMK Kalsel
Hari Perempuan Internasional diperingati setiap 8 Maret. PBB, LSM dan Organisasi Perempuan sibuk memperingati International Womens Day (IWD) ini. Tuntutan Kesetaraan Gender menjadi tema di setiap perayaan IWD, begitu pula di tahun ini yang mengusung tema "Each For Equal".
2020, 25 tahun peringatan deklarasi Beijing yang dianggap sebagai solusi progresif dalam memajukan hak-hak perempuan dan mendudukkannya pada posisi setara dengan laki-laki.
Target kesetaraan gender 50:50 ala Barat (Kapitalisme) mendorong perempuan untuk mengejar ilusi keadilan. Perempuan terjebak pada problema dilematis yang tidak semestinya ada. Melepaskan kebahagiaan hakiki mereka sebagai seorang wanita, ibu atau istri yang memiliki peran sentral, strategis dan mulia bagi peradaban manusia." Ujar Dr.Ira Geraldina, Jakarta kepada Tim Muslimah News.
Ide kesetaraan gender yang katanya memanusiakan bahkan memuliakan perempuan, ternyata malah membuat perempuan terhina dan terlecehkan bak hewan di pinggir jalan.
Sangat berbeda dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Perempuan mulia ketika ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan Rasulullah menyampaikan bahwa Surga ada di telapak kaki ibu (yang notabene adalah seorang perempuan). Benarlah pula kalau "kedudukan" ibu lebih tinggi tiga tingkat dibanding ayah. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiyallahu'annhu, Rasulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kepada siapa saja dia harus berbakti.
Rasulullah pun menyebut nama Ibu sebanyak tiga kali, sementara ayah hanya satu kali.
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu (HR. Al Bukhari).
Ibu sudah mengandung kita dalam keadaan lelah yang bertambah-tambah. Melahirkan kita ke dunia dengan bertaruh jiwa dan raga, berharap syahid dihadapan Allah. Menyusui, membesarkan dan mendidik kita hingga menjadi orang yang berilmu dan bertakwa.
Namun, sayang seribu sayang, ibu yang seharusnya menjadi madrasatul ula (pendidik utama bagi anaknya), kini fitrah keibuannya sudah terenggut oleh aturan yang tak berpihak pada kemuliaan seorang ibu. Hingga mereka dengan terpaksa berjibaku dalam urusan-urusan publik, bekerja bak seorang tulang punggung membantu keuangan rumah tangganya.
Mengapa kondisi semacam ini senantiasa terjadi? Tidak lain karena aturan yang diterapkan adalah aturan kufur, sistem Kapitalis-Sekularis, yang jelas memisahkan agama dari kehidupan.
Sistem saat ini hanya memandang perempuan dari sudut pandang materi. Ia mulia dan berharga ketika berdayaguna, produktif dan mampu menghasilkan pundi-pundi keuangan bagi keluarga. Namun demikian, yang harus jadi perhatian, dalam sistem Kapitalis, perempuan justru dimiskinkan. Mereka diperlakukan bagai budak, disuruh ini itu demi kepuasan majikan.
Padahal sejatinya, kita semua (terutama perempuan) akan mulia ketika aturan Allah diterapkan di muka bumi ini. Kesejahteraan dan kemuliaan seorang ibu menjadi sebuah keniscayaan. Hanya Islam yang mampu memberikan penghargaan kepada seorang ibu berupa kemuliaan tertinggi.
Ibu mulia dengan mendidik anaknya, melayani suaminya, dan mengatur rumahnya.
Tidakkah kita merindukan masa dimana Islam mengatur setiap sendi kehidupan. Oleh karena itu, mari kita memantaskan diri untuk menjadi mulia dengan mengkaji Islam Kaffah dan berjuang untuk menerapkan aturan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment