Oleh: Putri Hanifah, C.NNLP
(Mahasiswi Sastra Arab Universitas Negeri Malang)
Hidup di Negara Indonesia adalah anugerah. Bagaimana tidak? Di Negeri ini tempatnya sumber daya alam melimpah, pariwisata megah, bahkan puluhan rempah-rempah yang katanya bisa menghalau wabah. Sampai Menkopolhukam mengatakan “Indonesia satu-satunya Negara besar yang tidak kena corona” 7/02/2020. Kemudian diperkuat dengan statement Menhub “Kita kebal corona karena doyan nasi kucing” 17/02/2020. Masih ditanggal yang sama Menkes kemudian menimpali: “Belum ada kasus positif berkat doa masyarakat” (Sumber: Perupa Data)
Belum berhenti sampai disitu, ternyata corona sempat dijadikan guyonan oleh salah satu anggota DPR “Corona: Komunitas Rondo Memesona” disambung dengan kelakar Ketua BKPM: “Virus corona tidak masuk Indonesia, karena izinnya susah!” Bahkan di Februari awal kemarin banyak netizen meminta pemerintah untuk sementara menolak kedatangan warga Cina ke Indonesia karena khawatir penularan virus corona. Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, dr. Achmad Yurianto, malah meyakinkan bahwa virus bisa dicegah tanpa harus ada penolakan. Gayung bersambut antar pejabat yang sempurna!
Selamat datang di Bulan Maret, virus kecil itu akhirnya sukses masuk Indonesia, tentu kita tidak lupa dengan tanggal 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan 2 kasus pertama yang terkonfirmasi corona. Belum genap dua minggu ternyata tanggal 14 Maret 2020 Presiden Indonesia mengumumkan wabah corona sebagai bencana Nasional. Dan tanggal 10 April hari ini kita sudah menyaksikan 3.512 saudari kita positif terinfeksi corona dan 306 orang meninggal dunia (itupun yang terliput media, bagaimana yang belum?) dan per 6 April 2020 kemarin belasan dokter meninggal dunia.
Kami sebagai mahasiswa menangis sejadi-jadinya, sebab tentu diantara ribuan orang yang terinfeksi atau diantara ratusan orang yang meninggal salah satunya adalah keluarga mereka. Kami semakin menangis lagi dengan sistem perkuliahan kami yang tidak tidak jelas akan dibawa kemana selama wabah berlangsung. Sebab kami selalu diberi tugas tanpa dijelaskan materi terlebih dahulu dalam kondisi kuota yang tak selalu ada dan harus disetor tepat waktu. Orang tua kami apalagi, mereka semakin menjerit sebab mereka harus tetap bekerja meski wabah sudah melanda. Apakah kalian tahu apa yang menjadi hujjah para orang tua? “Lebih baik mati karena corona daripada mati kelaparan di rumah.”
Apa kabar para pekerja harian? Yang setiap hari harus berjuang membanting tulang, para pelaku ojek online yang kredit motor padahal orderan semakin hari semakin sepi. Sudahlah jualan tidak laku, pulang sekolah anak merengek minta seluruh tugasnya dipandu oleh orang tua yang kebanyakan dari mereka awam akan teknologi baru. Sungguh, kami seperti anak ayam yang kehilangan induknya, bergerak bahu membahu sendiri, menggalang dana sendiri, menyalurkanya sendiri, menjadi autopilot. Tidak ada kepastian dari pemerintah langkah apa yang harus diambil.
Ketika ada opsi solusi sementara dari pemerintah daerah, usul ditolak dengan alasan “Lockdown adalah kebijakan pemerintah pusat. Tidak boleh diambil pemerintah daerah”. Sedangkan tanggal 22 Maret Presiden mengumumkan “Tidak menginginkan lockdown” dan hari ini kita menyaksikan pemerintah akhirnya tidak mengambil langkah lockdown sebab bila langkah ini diambil pemerintah harus menanggung seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia. Maka kebijakan yang dipilih adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Baru menjejaki minggu ke-3 Work Form Home, kami lagi-lagi dikejutkan dengan wacana “Perusahaan internet seperti Netflix, Zoom, Facebook dan Google harus membayar pajak digital pemerintah Indonesia. Bila tidak maka akses perusahaan ke pasar Indonesia akan diblokir. Hal ini berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan dalam rangka menghadapi ancaman virus corona.”
Ya Allah akhirnya benang-benang tadi menghantarkan satu pertanyaan besar kepada kami, sebenarnya “Apa hubungan antara rakyat dengan penguasa?” bukankah politik berarti mengurusi urusan rakyat? Mengapa di kala wabah seperti ini kami harus mengupayakan segala sesuatu secara mandiri tanpa bantuan Negara (autopilot). Dulu ketika kampanye, kami dirayu-rayu dengan segala iming-iming yang membolak-balikkan hati. Setelah terpilih? Kami ditelantarkan tak tau arah.
Betapa akhirnya hari ini kami menggarisbawahi bahwa Negara hari ini tidak mau rugi? Mengurusi rakyat berganti menjadi jual beli. Rakyat menjadi pembeli sedangkan Negara menjadi penjualnya. Wajar saja segala kebijakan yang pemerintah ambil tidak pernah memihak rakyat, sebab Negara amat hitung-hitungan dalam menyelamatkan nyawa rakyat. Maka bolehkah kami sebut bahwa apa-apa yang Negara terapkan hari ini merupakan wujud nyata dari Ideologi Kapitalisme yang mengarahkan manusia dalam setiap amal perbuatannya hanyalah untuk mendapat profit materi semata.
Kapitalisme memandang pajak adalah komponen utama dalam pemasukan Negara. Jadi jangan kaget bila baru tiga minggu work form home wacana perusahaan internet menjadi target. Sungguh kejam! Dalam kondisi wabah saja tega memungut pajak, bagaimana bila tidak wabah? Sistem Kapitalisme rentan sekali akan krisis, sebab Negara mengalami kekurangan pemasukan karena income Negara tidak benar-benar kembali untuk mensejahterakan rakyat. Sehingga solusinya ketika kepepet: Jual aset, menambah hutang atau me-restrukturisasai pajak menjadi pilihan.
Maka jangan kaget pula jika saat ini rakyat banyak yang kehilangan nyawanya. Mereka lebih memilih menyelamatkan ekonomi daripada nyawa rakyat. Padahal ekonomi yang terpuruk masih bisa kembali jika warganya sehat dan bisa menjalankan aktivitas. Sedangkan nyawa yang pisah dari jasad sudah tidak bisa dikembalikan lagi. Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang memandang nyawa sangatlah berharga, bahkan nyawa menduduki urutan nomor dua yang wajib dijaga. Sebab ini berkaitan dengan penjagaan terhadap kita untuk hidup sebagai manusia dan sebagai hambanya Allah.
Imam Asy-Syatibi merumuskan maqasidh syariah (tujuan diterapkannya syariah) dalam 5 hal: “Menjaga harta, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta.” Maka bila terdapat pilihan “Pilih harta atau nyawa” wajib bagi kita untuk memilih nyawa, sebab nyawa memasuki urutan nomor dua yang harus dijaga. Rasul bersabda: “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak (HR. Tirmidzi)”.
Berbeda dengan Sistem Islam (Khilafah) Rasulullah mengajarkan bahwa Negara Islam adalah pengurus dan pelayan rakyat. Merekalah yang melayani dan melindungi dengan segenap upaya dan sumber daya yang ada. Maka ketika terjadi wabah, khilafah tidak berfikir panjang untuk melakukan lockdown di daerah wabah. Masyarakatpun tidak akan khawatir, sebab meskipun tidak ada wabah, Negara bertanggungjawab penuh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum rakyat seperti membangun fasilitas kesehatan yang memadai, menggaji para tenaga kesehatan secara layak, menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan rumah sakit dengan ditopang sistem ekonomi Islam.
Keselamatan rakyat akan menjadi prioritas utama, terlebih ketika wabah seperti hari ini. Khilafah akan memberikan jaminan di daerah wabah, memasok kebutuhan logistik dan obat-obatan kepada mereka. Mereka di lockdown, agar daerah yang tidak terkena wabah dapat menjalankan aktivitas perekonomian mereka seperti biasanya. Oleh karena itu kesusahan rakyat dari wabah ini sebenarnya akan mudah diselesaikan ketika Islam diambil sebagai sistem kehidupan yang diterapkan secara praktis oleh Negara, yaitu Khilafah, mari turut mengambil bagian untuk mengembalikan kemuliaan sistem Islam itu. []
Post a Comment