Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Herd Immunity


Oleh : Alfiyah Kharomah, STr Batra
Praktisi Kesehatan, Founder Griya Sehat Alfa Syifa

Pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Opsi ini dipilih sebagai solusi mitigasi virus corona.

 Sebelumnya, presiden menetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat. Jika PSBB ini tidak berhasil, ke depannya akan digunakan darurat sipil, sebelum akhirnya kembali diklarifikasi. Seperti pernyataan sebelum-sebelumnya.


Artinya, pemerintah enggan mengambil kebijakan karantina, meskipun itu masih satu pembahasan dengan PSBB dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan yang ditandatangi oleh bapak Jokowi. Mengapa presiden melompat? Tidak mengambil kebijakan yang sebenarnya sudah diadvis banyak ahli, tenaga medis bahkan masyarakat sendiri. Tentu saja ini menimbulkan spekulasi, hitung-hitungan ekonomi apabila negara menetapkan isolasi. Apabila negara mengambil kebijakan lockdown, maka konsekuensinya adalah kewajiban memenuhi kebutuhan hakiki sipil bahkan ternak mereka yang masuk wilayah isolasi.
Meski menuai banyak kritikan, sedikit ada klarifikasi, pemerintah masih kukuh tegak berdiri tak mengambil kebijakan isolasi. Atau bahasa kekiniannya lock down atau karantina wilayah. Apakah benar karena timbangan kapital, tak mau memberi makan rakyat? Padahal itu tak lebih berat dari kasus jiwasraya. Atau anggaran pindah ibu kota. 


Sebelum presiden menetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat. Sempat santer, hipotesis beberapa pakar soal herd immunity. Tentu saja, isu itu berkembang pesat di tengah lambatnya penangan COVID-19. Wajar. Apalagi angka statistik kasus positif semakin eksponsif. Case fatality rate Corona sempat berlomba dengan Italy. Dan hari ini (1/4/2020), Indonesia mencapai angka 8,9% dari 1.528 kasus terkonfirmasi.

 Patut digarisbawahi ini hanya yang terkonfirmasi. Ini menjadikan Indonesia urutan kedua dalam hal CFR-nya. Tentu saja ini bukan perlombaan, ini adalah angka dimana bisa jadi mereka adalah tetangga kita, orang tua kita, adik kita, kakak kita atau anak kita.


Keengganan pemerintah melakukan lockdown dengan alasan perbedaan budaya dan kedisiplinan, membuat spekulasi, benarkah pemerintahan ini mau mengikuti jejak Belanda dalam mengatasi Pandemi COVID-19. Yakni Herd Immunity.
Pembatasan Sosial Berskala Besar tak cukup efisien untuk mencegah penyebaran virus ini. Bisa jadi hanya memperlambat. Memberikan ruang dan waktu bagi para tenaga kesehatan mempersiapkan diri. Terbukti, gelombang pemudik dari zona merah bahkan epicenter wabah, curi start pulang ke kampung mereka. 


Di Jawa Tengah saja, berdasarkan data, hingga 26 Maret 2020, ada sekitar 46.018 ribu warga dari berbagai provinsi yang pulang ke Jawa Tengah. Hasilnya, dalam tiga hari, 23-26 Maret 2020, terjadi peningkatan kasus COVID-19. Pasien positif melonjak dari 19 orang menjadi 40 orang (25/3/2020). Dari sekian tersebut, enam orang telah meninggal. Selain itu, orang dalam pemantauan (ODP) melonjak menjadi 3.638 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi 294 orang pada Kamis 26 Maret 2020. 


Tak salah jika para pakar epidemiologi menakar arah pemerintah membiarkan rakyatnya sembuh-sembuh sendiri dan memperoleh kekebalan. Bukankah menteri kesehatan sendiri yang mengatakan bahwa COVID-19 adalah penyakit self-limited disease?


Lalu apakah itu Herd immunity? yaitu situasi dimana populasi dari masyarakat yang memiliki kekebalan terhadap penyakit menular lebih banyak, sehingga tidak terjadi adanya penularan secara luas. Sederhananya, keadaan ketika sejumlah anggota kelompok tersebut (biasanya dalam persentase yang tinggi) imun dari sebuah penyakit, sehingga kemungkinan penyebaran virus dari orang ke orang dalam komunitas tersebut menjadi hampir 0. Hal ini dapat dicapai dengan imunitas alami atau vaksinasi.


Mengutip hitung-hitungan epidemiologis dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, misal di Jakarta, dengan penduduk 10 juta orang, akan ada 30 persen yang tertular. Itu berarti 3 juta orang akan sakit. Dengan fatality rate di Jakarta yang hampir mencapai 10 persen (di Jakarta, per 25/3, 472 orang positif dan 43 orang meninggal), akan ada 300 ribu orang tewas akibat COVID-19.


Padahal, diperlukan 60 persen anggota masyarakat yang imun virus corona untuk tercipta Herd Immunity. Pertanyaannya, Ada berapa banyak manusia yang akan dikorbankan hanya untuk sekedar mencapai Herd Immunity?


Tak habis pikir pemimpin negeri ini. Atau memang kesalahan fatal negara mengadopsi pemahaman kapitalisme radikal yang mengurat akar di kalangan elit pejabat pemerintahan. Pemahaman ini yang memberlakukan hukum rimba dan seleksi alam sebagai aturan mainnya. Siapa yang kuat dia yang menang. Serius, mau memperlakukan rakyat seperti ini? Ingat 10,3% penduduk Indonesia adalah lansia, 17.7% balita Indonesia memiliki masalah kekurangan gizi, 3,9% nya bergizi buruk. Jumlah penduduk miskin 25,14 juta orang, 9,41% dari penduduk Indonesia (2019). Mereka adalah orang-orang yang rentan komplikasi COVID-19. 


Mereka bukan angka statistik yang tiap hari diupdate. Mereka adalah manusia. Manusia yang harusnya dilindungi oleh negara. Manusia yang kelak akan menuntut pertanggung jawaban satu manusia bernama penguasa di hadapan Sang Maha Kuasa. Siapkah pemerintah menanggungnya?

Post a Comment

Previous Post Next Post