Pembahasan RUU Minerba Di Tengah Wabah

By : Syarifah Ashillah

Di saat badai Covid-19 terus mengganas, penyebaran yang makin meluas, korban tak hanya rakyat tapi juga tenaga medis, karena ketersediaan APD yang terbatas. DPR RI Bukannya mengambil langkah yang selaras agar Covid-19 cepat menghilang dan tak ada lagi yang tewas. Di tengah kondisi yang panas tak menyurutkan Komisi Hukum DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedari kemunculannya selalu menuai kontroversi. Pimpinan Komisi III yang mengawal bidang hukum di DPR pernah berujar bahwa wabah Corona tak akan membuat fungsi DPR berhenti untuk membahas sejumlah RUU.

Seperti RUU omnibus law cipta kerja (Cika) yang sejak awal kemunculannya tak pernah sepi dari penolakan. DPR RI akan membahas beberapa RUU. Seperti yang dilansir merdeka.com Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut ada empat RUU yang akan dibahas di tingkat I. RUU itu adalah RUU Minerba (merevisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009), RUU Daerah Kepulauan, RUU Perlindungan Data Pribadi, dan RUU Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama dalam Bidang Pertahanan. 

Sungguh aneh pasalnya DPR membahas RUU yang tidak bersinggungan langsung dengan kebutuhan masyarakat saat ini, seperti RUU minerba dan omnibus law CIKA, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan percepatan pembahasan RUU Minerba yang dilakukan DPR, tampak seperti upaya mengakomodir perpanjangan sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah dan akan berakhir dalam waktu dekat ini.(tempo.co) 

Hal ini benar karena Komisi VII DPR RI Sugeng Suprawoto yang mengesahkan Panja RUU Minerba menargetkan pekerjaan ini selesai Agustus 2020. Dia tak menampik jika pembentukan RUU Minerba ini karena banyak izin tambang pengusaha batu bara generasi pertama mau habis.(kumparan ,13/02/20)

RUU minerba sarat akan kepentingan korporasi misal dalam RUU tersebut tidak mengatur luas maksimal lahan yang dapat di kuasai perusahaan padahal dalam Pasal 62 UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba secara tegas membatasi luas lahan maksimal yaitu 15 ribu hektar.

Juga dalam RUU yang baru proses perizinan  lebih mudah dan cepat berbeda dengan mekanisme yang ada sekarang mengatur  perusahaan yang kontraknya habis baik itu PKP2B dan Kontrak Karya (KK) harus melalui berbagai macam proses, salah satunya penetapan kawasan pencadangan nasional Pertambangan prosedur ini nilai menyusahkan korporasi

Tak hanya itu RUU Minerba memberi insentif fiskal dan non fiskal bagi pemegang IUP yang membangun pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Kemudian mengurangi tanggung jawab perusahaan untuk melakukan rehabilitasi melalui peruntukkan lahan bekas tambang atau lubang tambang menjadi irigasi dan atau objek wisata.

Tapi tidak memberikan perlindungan bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Misal dalam Pasal 115A RUU Minerba melarang setiap orang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memenuhi syarat. Selain itu, Pasal 162 RUU Minerba mengancam pidana paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta rupiah bagi setiap orang yang merintangi kegiatan usaha pertambangan.

Apa yang dilakukan oleh DPR RI di tengah pandemi semakin menguatkan  DPR RI curi kesempatan dalam kesempitan karena ada pesanan dari kelompok lain yang mendesak mereka untuk menyelesaikan pembahasan secepatnya. Desakan pihak-pihak lain itu yang tampaknya membuat mereka terlihat memanfaatkan situasi pandemi ini untuk bisa menggolkan misi atas RUU itu. Kelompok lain adalah para korporasi. 
Bahkan Peneliti dari Auriga Nusantara Hendrik Siregar pun menduga percepatan pembahasan RUU Minerba merupakan bagian dari utang budi pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) kepada pengusaha yang kontrak pertambangannya akan segera habis.(katadata.co..id)

Inilah watak asli dari demokrasi di mana ada hubungan gelap antara penguasa dan pengusaha. Hubungan keduanya adalah simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan kedua belah pihak. Bukan rahasia lagi biaya demokrasi di negeri ini mahal. Maka calon kandidat butuh disokong dana yang besar maka pengusaha lah pilihan mereka. Yang ketika kandidat tadi berada di tampuk kekuasaan mereka harus membayar utang budi. Yaitu berupa kebijakan, kemudahan untuk beroperasi dan berinvestasi dan regulasi lainnya yang menguntungkan para korporasi. 
Maka tak heran jika kebijakan yang dilahirkan penguasa saat ini sarat akan kepentingan para pengusaha, termasuk RUU omnibus law CIKA. 

Penerapan sistem sekulerisme dalam suatu negara menghasilkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dan sistem ini begitu menonjol pada sistem ekonominya, perekonomian dimainkan oleh para kapital maka tak heran sistem inipun disebut sebagai sistem Kapitalisme. Pemimpin dalam demokrasi hanya berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam praktiknya, yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan. Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai negara.
Dominasi korporasi atas pemerintahan ini justru telah diungkap oleh Presiden AS ke-19, Rutherford B. Hayes, yang berkuasa dari tahun 1877 hingga 1881. Quote-nya tentang demokrasi demikian, “It is a government of corporations, by corporations, and for corporations.” . 

Jika dalam demokrasi-sekularisme DPR mempunyai hak legislatif yaitu membuat aturan yang aturan tersebut tak jarang menyengsarakan rakyat sarat akan pepesan (para Kapitalis). Berbeda dengan Islam, kedaulatan berada pada hukum Syara. Maka pemimpin (khalifah) hanya menjalankan aturan berdasarkan perintah Ilahi yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Termasuk menetapkan hukum bukan dari hasil pemikiran manusia yang terbatas tapi segala aturan berasal dari hukum-hukum Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-An'am Ayat 57”...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik."

Dan senantiasa menjadikan petunjuk Rasulullah melalui hadistnya sebagai pedoman  “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)

Proses penggalian hukum (istinbath) dilakukan oleh para Mujtahid dengan menggali Al-Qur'an, Sunnah, qiyas itjima sahabat. Tugas Khalifah adalah melegalisasi hukum yang akan di terapkan dalam negeri. Semua orang di dorong untuk melakukan penggalian hukum. Di dukung dengan sistem pendidikan yang baik sehingga lahir pemikir yang handal lagi mendalam yang tak hanya menguasai ilmu fiqih tapi juga mampu mendalami fakta dengan benar.

Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Maka jika ingin negeri ini ingin sejahtera dan adil maka tidak pilihan lain selain menenggakkan hukum-hukum Allah sehingga akan menjadi negeri yang baladatun tayyibatun warabulgaffur (negeri yang baik dan penuh pengampunan)
Surat Al-A’raf Ayat 96
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Post a Comment

Previous Post Next Post