Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis dan Aktivis, Member Akademi Menulis Kreatif
Napi yang dibebaskan dengan program asimilasi dan integrasi, membuat masyarakat terusik ketenangannya, menjadi was-was dan takut. Mengingat situasi serba sulit, bahan pangan mahal, sehingga daya beli masyarakat turun, lapangan pekerjaan tidak ada, bahkan banyak yang di PHK. Para napi yang dibebaskan dikhawatirkan akan kembali berbuat kejahatan.Ternyata benar adanya.
Belum genap sepekan sudah kembali ditangkap. Dengan
bermacam-macam kasus antara lain: mencuri di rumah warga, curanmor, penjambretan, kurir ganja, bahkan ada yang mengamuk dan berani melawan polisi. Tampaknya para napi tidak menghiraukan dan tidak takut ancaman jika berbuat kejahatan lagi.
Memprihatinkan, rasa takut dan miris semakin menjalar, menghinggapi dan mencekam masyarakat. Apalagi dengan berita tertangkapnya lima pemuda yang merupakan kelompok Anarcho Syndicalism. Tidak lama kemudian, polisi berhasil menangkap sepuluh orang lagi dari Malang, Jawa Timur. Sudah terungkap motifnya, ada dendam ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah. Mereka nekat membuat kerusuhan, dengan menghasut dan mengajak masyarakat untuk membuat keonaran dan kerusuhan dengan situasi yang ada saat ini, dengan menebar fitnah-fitnah berupa berita hoaks dan tulisan provokator. Mengancam dan menjarah toko-toko serta membunuh orang-orang kaya.(Dilansir oleh Vivanews. Sabtu, 11/4/2020)
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Hibnu Nugroho, menilai fenomena tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, dalam mengawasi para napi yang dibebaskan. Mestinya harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat, dengan menyiapkan sejumlah perangkat regulasi untuk mengeliminasi dampak kebijakan tersebut. Juga kegagalan itu sebagai akibat sistem pemidanaan yang tidak memberikan efek jera.
Sewaktu berada di dalam penjara, para napi tidak mendapatkan pembinaan dan perlakuan yang manusiawi. Masalah air, listrik dan kamar tidur menjadi masalah krusial. Bukan menjadi rahasia lagi, kamar yang ditempati disesuaikan dengan uang yang dikeluarkan. Wajar jika para napi koruptor yang punya duit banyak, bisa menempati kamar yang fasilitasnya seperti hotel berbintang lima, dan bisa jalan-jalan keluar penjara, masuk rumah makan menikmati makanan padang, bahkan bisa keluar daerah menonton pertandingan tinju dan lainnya.
Penjara bukan tempatnya para napi menjadi jera. Tapi, justru tempat melakukan transaksi narkoba. Dengan saling bertukar pengalaman atau bercerita sesama napi, membuat napi mendapat ilmu baru yang nantinya digunakan untuk melakukan kejahatan setelah keluar dari penjara. Sungguh ironi, banyaknya napi yang berulah lagi dan tingginya angka kriminalitas, membuktikan kemampuan pemerintah khususnya penegak hukum, gagal memberikan rasa aman kepada publik.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kemenhukam Sri Puguh Utami, jumlah napi di Indonesia mencapai 242.903 orang. Realitas ini membuktikan betapa merajalelanya kriminalitas. Semua itu menunjukkan eksistensi hukum Barat sekuler telah gagal memberikan keadilan dalam masyarakat dan gagal memanusiakan manusia.
Hal tersebut disebabkan karena negeri ini mengadopsi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum yang diambil pun masih warisan penjajah Belanda, bersumber pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Sudah pasti jauh dari rasa keadilan.
Bandingkan dengan jumlah napi di masa kekhilafahan Ustmani, selama kurun waktu 625 tahun, yang telah dipimpin oleh 38 khalifah, hanya ada 200 kasus tindak kriminalitas yang diajukan ke pengadilan. (Al-Waie No.113, Januari 2010)
Sungguh sangat kontras, karena hukum dalam khilafah dipandu oleh syariat Islam yang bersumber dari Allah. Yang Mahaadil dan Mahamengetahui akan ciptaan-Nya, sehingga sudah barang tentu memberikan rasa keadilan.
Sistem hukum pidana Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Oleh sebab itu, sanksi hukum dalam Islam sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa).
Zawajir (pencegahan), dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang ingin melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah. Sebagaimana firman Allah (QS. al-Baqarah [2]: 179)
وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa."
Adapun jawabir (penebusan dosa), jika sanksinya telah dilaksanakan, maka di akhirat tidak dihisab dan tidak dimintai pertanggungjawaban.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa semua perbuatan tercela disebut kejahatan dan harus dikenai sanksi.
Adapun bentuk sanksi hukum pidana Islam, adalah sebagai berikut:
1. Hudud
Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah. Termasuk hudud yaitu: Zina, liwath (homoseksual), mendatangi wanita pada duburnya, qadzaf (menuduh wanita baik-baik berbuat zina), murtad, pencurian, perampok, peminum khamr, pembegal, dan bughat (pemberontak). Contoh hukum had untuk pezina ghairu muhshan (belum menikah) dicambuk 100 (seratus) kali, pezina yang sedang dan pernah menikah sanksinya dirajam, yaitu ditanam dalam tanah setinggi dada, dilempari dengan batu berukuran sedang hingga meninggal dunia.
Sangsi hudud merupakan hak prerogatif Allah, karena itu tidak berlaku pemaafan, baik dari hakim maupun si pendakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 187)
2. Jinayah
Jinayah ditujukan atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Dalam hal sanksi ini ada hak manusia, artinya pemilik hak boleh memberikan ampunan/pemaafan, (QS. al-Baqarah [2]: 178).
Misal: untuk pembunuhan disengaja yaitu dengan qishash, atau sebesar 100 ekor unta, yang 40 ekornya unta sedang bunting.
3. Ta'zir
Adalah sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Asy-Syari'. Berlaku menerima pemaafan dan pengguguran oleh hakim. Bentuk kejahatannya: yaitu pelanggaran terhadap kehormatan (seperti perbuatan cabul), pelanggaran terhadap harga diri, perbuatan yang membahayakan akal, pelanggaran terhadap harta seperti: (penipuan, pengkhianatan amanah harta, penipuan dalam muamalah, pinjam tanpa izin), gangguan keamanan, perbuatan yang berhubungan dengan agama dan lainnya. Hukumannya diserahkan kepada penguasa/hakim. Pidananya boleh sama dengan sanksi dalam hudud dan jinayat atau lebih rendah.
4. Mukhalafat
Adalah sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang penguasa. Bentuk sanksi diserahkan kepada hakim (qadhi). Perintah menaati penguasa sangat jelas dalam (QS. an-Nisa' [4]: 59). Mukhalafat adalah sanksi atas kemaksiatan yang belum ditetapkan kadarnya oleh Asy-Syari'. Sehingga ada yang memasukkan ke dalam bab ta'zir.
Menurut Buku Sistem Sanksi Dalam Islam, menjelaskan bahwa penjara adalah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Atau tempat orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan serupa. Karena bersifat zawajir dan jawabir.
Di dalamnya harus ada pembinaan para napi, agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan.
Diberikan hak hidup sesuai syariat. Misalnya, makanan yang layak, tempat tidur terpisah, kamar mandi yang melindungi aurat dan menjaga pergaulan antar-napi.
Bahkan di masa khalifah Harun Al-Rasyid, para napi dibuatkan pakaian secara khusus. Pada musim panas bahannya dari katun dan pada musim dingin bahannya dari wol. Lebih dari itu secara berkala kesehatan napi juga diperiksa.
Membina napi dengan sepenuh hati, diharapkan setelah bebas dari penjara, ia kembali ke masyarakat akan bermanfaat untuk agamanya dan sesama manusia. Oleh sebab itu, tidak akan ada kejahatan yang terulang lagi.
Mengenai pembuktian (bayyinat) adalah semua yang bisa membuktikan sebuah dakwaan, merupakan hujjah. Bisa berupa pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan.
Adapun proses peradilan hanya sekali. Jadi dalam sistem Islam tidak mengenal upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Karena dengan pembuktian yang jelas dan legalitas, seorang hakim sangat sulit melakukan kesalahan dalam memutus perkara.
Demikianlah sistem peradilan dalam bingkai institusi khilafah telah terbukti berhasil memberikan rasa aman bagi seluruh rakyatnya selama 13 abad.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment