Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Masalah demi masalah terus terjadi di tengah pandemi. Memang begitu kentara terlihat, tidak siapnya pemerintah menghadapi dampak dari virus yang mematikan ini. Meski dipoles sedemikian rupa lewat berbagai berita di media, hingga sikap positif yang ditunjukkan oleh para punggawa negara serta jajarannya, tak bisa menutup mata dan lisan publik untuk mengoreksi setiap kebijakan mereka (MuslimahNews.com, 17 April 2020).
Kebijakan pemerintah yang menuai polemik masih tetap terus dijalankan. Setelah Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah penyebaran virus corona di penjara.
Sejak Kepmen tersebut diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi. Mempercepat pembebasan narapidana dan anak melalui crash program hak integrasi juga telah berjalan sejak tahun lalu.
Dasarnya tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 Tahun 2020, Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 Pk.01.04.04 Tahun 2020, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020. (nasional.okezone.com, 12/4/2020).
Pembebasan tersebut mempertimbangkan akan rawannya penyebaran Covid-19 di dalam lapas/rutan/LPKA di Indonesia yang notabenenya mengalami kelebihan penghuni. Namun perlu dipahami bahwa napi yang mendadak bebas itu tak ada jaminan bahwa mereka tak mengulangi tindak kejahatan lagi. Hal ini yang menjadi poin kekhawatiran masyarakat pasca napi bebas.
Terbukti, di berbagai daerah terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Memang Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah, sayangnya hal itu tak banyak memberi pengaruh besar bagi napi untuk menaati aturan tersebut.
Seperti yang terjadi di Surabaya, dua bandit jalanan kembali ditangkap polisi. Pasalnya dua residivis tersebut kembali menjambret setelah menghirup udara bebas pada tanggal 3 April 2020 dari Lapas Lamongan (news.detik.com, 11/4/2020).
Sementara di Bali, pria bernama Ikhlas (29) yang dibebaskan 2 April 2020, kembali ditangkap pada 7 April 2020 karena menerima paket ganja seberat 2 kg (kumparan.com, 9/4/2020).
Hal yang sama juga terjadi di Malang. Wakapolresta AKBP Setyo Koes mengatakan angka kejahatan jalanan alias 3C (Curas Curat Curanmor) semakin meningkat. Dalam sepekan saja sudah ada 11 kasus kejahatan yang dilaporkan ke Polresta Malang Kota.
Wakapolresta mengaku telah bersurat pada Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) RI untuk meminta data tembusan daftar para napi. Meminta Kemenkumham selektif untuk memberikan asimilasi bagi warga binaan. (radarmalang.jawapos,14/4/2020).
Salah kaprah pemerintah dalam mengambil kebijakan bebaskan para napi, karena bukan mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas tapi justru yang mengancam keamanan di tengah masyarakat.
Apakah ini yang disebut kebijakan yang manusiawi? Tidakkah keamanan masyarakat menjadi bagian yang dipertimbangkan oleh pemerintah? Sebenarnya dari mana ide membebaskan para napi ini muncul?
Lagi-lagi, setiap kebijakan di negeri ini memang tak bisa lepas dari pesanan sang ‘tuan’. Yasonna mengakui bahwa munculnya ide pembebasan napi didapatkan dari pesan Komisi Tinggi untuk HAM PBB, Michelle Bachelett, Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB yang merekomendasikan agar Indonesia membebaskan sejumlah napi yang tinggal di lapas dengan kapasitas terlalu banyak.
Ia menjelaskan bahwa pembebasan napi tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun seluruh dunia. Diantaranya, Iran, Polandia, Amerika, California, New York. Sepertinya hal itu menjadi sumber inspirasi pemerintah. Hingga akhirnya Yasonna membicarakan masalah tersebut dengan Presiden Jokowi.
Presiden pun mengaminkan dengan memutuskan pembebasan napi hanya untuk napi pidana umum karena kelebihan kapasitas dan antisipasi penyebaran Covid-19. Pernyataan tersebut dikatakan dalam rapat terbatas mendengar laporan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona, Senin (6/4/2020) (wartakota.tribunnews,10/4/2020)
Kebijakan pemerintah ini menuai kritik dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Hibnu Nugroho mengatakan pascanapi bebas, lapas tidak menyiapkan sistem kontrol para napi dan hanya sekadar membebaskan.
Hal ini yang dikhawatirkan, karena kondisi ekonomi yang sulit di tengah wabah corona, membuat sejumlah napi kembali nekat berulah. Kemudian masyarakat yang menjadi korban.
Ia tak ragu mengatakan bahwa ini menjadi bukti kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas dalam mengawasi para napi yang dibebaskan. Ditambah lagi gagalnya sistem pemidanaan Indonesia, padahal pemidanaan dalam rangka membuat efek jera, ada sesuatu yang perlu dievaluasi.
Hal yang tidak mungkin dengan kondisi 30 ribu lebih napi yang dibebaskan lapas mampu diawasi, sudah terbukti sekali lagi ini kegagalan pemerintah. Hibnu menilai Kemenkumham harus bertanggung jawab.
Tanggung jawab itu bisa dilakukan dengan menghentikan sementara program pembebasan napi, serta mengevaluasi sistem kontrol para napi yang seharusnya menjalani asimilasi di rumah.
Bahkan sebelum pandemi corona terjadi di negeri ini. Kondisi lapas sering terjadi kerusuhan karena bentrok antar para napi. Hal itu disebabkan tingkat kesenjangan sosial begitu tinggi. Jurang sosial antara yang kaya dengan yang miskin makin melebar dari hari ke hari. Kecemburaan sosial menjadi ancaman serius bagi keamanan di lapas.
Lantas, bagaimana mungkin pemerintah bisa memberikan rasa aman di tengah rakyat? Rasa aman di dalam lapas bagi para napi saja tidak terjamin. Bahkan pengamat masalah ketatanegaraan, Irman Putra Sidin berpendapat semakin negara membangun banyak lapas, membuktikan negara gagal melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Semakin banyak orang yang dijebloskan ke penjara, secara perlahan membuat seseorang membenci negara.
Wajarlah, jika para napi yang bebas karena program asimilasi tak menghiraukan ancaman yang diberikan pada mereka jika berbuat kejahatan lagi. Karena dalam lapas mereka tidak mendapatkan pembinaan yang manusiawi yang seharusnya didapatkan. Air, listrik, bahkan kamar yang mereka tempati disesuaikan dengan uang yang mereka keluarkan selama masa tahanan.
Publik semakin jelas melihat bobroknya sistem kapitalis yang dianut negeri ini. Yaitu ketidakmampuan negara mengurusi rakyat serta menjamin rasa aman dalam setiap kondisi. Apalagi dalam kondisi di tengah wabah. Setelah rakyat diminta jaga diri sendiri dari penyebaran virus, kini juga menjaga diri sendiri dari tindakan kriminal ulah napi yang dibebaskan.
Realitas merajalelanya kriminalitas menunjukkan bahwa eksistensi hukum barat telah gagal memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan telah gagal pula memanusiakan manusia. Aparat penegak hukum pun tidak sungguh-sungguh dan maksimal memberantas segala bentuk kejahatan. Walhasil, masyarakat bersikap apatis dengan pelaksanaan hukum di negeri ini.
Masyarakat menilai hukum yang ada tidak mampu menjadi terminal akhir untuk memperoleh keadilan dan rasa aman. Para napi pidana dibebaskan sementara para aktivis kritis kepada pemerintah ditangkap dan langsung dijadikan tersangka tanpa ada proses yang sesuai aturan. Bukankah hal itu membuat kita sangat prihatin?
Hal ini kontras tatkala hukum dipandu dengan syariat Islam. Dengan panduan syariat Islam, para pejabat pada masa Khilafah mempunyai sifat dan karakter baik. Di antaranya memberikan rasa aman kepada masyarakat. Ini merupakan salah satu tugas gubernur atau pejabat yang utama. Dalam merealisasikan hal ini, mereka harus melakukan beberapa hal. Salah satunya menerapkan hukum had atas orang-orang yang fasik dan berbuat zalim. Jika perbuatan mereka dibiarkan, maka akan membahayakan kehidupan manusia dan harta miliknya.
Dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam dijelaskan bahwa penjara ialah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat di mana orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Di dalamnya harus ada pembinaan kepada para napi agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan. Diberikan hak hidup sesuai syariat misalnya makanan yang layak, tempat tidur yang terpisah, serta kamar mandi yang tetap melindungi aurat dan menjaga pergaulan antarnapi.
Bahkan di masa Khalifah Harun al-Rasyid, para napi dibuatkan pakaian secara khusus. Jika musim panas tiba, dipakaikan pakaian yang terbuat dari katun, sedangkan pada musim dingin dibuatkan pakaian dari wol. Dan secara berkala, kesehatan para napi diperiksa. Hal-hal semacam ini diperbolehkan.
Jika kondisinya seperti di atas, barulah dapat disebut sebagai kebijakan yang manusiawi. Membina napi dengan sepenuh hati, setelah bebas dari penjara, ia kembali menjadi masyarakat yang dapat bermanfaat untuk agamanya dan sesama manusia. Takkan ada kejahatan yang terulang lagi.
Sementara negara – lewat pemimpinnya saat ini tak benar-benar memikirkan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Mereka mengkhianavti amanah rakyat. Kekuasaan yang diberikan pada mereka bukan perkara main-main. Seharusnya mereka mengingat sabda Rasulullah saw,
“Bagi setiap pengkhianat ada bendera di hari kiamat, ia akan diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya dari pemimpin masyarakat umum.” (HR Muslim)
Jangan korbankan keamanan rakyat demi kepentingan tertentu. Rakyat terus menerus hidup dalam kesulitan, sudah hidup tak tenang karena penyebaran virus jangan ditambah lagi dengan kejahatan ulah napi yang dibebaskan.
Post a Comment