Menakar Riayah Penguasa Ditengah Badai Corona

Oleh : Rani Imron Nuamid

Sungguh ironi, saat ini pandemi  virus corona yang melanda hampir seluruh negeri semakin menambah kelam bumi ini.  Kurang lebih tiga bulan, khususnya Indonesia mengalami situasi pandemi, entah sampai kapan badai ini akan berlalu.  

Senin (6/4/2020) Indonesia mencatat ada tambahan 11 kasus kematian akibat Virus Covid-19.  Jumlah ini menjadi rekor kasus kematian harian tertinggi di Indonesia sejak kasus pertama diumumkan. 

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan, jumlah pasien positif corona di Indonesia hingga Senin pukul 12.00 WIB tercatat sebanyak 2.491 kasus. Rinciannya, pasien positif corona yang sembuh sebanyak 192 orang. Sedangkan pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia mencapai 209 orang. (Suara.Com 6/4/2020).

Begitupun jumlah kematian dokter akibat virus corona di Indonesia meningkat dua kali lipat sejak pekan lalu. Reuters melaporkan, kasus kematian ini kemungkinan terjadi karena kurangnya peralatan pelindung di Indonesia dan ini memicu kritik dari berbagai kalangan.

"Tren (dokter sekarat) sedang naik sekarang," kata Halik Malik, Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia kepada Reuters.  Ia menambahkan, "Risiko pekerja medis terinfeksi selalu ada tetapi intinya adalah pekerja medis perlu dilindungi dengan cara apa pun."

Sejumlah kelompok hak asasi, termasuk Amnesty International, telah menyatakan keprihatinan atas tingginya proporsi kematian di kalangan pekerja medis.

"Kematian pekerja medis bukan hanya angka, tetapi alarm bagi negara untuk memperbaiki sistem kesehatan mereka dalam situasi darurat," kata salah satu kelompok hak asasi. (Suara. Com, Sabtu 4/4/2020).

Di lain pihak, dilansir dari media online Tempo.Co Jakarta, 7/4/2020, Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto, mengatakan Kementerian Kesehatan seharusnya fokus pada penanganan virus Corona di Indonesia. 

"Kementerian Kesehatan kan bertanggung jawab atas kesehatan. Kenapa diberi tanggung jawab begitu besar untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," kata Slamet saat dihubungi Tempo, Senin, 6 April 2020. 

Sebab, kata dia, PSBB membahas banyak aspek dan tak hanya urusan kesehatan saja. Slamet menilai saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kementerian Kesehatan.  Mulai dari rujukan pasien Corona ke rumah sakit yang masih kacau, proses tes swab yang masih lambat, hingga pengadaan alat kesehatan seperti ventilator dan alat pelindung diri (APD) yang masih minim.  Ia melihat seharusnya penetapan PSBB diserahkan kepada Menteri Koordinator.

Bagi rakyat dalam situasi apapun termasuk bencana, ketulusan pemimpin dalam meriayah sangatlah diharapkan sekali untuk menyelesaikan problematika yang dialami.  Jauh panggang dari api, seolah sibuk mengurusi, namun bentuk nyata pengurusaanya tak benar-benar dirasakan masyarakat. Betapa tidak, karut-marutnya negeri ini dengan bertambah signifikannya kasus yang terkena copid 19 dari hari ke hari, ruwetnya pengurusan administrasi  kesehatan dan jaring pengaman sosial yang dipertanyakan keefektifannya, serta tarik ulur kebijakan, minimnya alat pelindung kesehatan, beban tugas yang tidak jelas dan cenderung overlaping, ditambah kondisi ekonomi yang semakin terpuruk membuktikan bagaimana saat ini kerja rezim.   

Penguasa layaknya boneka, otoritasnya sebagai penguasa tak berfungsi dengan baik, kala kebijakan yang dibuat tidak memihak pada kepentingan rakyat. Disaat rakyat membutuhkan pelindung, pengurus dan penjaganya dari segenap bahaya, baik bahaya teramcamnya keamanan, kesehatan, pangan maupun hajat hidup lainnya yang tak tercukupi dan berimbas pada kelaparan bahkan hilangnya nyawa, tidak  sungguh-sungguh menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. 

Semakin jelas dari beberapa kebijakan yang diambil penguasa ketika pandemi mulai melanda.  Dari awal ketika negara tetangga telah menunjukkan sinyal  bahaya, penguasa belum tanggap, bersikap dan mengambil tindakan antisipasi pencegahan.  Bukannya mengambil pelajaran, rezim malah sibuk dengan proyek pindah ibukota, membuka lebar masuknya warga negara asing ke wilayah Indonesia, promosi pariwisata, ekspor APD, dan baru-baru ini alih-alih memutus mata rantai penyebaran, namun tidak melarang mudik pun menjadi salah satu opsi.  Belum selesai, kebijakan pembebasan 35.000 lebih narapidana pun dilakukan atas dalih penanggulangan wabah.  Dimana konsekuensi dari kebijakan yang diambil yang katanya memutus mata rantai penyebaran? sungguh kebijakan yang inkonsisten.  

Sedangkan untuk pemenuhan hajat hidup rakyat, masih menjadi harapan yang tak pasti .  Ditambah lagi edukasi tentang ancaman wabah itu sendiri dan bagaimana mengantisipasinya sangatlah minim.  Ini adalah semua bukti ketidakpedulian, gagap dan abainya penguasa dalam menangani bencana. 

Belum lagi kebijakan anti lockdown yang ditetapkan penguasa menjadi tanda tanya besar dan keraguan atas legitimasi penguasa.  Penguasa lebih memilih langkah kebijakan social distancing, physical distancing kemudian sempat berucap darurat sipil, lalu diralat menjadi darurat kesehatan dan sampai akhirnya  berubah pada kebijakan Pembatasan  Sosial Berskala Besar(PSBB). 

Tak hayal sejumlah kepala daerah mengambil langkah berani. Ketidaktegasan pemerintah pusat dinilai menjadi penyebab mereka mengambil inisiatif menerapkan local lockdown ataupun karantina wilayah. Meski hakikinya kewenangan itu ada di pemerintah pusat dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah sebagaimana tercantum dalam pasal 53-55 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Namun pemerintah pusat masih tetap dalam pilihan untuk tidak mengambil kebijakan karantina wilayah.  Diduga karantina wilayah tidak menjadi opsi kebijakan karena pemerintah harus menanggung biaya kebutuhan pokok masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tersebut. Belum lagi, banyak perusahaan-perusahaan yang akan berhenti beroperasi.

Sikap penguasa sangatlah jelas menggambarkan bagaimana wajah demokrasi sekuler kapitalisme yang dianut negeri ini.  Plinplan dalam mengambil kebijakan, pelayanan yang tidak dirasakan tulus, menimbang untung rugi berdasar kepentingan pribadi atau kelompok tertentu bukan murni kepentingan rakyat.  Hasilnya penanganan yang parsial tak tuntas dan tak tepat pada akar masalah, cenderung diskriminatif, terutama jauh dari pendekatan spriritual, mengarah pada penyelesaian yang semu,  basa-basi, jauh dari menaruh harapan pasti. 

Berbanding terbalik halnya periayahan dalam Sistem Islam.  Harapan akan solusi yang hakiki dan tentunya tepat  pada akar masalahnya adalah suatu kepastian atau keniscayaan.  Karena sistem yang berasal dari yang Maha Pencipta sekaligus MahaPengatur, Allah SWT, adalah aturan  yang sempurna dan paripurna. 
Robb semesta alam telah mengatur alam semesta  beserta isinya dalam petunjuk  yang jelas,  Al quran dan telah dicontohkan oleh utusan yang mulia Rosulullah  Muhammah SAW dan para sahabat beliau. 

Dalam Islam, seorang kholifah akan bertanggung jawab atas urusan rakyatnya:
Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

"Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim].

Bagaimanapun kondisi yang ada dan apapun yang terjadi pada rakyatnya,  pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah.  Periayahan dalam Sistem Islam dilaksanakan atas kesadaran yang penuh akan hubungan dengan Allah SWT.  Syariat Islam adalah sebagai asas dalam menentukan setiap kebijakan yang diambil.

Telah tertulis dalam sejarah Peradaban Islam yang gemilang, karantina wilayah atau lockdown adalah syariat yang sejak dahulu Rosulullah dan para sahabat contohkan.
Jika mengaku beriman,  tentunya akan mengikuti setiap apa yang Allah dan rosulNya  perintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang. Termasuk ketika wabah melanda , syariat telah memberikan petunjuk yang jelas dalam mengatasinya. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Tha'un (penyakit menular/wabah kolera) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya." (HR. Bukhari Muslim). 

Dalam setiap kondisi, umat Islam tidak boleh mengambil sikap membahayakan diri sendiri dan orang lain. Untuk itu langkah atau kebijakan yang diambil harus benar-benar efektif dan efisien, memikirkan kepentingan  rakyat.   Rakyat jangan sampai terbebani atau bahkan berujung pada hal yang membahayakannya, hal itu sesuai anjuran Rasulullah:

Dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Siapapun yang membuat suatu bahaya maka Allah akan membalasnya, dan siapapun membuat  kesulitan atas orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.” (HR. Malik,Daruquthni, Hakim dan Baihaqi).

Kebijakan yang diambil tidak boleh menyusahkan rakyat, termasuk tenaga medis yang berada digaris terdepan melawan serangan virus copid 19 langsung.  Semua Kebutuhanya dalam berperang haruslah terpenuhi oleh negara. Negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya selama masa karantina wilayah.  Itu semua akan bisa terjadi dalam sistem kepemimpinan islam.

Sistem Islam akan menjaga agama, kehormatan, jiwa, harta dan keamanan seluruh umat manusia melalui terealisasinya aturan islam  secara kaffah.  Nyawa begitu berharga  dalam Islam,terkait hal tersebut, Allah berfirman dalam TQS Al Maidah: 32

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Terbunuhnya satu nyawa manusia bukan hak dan karena abainya mengurusi urusan umat manusia,  apalagi tidak mengambil kebijakan yang berlandaskan pada syariat Allah, akan dipertanggungjawabkan  dihadapan Allah kelak. 

Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post