Membebaskan Napi Kala Wabah, Penguasa Bertindak Gegabah

Oleh: Anggun Permatasari


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengeluarkan kebijakan tentang pengeluaran dan pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi. Jumlah narapidana yang dibebaskan mencapai sekitar 30 ribu orang di seluruh Indonesia.

Dilansir dari CNNIndonesia.com., "Langkah tersebut sebagai upaya penyelamatan narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dari infeksi virus corona (Covid-19). Keputusan tersebut mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan 30/3/2020.

Sejumlah pihak sangat menyesalkan sikap pemerintah. Pemerintah terkesan mencari celah di tengah wabah untuk meringankan para koruptor dari jerat hukum. Melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan memungkinkan tahanan kasus KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) bisa menghirup udara bebas.

Meskipun belakangan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang memunculkan wacana tersebut untuk pertama kali, telah mengklarifikasi hal itu. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai, Yasonna sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut. (Kompas.com) 

Sementara Tirto.id., mengabarkan bahwa Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI mengklaim telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga Rp260 miliar.

Upaya Menkumham dalam membantu negara menangani pandemi Covid 19 dinilai tidak tepat. Sejumlah pakar bersuara memberi sinyal tidak sejalan dengan keputusan itu. Polemik juga muncul di kalangan masyarakat karena langkah tersebut justru menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Sebenarnya yang berwenang cukup memberlakukan aturan ketat berkenaan dengan kunjungan Narapidana. Atau meniadakan untuk sementara waktu kiranya sudah bisa mencegah penyebaran Covid 19 di lingkungan Lapas. Wilayah lapas dan sekitarnya dibersihkan secara berkala dengan desinfektan.

Para sipir serta petugas yang bersinggungan langsung dengan Napi diimbau untuk social distancing dan mengenakan perlindungan seperti masker. Tentunya sosialisasi mengenai Covid 19, cara pencegahan dan tata cara hidup bersih bagi para Napi di Lapas sudah sangat membantu menghambat meluasnya dampak Covid 19.

Watak kapitalisme sangat kentara pada keputusan ini. Penguasa masih mengedepankan untung-rugi untuk keselamatan rakyatnya sendiri. Dengan dalih penghematan anggaran penguasa membuat kebijakan "ngawur". 

Padahal, akibat Covid 19 pabrik-pabrik, perusahaan dan toko-toko banyak yang gulung tikar. Dengan dibebaskannya Napi tentunya akan semakin menambah masalah karena pemerintah belum memberikan jaminan bagaimana Napi membiayai hidup dan keluarganya di luar Lapas.

Pastinya, kebijakan ini justru akan memunculkan peluang lonjakan angka kriminalitas  yang mungkin dilakukan mantan Napi di tengah kondisi ekonomi yang semakin terpuruk. Fakta tersebut menunjukkan bukti tiadanya keseriusan pemerintah atasi masalah kriminalitas khususnya korupsi.

Narapidana yang berusia lanjut rentan tertular Covid 19 ketika keluar dan berbaur bersama keluarga dan lingkungannya. Bisa dipastikan sebaran Covid 19 tidak terbendung dan semakin meluas. 

Seperti itulah gambaran hukum di alam sistem sekuler demokrasi kapitalis. Hukum bisa diutak-utik sesuai keinginan penguasa tanpa menimbang dampak jangka panjang. Kebijakan yang dilahirkan bukan menyelesaikan masalah tapi justru menimbulkan masalah baru yang membuat tatanan kehidupan semakin karut-marut. 

Sangat berbeda dengan cara Islam mengatasi masalah secara sempurna tanpa melahirkan masalah baru. Hukum Islam merupakan aturan yang bersifat preventif dan komprehensif. Dengan seperangkat hukum yang berasal dari Allah Swt. Sang Pencipta alam semesta, syariat Islam adalah solusi yang sempurna dan paripurna bagi kesejahteraan manusia dan alam semesta.

Dalam syariat islam dikenal uqubat (sistem sanksi) yang meliputi hudud, jinayat, takzir dan mukholafat. Hudud merupakan sistem sanksi yang menjadi hak Allah atas sejumlah pelanggaran tertentu. Sangsi bagi perzinaan, murtad, pencurian, dan pembegal jalanan menjadi cakupan hudud. Jenis sangsinya ditentukan oleh Allah dan RasulNya.

Perbuatan zina yang dilakukan oleh pemuda yang berstatus perjaka dan perawan, Allah Swt. berfirman yang artinya: "Perempuan dan laki - laki yang berzina, maka cambuklah setiap dari mereka sebanyak 100 kali cambukan" (TQS An-Nur ayat 2).

Jinayat adalah penganiayaan terhadap sesama manusia. Contohnya: perbuatan melukai orang lain, pencideraan fisik dan pembunuhan. Sangsinya adalah berupa hukum qishosh (hukum balas). Keras dan tegasnya sanksi dalam perkara jinayat ini demi tujuan untuk melindungi jiwa dan nyawa manusia.

Takzir ialah sistem sanksi untuk pelanggaran di luar hudud dan jinayat. Bentuk sangsinya menjadi hak para penguasa untuk menentukan hukumannya. Sebagai contoh sangsi bagi seorang muslim yang tidak mengerjakan sholat.

Adapun mukholafat merupakan sistem sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran aturan administratif kemasyarakatan dan kenegaraan. Sangsinya juga menjadi hak penguasa. Contohnya sangsi bagi pelanggaran aturan lalu lintas di jalan raya.

Dengan seperangkat hukum yang bersifat pencegahan tersebut pastinya akan membuat orang berpikir seribu kali untuk melakukan perbuatan tercela. Dan semua itu semata-mata untuk menjaga manusia agar tidak terjerumus pada jurang kehinaan.

Daulah Islam menjaga atmosfer kehidupan yang kondusif. Penguasa memberikan fasilitas memadai bagi rakyatnya seperti kesehatan dan pendidikan berkualitas gratis dan dibukanya lapangan pekerjaan bagi kaum pria. Daulah Islam juga menerapkan langkah karantina/lockdown ketika terjadi wabah.

Oleh sebab itu, semua masalah yang terjadi saat ini akan selesai tuntas apabila kembali pada aturan Illahi Rabbi. Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post