Oleh: Desi Wulan Sari
(Revowriter Bogor)
Guru, sejatinya seorang guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan seorang anak yang berada pada jalur formal (sekolah) ataupun informal (kursus, workshop, pengajian, etika, agama, dll). Guru teladan adalah yang mencintai dedikasinya.
Guru semestinya adalah seorang yang dihornati, disegani, dipatuhi, dalam hal keilmuan dan haruslah seorang pribadi yang bertakwa. Sehingga orang tua manapun tidak akan ada yang menolak saat anaknya dititipkan di sekoah atau tempat belajar yang memiliki karakter guru seperti ini.
Kisah sedih profesi guru dari tahun ke tahun selalu nenjadi momok bagi seseorang yang memiliki jiwa pendidik, dan dedikasi tinggi atas profesi ini. Betapa tidak, profesi mulia yang menjadi cikal bakal pembentuk generasi penerus bangsa selalu jauh dari kata sejahtera. Seakan-akan stigma seorang guru hanyalah profesi rendah, hidup sangat sederhana bahkan siap serba kekurangan.
Melihat kondisi Indonesia dengan rakyatnya yang sedang terpuruk secara ekonomi, sangat prihatin melihat dengan mudahnya pemimpin Kita mengeluarkan uang yang tidak sedikit dari anggaran negara.
Seperti halnya Staf khusus Milenial sedang menjadi perdebatan di masyarakat. Pasalnya Presiden terpilih saat ini dianggap terlalu banyak melakukan penggemukan posisi dalam kabinetnya. Sebelumnya penambahan wakil menteri di setiap kementrian dianggap hanya sebagai pembagian rata kursi dalam kepartaian yang telah mendukung serta mensukseskan pemilihan presiden saat pilpres lalu. Dan baru-baru ini kembali melakukan penambahan jabatan baru dalam kabinetnya yaitu staf khusus Milenial yang juga dianggap tidak urgensi dalam pembentukannya.
Pasalnya staf khusus Milenial dikabarkan mendapat gaji 51 juta sebulan. Berdasarkan beleid yang diterbitkan jokowi pada 2015 (TribunNews.com, 23/11/2019).
Padahal masyarakat dan tokoh banyak menilai penunjukan ini belum diperlukan. Alangkah baiknya jika dana atas gaji para milenial yang ditunjuk tersebut dialokasikan kepada rakyat yang lebih membutuhkan, seperti guru homorer Samiyati di Kabupaten Ende, Pulau Flores NTT. yang belum digaji selama 11 bulan. Innalillahi... (kompas.com, 22/11/2019).
Entah bagaimana perasaan rakyat saat membandingkan perbedaan ekstrim yang tidak manusiawi tersebut. Seakan-akan pemimpin tidak memiliki simpati dan empati terhadap kesulitan rakyatnya yang masih penuh penderitaan.
Alih-alih mendapatkan bantuan diluar gaji dari pemerintah, ibu Samiyati justru belum dibayar gajinya selama 11 bulan, Sumiyati sendiri termasuk pengajar GTT (Guru Tidak Tetap) bahkan dihapuskan namanya dari bantuan Biaya Operasional Sekolah Daerah ( Bosda) di tahun 2019. Padahal Di tahun sebelumnya, 2018 ia mendapatkan dana Bosda selama empat bulan saja. Segelintir nilai bantuan tersebut hanya sebesar 700 ribu / bulan. Namun baginya uang dengan jumlah seperti itu sangat luar biasa besarnya untuk bertahan hidup.
Ingin ditambah seperti apa lagi penderitaan rakyat dengan kesulitan ekonomi yang memprihatinkan. Bahkan bagi rakyat seperti halnya ibu Samiyati, ia telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran atas pengabdiannya pada negara, seorang guru yang tidak menerima gaji selama 11 bulan. Tidak peduli banyak orang yang mengatakan bagaimana sulitnya prosedur pemerintah untuk mengeluarkan gaji atas hak Samiyati yang harus diterimanya. Itu bukan alasan menunda gaji guru seperti Ibu Samiyati.
Baru satu contoh Samiyati yang terzalimi haknya, bagaimana dengan Samiyati lainnya yang menunggu hak nya hanya untuk makan sehari-hari. Namun dipersulit dengan birokrasi yang tidak ada ujungnya. Seperti inilah wajah kapitalis menggerogoti rakyat kecil. Dimana letak keadilan? Dimana sila kelima yang diamalkan oleh para penguasa yang cinta habis-habisan dengan Pancasila? Lalu bagaimana dengan pekerja pembantu Presiden milenial yang digaji 51 juta tanpa harus bekerja setiap hari? Bagaimana tidak menangis melihat ketidakadilan kontras seperti ini. Kemana pemimpin adil dapat dicari hingga tak satupun lagi rakyat yang harus memegang perutnya karena kelaparan akibat tidak punya uang. Miris luar biasa.
Jangan buat ibu Samiyati terus bermimpi untuk bisa mensejahterakan diri. Buatlah guruku ini Mewujudkan mimpinya menjadi seorang guru mengabdikan diri pada masyarakat dan negara sebagai pendidik anak bangsa, yang diberi jaminan hidup atas kebutuhan sehari-hari, tempat tinggal layak dan penghargaan yang pantas diterima guruku atas pengorbanannya.
Sejatinya pemimpin adalah pelindung rakyat. Pemimpin amanah memiliki misi dan visi memakmurkan rakyat tanpa terkecuali. Sayyidina Umar bin Khatab saat memerintah dan menjadi khalifah saat itu tidak pernah membiarkan sediitpun rakyatnya mengalami penderitaan. Ia tidak pernah membiarkan rakyatnya kelaparan. Bahkan dikisahkan beliau pernah membawa gandum dari gudang negara dan menggotong sendiri gandum tersebut untuk diberikan pada seorang wanita dan anaknya yang sedang menahan lapar dengan memasak air dan batu dalam tungkunya. Rasa takut tidak mampu menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin, membuat dirinya selalu turun ke jalan dan pelosok untuk melihat kondisi rakyatnya secara nyata. Jangan sampai ada satupun yang kelaparan saat negara itu di pimpin olehnya.
MasyaAllah sungguh mulia akhlak seorang pemimpin amanah dan takut pada azab Allah jika dirinya menzalimi rakyatnya, itulah khalifah Umar Bin Khatab.
Sehingga jelas bahwa kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Dan ketika Daulah Khilafah hadir memimpin umat kesejahteraan para guru sangat dijamin penuh rasa hormat serta kedudukan mulia sebagai pendidik anak bangsa.
Sudah saatnya mengembalikan pemimpin umat untuk rakyat tanpa syarat. Sejahteralah gutuku, jangan takut untuk terus bermimpi, berharap suatu hari nanti akan datang penolong mimpi guruku tercinta ini. Wallahu a'lam bishawab.[]
Post a Comment