Oleh : Azizah Nur Hidayah
Aktivis Dakwah dan Member Akademi Menulis Kreatif
Dilansir oleh Suara.com, 26 Maret 2020 lalu, Ginanjar, seorang driver ojek online (ojol) mengungkapkan keluh kesahnya sepi orderan saat masa work from home. Ia ingin solusi nyata dari pemerintah untuk menghadapi wabah virus corona yang berdampak pada kebutuhan ekonomi. Hal tersebut ia sampaikan ketika diundang ke Indonesia Lawyers Club (ILC) : Simalakama Corona, yang tayang di TVOne, Selasa, (24/03).
Ginanjar bahkan mengaku sampai tidak makan karena sepinya orderan saat masa work from home diterapkan di Jakarta. "Saya pulang pagi, tidur sejenak, sampai kira-kira jam 12, saya bangun, biasa ritual bercanda sama anak walaupun hari itu saya nggak makan karena memang, ya, mohon maaf tidak ada yang (bisa) dimakan," kata Ginanjar seperti dikutip dari keterangan video. "Itu sebagai contoh saja, itu pendapatan saya hari ini." kata Ginanjar menambahi keterangannya.
Apa yang diungkapkan oleh Pak Ginanjar, sepertinya curahan hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Mengingat banyaknya rakyat yang masih kesusahan dalam menangani masalah ekonomi dalam keluarga. Kisah suara hati Pak Ginanjar hanyalah satu dari jutaan suara hati rakyat Indonesia. Masih banyak sekali rakyat yang kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Makan susah, mencari pekerjaan susah, menyekolahkan anak-anaknya pun susah. Bahkan sebelum adanya pandemi wabah virus corona ini rakyat telah amat kesusahan menjalani hidup. Apalagi setelah adanya wabah virus corona. Rakyat semakin tercekik. Tak mampu menjalani hidup yang layak dan normal.
Pemberlakuan bekerja dari rumah, work from home, nyatanya tak bisa dilakukan oleh semua rakyat. Hanya orang-orang yang memiliki pekerjaan “layak” sajalah yang bisa melakukan pekerjaan mereka dari rumah. Sedang mereka yang sehari-harinya mencari nafkah di jalanan, tentu tidak bisa menerapkan himbauan bekerja di rumah. Seperti para pekerja transportasi mandiri (tukang ojek, tukang becak), pedagang kaki lima atau asongan, dan para pemilik toko klontong misalnya.
Apa jadinya jika mereka tidak bekerja? Tidak membuka toko-toko mereka? Tidak menjajakan dagangan atau jasa mereka? Tentu mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan Pak Ginanjar di atas. Mereka harus rela menahan rasa lapar dengan terus bekerja, meski tidak tentu akan mendapatkan uang setelah bekerja seharian.
Dalam hati mereka ingin tetap di rumah agar tidak tertular virus corona, tetapi nyatanya tak mampu. Karena ketika mereka tidak bekerja, mau makan apa? Bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Beginilah dilemanya hidup di alam kapitalis. Rakyat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya dituntut terus-menerus mencari materi, sekalipun dalam situasi berbahaya. Jika mereka berhenti atau mengambil jeda, maka urusan dapur tidak bisa berjalan. Tak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Untuk bertahan hidup satu hari ke depan, mereka harus rela mempertaruhkan nyawa.
Hal ini tidak terlepas dari peran negara yang abai akan kondisi rakyat. Pemimpin negara yang ada saat ini benar-benar telah melepaskan tanggung jawabnya sebagai periayah (pemelihara) dan junnah (pelindung) bagi rakyat.
Suara rakyat yang dahulu mereka perebutkan kini lenyap tak terdengar. Para penguasa telah menutup telinga mereka, hingga tak mendengar rintihan penderitaan yang dirasakan oleh rakyat. Tagline “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat”, hanyalah omong kosong belaka. Rakyat mana yang dimaksud?
Sistem kapitalis yang dianut oleh bangsa ini telah memusnahkan rasa tanggung jawab yang dipikul oleh pemerintah. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Tak peduli dengan apa yang tengah menimpa rakyat. Keselamatan ekonomi jauh lebih mereka pentingkan ketimbang keselamatan jutaan rakyat Indonesia.
Menyelamatkan ekonomi yang mulai mundur itu harus. Namun bukan berarti lebih mementingkan urusan ekonomi daripada urusan rakyat.
Keberlangsungan hidup jutaan rakyat jauh lebih penting daripada memikirkan untung rugi yang didapatkan negara.
Tidak dapat dipungkiri lagi, hidup di alam kapitalis hanya memberikan kesengsaraan dan kesusahan belaka. Tidak ada jaminan hidup sejahtera. Wajar, karena alam kapitalis bukanlah habitat asli dimana seharusnya seluruh makhluk hidup tinggal.
Daulah Islamlah sejatinya habitat asli makhluk hidup di dunia ini. Tercatat selama 13 abad lamanya, Islam mampu memelihara dan melindungi 2/3 makhluk hidup di dunia. Bukan hanya manusia yang dipelihara dan dilindungi, tetapi tumbuhan dan hewan pun terlindung hidupnya.
Hanya dalam Daulah Islam, dengan konstitusi negaranya adalah khilafah, yang mampu mengembalikan fungsi negara sebagai pemimpin, pelindung, pemelihara, sekaligus penjamin kesejahteraan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat, pendidikan, kesehatan, ekonomi, seluruhnya menjadi tanggung jawab negara. Kehidupan mereka terjamin, sehingga tidak ada satu pun yang kesusahan dan sengsara.
Dalam catatan sejarah, tak ada satu pun rakyat yang tidak sejahtera di bawah naungan khilafah. Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz misalnya. Di bawah naungan khilafah yang beliau pimpin, tercatat tak ada satu pun rakyat yang berhak menerima zakat. Hal ini diketahui karena seluruh rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Kebutuhan sehari-hari mereka tercukupi, bahkan melimpah. Hingga akhirnya para amil zakat pun kebingungan harus diberikan kepada siapa zakat-zakat yang terkumpul.
Berbeda bukan dengan kondisi rakyat saat ini. Untuk mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka harus mempertaruhkan nyawa. Bekerja siang dan malam demi bisa melanjutkan hidup.
Tidakkah kita ingin tinggal di bawah naungan tersebut. Berada di bawah negara yang bertanggung jawab terhadap kondisi rakyatnya. Hanya khilafahlah, satu-satunya negara yang mampu dan bisa menjalankan fungsi negara sebagaimana yang Allah Swt. ridhai. Yakni negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh di segala lini kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment