Oleh : Indriani Mulyanti, Amd.keb Bidan dan Member Akademi Menulis Kreatif
Wabah corona atau Covid-19 semakin mengganas. Menyebar dengan cepat hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. Jumlah pasien positif corona melonjak tajam, setiap hari bertambah 100 kasus bahkan lebih.
Dilansir oleh CNNIndonesia.com (04/04/2020), jumlah yang positif corona 2.092 orang, pasien yang sembuh 150 orang, yang meninggal 191 orang. Membludaknya jumlah pasien covid-19 membuat petugas medis kewalahan. Tim medis bekerja lebih lama dari biasanya bahkan ada yg menginap di sarana penampungan dan tak berani pulang ke rumah, karena takut ikut menularkan virus kepada keluarganya. Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 24 dokter yang meninggal, akibat menjadi garda terdepan dalam melawan wabah ini. Mirisnya, mereka bekerja dengan minimnya ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD). Kekurangan APD bagi tenaga medis membuat banyak masyarakat berempati untuk memberikan donasi. Padahal tugas negara untuk memfasilitasi semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat, bukan malah meminta rakyat untuk berdonasi.
Pemerintah dinilai lambat dalam menangani wabah ini. Untuk menangani wabah corona perlu tindakan yang cepat tanggap dari pemerintah. Karena kita berkejaran dengan waktu, pilihannya hanya dua: kita yang lebih cepat mengatasi corona, atau corona yang menghancurkan negeri ini karena lambatnya pemerintah mengambil keputusan.
Dilansir oleh beritasatu.com (03/04/2020), ada gugatan warga ke presiden dikarenakan lalai dalam mengantisipasi corona di Indonesia. Gugatan yang diajukan oleh Enggal Pamukty telah teregister dengan nomor PN JKT.PST-042020DGB. Enggal mewakili kelompok pedagang eceran mengajukan gugatan class action kepada Presiden karena menganggap orang nomor satu di Indonesia tersebut telah melakukan kelalaian fatal yang mengancam 260 juta nyawa rakyat Indonesia.
Dalam mengatasi Covid-19, pemerintah lebih memilih melakukan rapid test masif dibandingkan melakukan lockdown. Rapid test dipilih karena lebih ekonomis, padahal banyak kalangan dokter menilai rapid test kurang efektif untuk mendeteksi pasien positif corona.
Dilansir oleh tiraslampung.com (21/03/2020), Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia termasuk yang menolak rapid test. Ketua umum perhimpunan dokter itu, Aryati, mengatakan kalau rapid test dengan mengukur antibodi dalam darah (serologi) seseorang menempati tingkat kepercayaan terendah di antara teknik deteksi patogen. Yang tertinggi dan direkomendasikan WHO, menurut Aryati, adalah dengan cara deteksi gen virusnya langsung via real-time Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan rapid test hanya diperuntukkan untuk kalangan tertentu, bukan untuk setiap rakyat. Karena anggaran tidak mencukupi jika seluruh warga negara harus melakukan rapid test.
Pemerintah terkesan terlalu perhitungan saat mengeluarkan biaya untuk penanganan corona. Bila dicermati hal ini berbanding terbalik saat pemerintah mengeluarkan dana untuk pembangunan ibukota baru. Dengan mudahnya pemerintah mengeluarkan dana yang besar. Ironis , pemerintah tetap meneruskan pembangunan ibukota baru di tengah wabah yang melanda Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi memastikan proses pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur terus berjalan sesuai rencana, meski di tengah terjadi pandemi virus corona (Covid-19).
Pemerintah tetap bersikukuh untuk melanjutkan pembangunan, walaupun banyak kalangan yang memprotes pemerintah untuk menghentikan sementara pembangunan ibukota dan mengalihkan dananya untuk penanganan corona. Diperkirakan biaya pembangunan ibukota baru mencapai Rp466 triliun, yakni 19 persen di antaranya berasal dari APBN dan sisanya akan berasal dari KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha) serta investasi langsung swasta dan BUMN.
Ini merupakan skala prioritas yang salah. Apakah lebih berharga pembangunan ibukota daripada nyawa rakyat?
Seharusnya pemerintah memprioritaskan rakyat dibandingkan hal lainnya. Syariat Islam dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah adalah pelayan rakyat. Islam juga memberikan acuan yang pasti dalam menentukan skala prioritas. Bila dihadapkan pada perkara wajib, sunah ataupun mubah. Maka tentu saja perkara wajib yang harus diutamakan. Kemudian lakukan yang sunah. Bila masih ada waktu bolehlah mengerjakan yang mubah. Bagaimana bila dihadapkan kepada dua bahkan tiga perkara wajib? Maka lihatlah waktu pelaksanaannya. Mana yang dapat dijadwal ulang, mana yang mau tidak mau harus dilaksanakan segera. Wabah corona sudah berstatus bencana nasional dan perlu penanganan segera, karena sudah menelan ratusan korban jiwa. Alangkah lebih bijaknya jika pemerintah lebih mengutamakan penanggulangan wabah corona dibandingkan pembangunan ibukota.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment