Dari Pandemi Corona Engkau Belajar Apa?

Oleh: Shafayasmin Salsabila*
*Founder Muslimah Cinta Qur’an

"Sengsara Membawa Nikmat", sebuah judul film mini seri tempo dulu. Bisa dimaknai bahwa, di setiap peristiwa seburuk apapun pasti tersimpan pelajaran mendalam dan ending yang manis. Seperti pelangi yang hadir setelah badai berlalu. Tentu bukan hanya dibutuhkan ketelitian dan ketajaman, tapi juga kepekaan akal manusia untuk bisa memahaminya. 

Akal yang dimaksud bukan berhenti pada definisi kata benda yakni otak sebagai organ. Tapi berupa kata kerja, lebih tepatnya dimaknai sebagai proses berpikir. Pengaitan antara fakta yang terindra lalu dikirim ke otak dan seketika dihubungkan dengan informasi sebelumnya, yang ada di dalam memori. Informasi sebelumnya ini akan bergantung pada landasan berpikir (mindset) seseorang. 

Maka sebagai seorang Muslim, akal akan menuntun perlahan untuk menemukan pelajaran berharga, sekalipun dari sebuah wabah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (11/2/2020) resmi menamainya "Covid-19" untuk coronavirus yang pertama kali diidentifikasi di Cina pada 31 Desember 2019.

Hingga saat ini, data korban terus naik. Indonesia tidak luput dari wabah ini, sekalipun pada awalnya dirasa tidak mungkin virus ini bisa berkembang di negara bersuhu tropis. Nyatanya hingga 30 Maret 2020, 1.414 orang telah terinfeksi. Sementara Pemerintah dinilai masih ragu untuk memberlakukan metode karantina Nasional (lockdown). 

Di tengah ketidakpastian dan semburat kerisauan ini, ada baiknya untuk kita melunakkan sedikit keadaan genting dengan mengkaji sisi lain dari kedatangan virus 'penjemput maut' ini, diantaranya:

Pertama, mengokohkan akidah. Virus berukuran nano meter, mampu menggegerkan seluruh dunia, menjangkiti sekitar 200 negara serta menelan 30.780 nyawa adalah bukti kekuasaan dan eksistensi Allah. Sekaligus menegaskan betapa tidak berdayanya manusia melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya sendiri.

Kekayaan, bagusnya rupa, jabatan, kehebatan, sama sekali tidak berpengaruh. Maka semakin yakinlah bahwa manusia itu hakikatnya lemah. Butuh sandaran yang lebih kuat yakni Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla. Dari virus ini umat manusia belajar, tidak layak kesombongan meliputi hati. Harusnya tunduk dan berpasrah hanya kepada Dzat Yang Maha Agung, yang padaNya jiwa manusia digenggam. 

Kedua, jika virus ini merupakan teguran dari Allah, berarti ini adalah tanda bahwa ada syariat (aturan Allah) yang dilanggar. Diberitakan virus ini berawal dari sebuah pasar di Wuhan, Cina. Tempat binatang liar diperjualbelikan untuk dikonsumsi warga. Padahal Allah, selaku Pencipta manusia telah menggariskan keharamannya. Fakta ini semestinya membuat setiap manusia sadar, hidup menyelisihi rule model dari Allah (red: alquran dan as sunnah) hanya akan membuahkan bencana, kerusakan dan kehancuran. 

Mirisnya, pelanggaran terhadap syariat bukan hanya pada aspek makanan. Tapi ada begitu banyak larangan Allah yang dinafikan seperti maraknya transaksi riba, bisnis prostistusi, pembunuhan, korupsi, menjamurnya kebiasaan menyimpang kaum Nabi Luth as., dan lain sebagainya. Belum lagi berbicara paham-paham yang menyelisihi Islam. Seperti sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, hedonisme, feminisme, demokrasi dan sejenisnya. Maka Allah berkehendak membawa kembali manusia ke jalan yang diridai-Nya. 

Ketiga, Merindukan masjid dan kajian. Sejak dimasifkannya himbauan social distancing, beberapa masjid turut ditutup. Penyelenggaraan shalat berjamaah di masjid termasuk shalat jumat, ditiadakan. Muncul kontroversi di tengah masyarakat. Sebagian mengajak untuk "membela" masjid agar tetap hidup, sebagian lagi memilih shalat di rumah untuk memutus rantai penyebaran virus Corona. 

Hal ini mengajari hati untuk merindukan masjid. Terlebih bagi Muslim yang sebelumnya jarang shalat di masjid. Ternyata selama ini telah banyak menyia-nyiakan kesempatan berharga.

Begitu pun para aktivis kajian secara umum. Terkadang rutinitas membuat kering ruh perjuangan. Memandang formalitas dan datar saat mendatangi kajian. Namun, saat kontak antar manusia dibatasi, barulah perasaan dan gejolak itu muncul. Ternyata kebersamaan amat bernilai. Jika hari yang lalu sempat menyepelekan (ajakan) kajian, maka hari ini banyak hati yang sudah sangat merindukan keberkahan duduk melingkar bersama jamaah. 

Keempat, membuka mata. Banyak masyarakat akhirnya sadar terkait apa sebenarnya yang menjadi prioritas pemerintah saat ini. Dengan keengganannya bersikap tegas untuk memberlakukan lockdown. Yang jelas, "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat", hanya slogan kosong.

Terbukti masifnya tuntutan dari para dokter -yang ahli dan berkompeten terkait masalah virus ini- agar segera diberlakukan lockdown, belum juga membuat pemerintah bereaksi. Minimnya fasilitas kesehatan termasuk alat pelindung diri (APD) bagi nakes (tenaga kesehatan), serta wafatnya beberapa dokter dan perawat yang menangani pasien kasus Corona, membahasakan dengan lugas tentang wajah asli penguasa.

Bukan hal yang aneh, selama pijakan negara adalah sistem kapitalis-liberal, maka rakyat akan terus dijadikan tumbal. Kepentingan para pemodal dan aspek ekonomi menjadi satu yang diutamakan. 

Terakhir, yang kelima, virus Corona menjadi alarm bagi semua manusia, bahwa ajal bisa datang tiba-tiba dan menimpa siapa saja. Tidak ada yang berkuasa memundurkan barang sedetik pun. Ini akan menjadi mesin pemompa bagi yang waras akalnya, untuk bersegera beramal shalih, lebih optimal lagi mendekati Allah dengan amalan nafilah (tambahan), agar siap untuk kembali pulang menuju kampung akhirat.

Bayangkan, seumpama badan bergelimang dosa, kiranya dengan wajah seperti apakah harus menghadapi Allah Ta'ala. Maka belum tibakah saatnya bagi kita untuk melakukan taubat nasuha, sebenar-benar taubat. 

Wallâhu a'lam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post