Oleh : F.Dyah Astiti
Hari ini hampir seluruh negara sedang sibuk untuk menaklukkan pandemi COVID-19. Virus yang awalnya muncul dari Wuhan ini, begitu cepat menyebar ke banyak negara. Tanpa memandang negara maju ataupun negara berkembang. Semua pihak tengah berfikir dan mencoba menghentikan masifnya penyebaran virus yang kian mengganas tersebut. Berbagai cara dilakukan di berbagai negara, mulai dari social distancing sampai lockdown. Tak terkecuali Indonesia. Negara Khatulistiwa ini tengah dibuat terengah-engah dengan bertambahnya kasus positif. Namun akhir-akhir ini muncul desakan publik agar pemerintah lebih tegas dalam mengendalikan sebaran virus. Desakan tersebut muncul karena kebijakan pemerintah dinilai masih kurang cepat dan tepat. Muncul desakan banyak pihak agar pemerintah melakukan lockdown.
Wapres mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum memilih opsi lockdown (republika.co.id).
Bahkan pada Kamis (3/4), Menteri Koordinator Maritim dan Investasi menyebutkan bahwa, posisi Indonesia lebih menguntungkan karena memiliki cuaca panas. Kondisi tersebut membuat virus corona semakin lemah. Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh kepala BMKG dan pejabat lainnya (republika.co.id).
Sikap pemerintah ini akhirnya menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Ini juga mengonfirmasi bahwa pemerintah cenderung mengambil kebijakan _Herd Immunity_ . Namun benarkah _Herd immunity_ (kekebalan kelompok) mampu jadi solusi tepat bagi pandemi. Kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap infeksi tertentu.
Kekebalan kelompok akan cepat dibentuk dengan pemberian vaksin. Tetapi vaksin covid-19 belum ditemukan. Maka satu-satunya cara membentuk _Herd immunity_ adalah dengan cara alami. Sedangkan pembentukan _herd immunity _ secara alami dengan membiarkan banyak orang terinfeksi virus Corona bukanlah cara yang tepat dan bijak. Selain itu, bagi suatu negara dengan lebih dari 300 juta jiwa seperti Indonesia, dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai herd immunity (alodokter.com). Bayangkan tidak musiawinya ketika rakyat dibiarkan terpapar oleh virus berbahaya ini secara alamiah, Kondisi di atas menggambarkan, seolah pemerintah lebih memikirkan laju ekonomi dan investasi ketimbang mengedepankan keselamatan jiwa rakyat.
Kondisi tersebut wajar terjadi di sistem kapitalisme. Pemerintah di sistem kapitalisme gagal menjadi pelindung keselamatan jiwa rakyat.
Pemerintah lepas tanggung jawab dari penanganan masalah kompleks yang dihadapi rakyat. Karena dalam sistem kapitalisme pemerintah bukan lagi pelindung dan penjaga. Asas kapitalisme menjadikan tujuan dari setiap hal adalah manfaat saja.
Pemimpin dalam sistem ini hanya berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam praktiknya, yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan.
Kondisi ini menjadikan pemimpin kehilangan fungsinya. Tentu butuh solusi cepat dan tepat bagi permasalahan pandemi/wabah. Kapitalisme yang punya landasan yang berorientasi manfaat tentu bukan solusi. Hal tersebut berbeda dengan Sistem Islam. Sebagai sistem yang sempurna, islam memiliki solusi atas setiap permasalahan manusia. Tak terkecuali terkait penanganan wabah. Dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama. Yaitu sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi umat. Bahkan bagaimana seorang pemimpin menjalankan fungsinya juga sudah dicontohkan oleh Khalifah Umar.
Pada tahun 18 Hijriah, Islam menghadapi dua ujian besar. _Pertama_ , sebagian wilayah kekuasan Islam dilanda kekeringan dan kelaparan. _Kedua_ , pada saat yang sama, umat Islam diuji dengan wabah penyakit mematikan.
Beberapa keputusan strategis yang dilakukan adalah mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke berbagai wilayah terdampak. Melarang keras penimbunan bahan kebutuhan. Selain itu Umar memerintahkan gubernur Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk mengisolasi rakyatnya. Serta Mengurungkan perjalanannya menuju Damaskus. Sebagaimana pesan Nabi:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian mendengar adanya wabah di suatu negeri maka janganlah kalian memasukinya. Namun, jika terjadi wabah di tempat kalian berada maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan kebijakan yang diambil oleh khalifah Umar bin Khatab adalah mengisolasi lokasi yang terkena wabah dari daerah yang tak tertimpa wabah. Itulah yang saat ini disebut _lockdown_ . Tentu saja selama kebijakan ini diterapkan, kebutuhan rakyat dipenuhi oleh negara. Bahkan, dalam kondisi aman dari wabah saja, negara menjamin kebutuhan pokok rakyat berupa sandang pangan dan papan.
Politik ekonomi dalam islam diarahkan pada pemenuhan kebutuhan primer rakyat oleh negara. Hal ini dilakukan melalui mekanisme peraturan negara, seperti kewajiban nafkah di tangan suami. Adapun kebutuhan akan jasa berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan, difasilitasi secara gratis oleh negara. Penerapan islam secara kaffah di seluruh bidang, sangat memungkinkan untuk menyelesaikan kesejahteraan rakyat tanpa direpotkan oleh sumber pendapatan bagi APBN. Sebab sumber penerimaan APBN atau Baitul maal sendiri telah disediakan oleh Allah.
Salah satunya adalah berupa sumber kekayaan alam yang pengelolaannya hanya boleh diserahkan oleh negara. Bukan diserahkan pada perusahaan swasta, baik domestik maupun Asing. Dengan demikian negara tidak mengalami gagap dalam menghadapi ketentuan Allah terhadap alam yaitu berupa wabah. _Wallahu a'lam bishshowab_.
Post a Comment